Pengorbanan Nabi Ibrahim as. dan Nabi Ismail as. inilah yang seharusnya patut ditiru oleh para wali santri dan santri dalam mondok di Pondok Pesantren.
Oleh: M. Ryan Romadhon
Dalam catatan sejarah, telah terekam dengan jelas mengenai percakapan antara Nabi Ibrahim as dan putranya, Ismail as.
Dari sanalah kita belajar tentang ketulusan dalam menjalankan segala hal yang diperintahkan oleh Allah SWT. kepada kita.
Percakapan singkat
antara keduanya terekam sangat jelas dalam Firman-Nya, Surat ash-Shaffat:
102-103.
* * *
Semua Berawal dari Mimpi
Ditengah
kerasnya iklim gurun padang pasir yang tandus nan panas, seorang ibu
berlari-lari kesana kemari hanya untuk mendapatkan beberapa tetes air demi
putranya yang tengah menangis menahan haus.
Ditengah ganasnya iklim padang pasir inilah, Allah SWT. memberikan rahmat-Nya dan menyelamatkan seorang ibu tersebut beserta putranya.
Atas izin-Nya, keluarlah sumber mata
air yang sangat jernih dari bekas injakan telapak kaki sang putra.
Baca Juga: Artikel Islami: Memaknai Kembali Idul Kurban
Di daerah itu
pula sang ayah mendapat ujian untuk menyembelih putra kesayangannya karena
perintah Tuhannya yang ia dapat dari mimpinya. “Wahai Tuhanku, Dzat yang Maha
Suci, atas kuasa-Mu Kau telah menyelamatkannya dari rasa dahaga yang
menyiksanya.
Dan disaat-saat aku begitu menyayangi dan mencintainya dari lubuk hatiku yang paling dalam, Kau perintahkan aku untuk menyembelihnya?
Ya Tuhan, ini adalah ujian paling berat
bagi kedua orang tuanya yang sungguh-sungguh sangat menyayangi anaknya, dan
benar-benar peduli terhadapnya.”
“Dosa apakah yang telah dilakukan oleh seorang anak yang tak bersalah ini. Serta adakah dosa ibunya kepada-Mu, sehingga Kau perintahkan aku untuk menyembelih putranya?
Lalu, kejahatan seperti apakah yang telah dilakukan oleh sang ayah anak ini,
sehingga Kau tega merampasnya dari tangan ayahnya.”
Disaat Nabi
Ibrahim as. tengah bimbang atas mimpinya tersebut, Allah SWT. lalu memberinya
kabar gembira bahwa putranya akan menjadi penerus kenabiannya dengan sifat
kesabarannya. Karena kesabaran adalah penguasa dari akhlak mulia.
Sifat
kepasrahan dan serah diri kepada Allah SWT. yang dipraktikan oleh Nabi Ibrahim as. dan Ismail as. ini pada akhirnya -dengan rahmat Allah SWT- Ismail diganti dengan
seekor sembelihan yang sangat besar.
Atas dasar
peristiwa yang penuh hikmah inilah agama Islam mensyari’atkan penyembelihan
hewan kurban. (Syekh Abdul Halim Mahmud, Asror al-'Ibadah fi al-Islam, hal. 85-89).
Baca Juga: Hikmah Kurban Idul Adha: Manifestasi Sebuah Ketaatan
Idul Kurban dan Arti dari Sebuah Pengorbanan
Dari ujian yang diberikan Allah Swt kepada Nabi Ibrahim ini, kita dapat mengambil pelajaran berharga bahwa tidak sepatutnya Allah Swt disekutukan dengan makhluk-makhluk-Nya.
Serta tidak sepantasnya cinta kita kepada makhluk-Nya melebihi cinta kita kepada-Nya, sekalipun dengan anak kandung yang sangat diharapkan kehadirannya ditengah-tengah keluarga. (Syekh Abdul Halim Mahmud, Asror al-'Ibadah fi al-Islam, hal. 87-88).
Dalam konteks
cinta, kita mungkin sering mendengar adagium bahwa setiap cinta yang tulus
memerlukan pengorbanan. Dan syarat sebuah pengorbanan, adalah ketika sesuatu
yang dikorbankan merupakan sesuatu yang berharga atau amat dicintai oleh orang
tersebut.
Bagi Nabi
Ibrahim as, wujud cinta tersebut adalah Ismail. Ia merupakan jawaban atas
doa seorang manusia yang bertahun-tahun merindukan kehadiran sosok anak dalam
rumah tangganya.
Ketika doa itu
terwujud dalam raga Ismail, rasa cinta dalam Nabi Ibrahim
diuji. Manakah yang lebih besar? cinta kepada Tuhan yang ia sembah atau cinta
kepada anak yang sangat dirindukannya?
Dalam konteks
ajaran berkurban, Allah Swt mengajarkan bahwa pengorbanan itu sebenarnya berat
untuk dilakukan. Namun, jika dihadapi dengan ikhlas, pada akhirnya akan
membuahkan hasil seperti kisah Nabi Ismail As yang tidak jadi dikorbankan,
karena digantikan dengan kambing yang dibawa malaikat Jibril.
Baca Juga: Hikmah Ibadah Haji dari Aspek Kehidupan
Pengorbanan Seorang Wali Santri untuk Berpisah dengan Anaknya yang Mondok
Dalam konteks
kita sebagai santri, ajaran kurban memiliki nilai-nilai yang relevan untuk
diteladani saat ini. Nilai-nilai tersebut antara lain mengenai nilai
pengorbanan.
Apa yang
dilakukan Nabi Ibrahim as. adalah pengorbanan yang luar biasa. Beliau telah mempraktikan
bahwa cintanya terhadap makhluk Allah tidak melebihi
cinta kepada-Nya, sekalipun dengan anak kandung yang sangat diharapkan
kehadirannya ditengah-tengah keluarga.
Pengorbanan
Nabi Ibrahim as. dan Nabi Ismail as. inilah yang seharusnya patut ditiru oleh para wali santri dan kita
sebagai santri dalam mondok di Pondok Pesantren.
Yakni harus mengorbankan
dan merelakan putra-putrinya sementara waktu jauh dari sisinya -meskipun harus
mati dalam kerinduan yang tak terobati- agar kelak saat telah dekat dengannya
kembali, ia akan bahagia karena melihat anaknya telah menjadi orang yang
ilmunya bermanfaat dan berkah.
Dengan kata
lain, jaga jarak, agar kelak kian dekat! Hal tersebut selaras dengan sebuah
syair,
سَأطْلُبُ بُعْدَ الدَّار عَنْكُمْ لِتَقْرَبُوْا # وَتَسْكُبُ
عَيْناَيّ الدُّمُوْعَ لِتَجْمُدا
“Akan kucari
tempat yang jauh darimu, agar kelak kau menjadi dekat denganku, dan kedua
mataku mencucurkan air mata, agar mataku bahagia kelak.”
* * *
Walhasil,
ibadah kurban adalah ibadah yang melambangkan perjuangan kebenaran yang
menuntut tingkat kesabaran, ketabahan dan pengorbanan yang tinggi.
Akhir kata, mari berkorban, dengan kadar kemampuan, meskipun wujud
dari pengorbanan itu adalah perasaan.
Wallahu a’lamu bishshowab
Referensi:
- Asror al-‘Ibadah fi al-Islam, Syekh Abdul Halim Mahmud, hal. 85-89.
6 Komentar
Korban perasaan min..
BalasHapusBagus sekali, min.
BalasHapusSaya sebagai wali santri menjadi semakin ikhlas dalam memondokkan anak saya, meski tuk sementara waktu harus berjarak.🙏
Tapi tak apalah 🥺
Subhanallah.......
BalasHapusBimillahi tawakkaltu alallah
BalasHapusBerkorban.... dan berjuang!
BalasHapusBagus sekali ini, gus Ryan.
Hapus