Meskipun memiliki infrastruktur yang relatif baik untuk mendukung membaca, tingkat literasi di Indonesia masih memerlukan perhatian dan upaya lebih lanjut untuk meningkatkan minat membaca.
Oleh: Purnama Adji
Hari Aksara
Internasional (HAI) atau yang lebih dikenal sebagai Hari Literasi Internasional
merupakan momen istimewa di kalender global untuk meningkatkan semangat
kecintaan pada aksara dan kesadaran akan pentingnya literasi di seluruh dunia.
Hari Aksara
Internasional (HAI) adalah bentuk komitmen dari UNESCO (United Nations
Educational, Scientific, and Cultural Organization) dan berbagai pihak di
seluruh dunia untuk mengatasi tantangan buta aksara dan rendahnya tingkat
literasi.
Lalu, bagaimanakah
sih sebenarnya sejarah dari peringatan Hari Aksara Internasional tersebut?
Simak ulasan berikut sampai selesai, yak!
Sejarah Peringatan Hari Aksara Internasional
Sejarah Hari Aksara Internasional berawal ketika buta aksara menjadi masalah yang sangat serius di berbagai negara, tak hanya di negara berkembang saja bahkan negara maju seperti Amerika pun ikut merasakannya.
Diperkirakan sekitar 32 juta orang dewasa di
Amerika mengalami buta aksara.
Oleh
karena itu, pada tahun 1965 diadakanlah konferensi dengan tema “World
Conference of Ministers of Education on the Eradication of Illiteracy” di
Teheran, Irak.
Pada
tahun berikutnya UNESCO mendeklarasikan 8 September sebagai Hari Aksara
Internasional (International Literacy Day), Hari Aksara Internasional memiliki
tujuan utama yaitu:
1.
Mengingatkan
komunitas global tentang pentingnya literasi bagi individu, komunitas dan
masyarakat.
2. Sebagai upaya menuju masyarakat yang lebih melek huruf demi menciptakan kesejahteraan dunia.
Pada tahun 1990, pada konferensi dunia "Education for All" yang diadakan di Jomtien, Thailand, pentingnya literasi menjadi sorotan utama.
Konferensi ini menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan, dan
akses ke literasi merupakan fondasi utama untuk mencapai tujuan pendidikan bagi
semua individu, tanpa terkecuali.
Pada tahun 2015, literasi diberikan perhatian lebih lanjut dan dimasukkan sebagai salah satu poin dalam tujuan utama Sustainable Development Goals (SDG's) bidang pendidikan.
Tujuan ini menekankan pentingnya memastikan akses universal
terhadap pendidikan berkualitas dan layanan literasi yang efektif bagi seluruh
penduduk dunia.
Pada tahun 2017, Hari Aksara Internasional mengalihkan fokusnya ke keterampilan literasi digital.
Perkembangan teknologi yang semakin canggih pada waktu itu menuntut adanya keterampilan baru bagi masyarakat global untuk berpartisipasi secara efektif dalam era digital.
Literasi digital mencakup kemampuan membaca,
menulis, dan berkomunikasi secara efektif dalam lingkungan digital.
Buta Aksara Di Indonesia
Meskipun banyak
upaya telah dilakukan untuk mengatasi buta aksara di Indonesia, permasalahan
buta aksara fungsional menjadi tantangan serius yang harus dihadapi.
Buta
aksara fungsional merujuk pada kondisi di mana masyarakat memiliki kemampuan
dasar dalam membaca dan menulis, namun keterampilan tersebut belum cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Mereka
mungkin dapat membaca dan menulis kata-kata sederhana, tetapi masih mengalami
kesulitan dalam memahami teks yang lebih kompleks atau dalam mengaplikasikan
keterampilan membaca dan menulis dalam kehidupan sehari-hari, seperti membaca
petunjuk, menulis surat, atau mengisi formulir.
Mengacu pada data dari World Bank pada tahun 2018 menunjukkan bahwa sekitar 55% orang Indonesia mengalami buta huruf fungsional.
Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti Vietnam dan negara-negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) yang hanya sebesar 20%.
Hal ini terjadi karena beberapa faktor seperti, rendahnya
kualitas pendidikan, rendahnya tingkat loyalitas terhadap pendidikan, kurangnya
praktik membaca dan menulis, dan juga kemiskinan.
Tingkat Literasi di Indonesia
Tingkat literasi Indonesia
sangatlah mengkhawatirkan, berdasarkan riset yang dilakukan oleh Central
Connecticut State University pada Maret 2016, Indonesia menempati peringkat
ke-60 dari 61 negara dalam hal minat membaca, tepat di bawah Thailand dan di
atas Bostwana.
Menariknya,
dari segi penilaian infrastruktur untuk mendukung membaca, Indonesia justru
berada di atas negara-negara Eropa.
Namun,
data dari survei Program for International Student Assessment (PISA)
yang dirilis oleh Organization for Economic Co-operation and Development
(OECD) pada tahun 2019 menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat
ke-62 dari 70 negara, menjadikannya salah satu dari 10 negara terbawah dengan
tingkat literasi rendah.
Penilaian
berdasarkan Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) pada tahun 2022 juga
mencatat skor Indonesia sebesar 64,48 dari skala 1-100. Angka ini masih dinilai
belum menggembirakan dan terus menjadi masalah nasional yang sangat
memprihatinkan.
* * *
Dengan demikian,
meskipun memiliki infrastruktur yang relatif baik untuk mendukung membaca,
tingkat literasi di Indonesia masih memerlukan perhatian dan upaya lebih lanjut
untuk meningkatkan minat membaca dan keterampilan literasi masyarakat secara
keseluruhan.
Referensi:
0 Komentar