Kesadaran untuk menjadi santriwati yang pandai agama perlu ditingkatkan. Agar dapat menyampaikan ilmu kepada siapapun yang membutuhkan, apapun profesinya.
Oleh: Mohammad Faqih
Jika kamu mendidik satu laki-laki, maka kamu mendidik satu orang. Namun jika kamu mendidik satu perempuan, maka kamu mendidik satu generasi.
Demikianlah pernyataan yang
disampaikan oleh bapak Mohammad Hatta terkait dengan pendidikan seorang
perempuan.
* * *
Asumsi Tak Laku Nikah Menjadikan Perasaan Gelisah
Kesan yang sering muncul dalam
masyarakat ialah ketika seorang wanita yang telah lulus dari sekolah setingkat MA, maka dianjurkan untuk segera menikah.
Hal ini karena asumsi masyarakat yang merasa
khawatir jika wanita yang belum menikah diatas usia 25 tahun tidak akan laku.
Dan mirisnya, perceraian yang terjadi berkali-kali karena nikah muda malah dibanggakan, sebab menganggap anaknya laku keras.
Hal tersebut tentunya menimbulkan perasaan gelisah tersendiri bagi santriwati
yang telah menamatkan pendidikannya pada tingkat MA. Kegelisahan yang
menyebabkan ia ingin cepat-cepat pamit dari pondok agar segera menikah.
Baca Juga: Artikel Pesantren: Di balik Eksistensi Santri dan Pesantren
Ilmu untuk Diri Sendiri Saja Belum Tentu Sudah Tercukupi, Apalagi untuk Masyarakat Luas
Hal ini patut disayangkan, karena ilmu
itu sangat luas dan tidak terbatas hanya pada ilmu yang
disampaikan di bangku sekolah saja.
Memang benar, kemampuan setiap individu itu berbeda-beda. Namun sesuai dengan pernyataan dari Malik bin Dinar yang dikutip dalam kitab Risalah al-Mudzakaroh, bahwa barang siapa yang mencari ilmu untuk dirinya sendiri, maka sedikit darinya sudah cukup.
Namun, barang siapa yang mencari ilmu untuk
(kepentingan) manusia, sesungguhnya kepentingan manusia itu
banyak.
Seorang santri, khususnya santriwati, jangan hanya memahami kata “sedikit” di sini
hanya sebatas pada ‘dasar-dasar dalam beribadah saja’.
Pernyataan tersebut perlu dipahami sebagai ‘apa
yang dibutuhkan oleh diri sendiri’ agar ibadahnya dapat terlaksana
sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama. Termasuk pembahasan-pembahasan seputar
haid
dan istihadhoh.
Baca Juga: Tips & Trik Mengatasi Rasa Bosan, Mengusir Rasa Kantuk dan Malas
Jadilah Santriwati yang Berpengetahuan Luas, Agar Manfaatnya Tak Terbatas!
Dalam masyarakat luas, banyak sekali perempuan yang tidak paham secara detail mengenai
pembahasan haid dan istihadhoh.
Padahal haid dan istihadhoh berhubungan erat
dengan hukum-hukum lain seperti sholat, puasa, talak, memegang
dan membaca Al-Qur’an dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, kesadaran untuk menjadi perempuan yang pandai agama bagi santriwati perlu ditingkatkan.
Bukan karena bercita-cita untuk menjadi ‘Bu Nyai’ yang memiliki jama’ah banyak, kemudian bisa jalan-jalan kemana-mana.
Akan tetapi, agar dapat menyampaikan ilmu kepada
siapapun yang membutuhkan. Apapun profesinya, tidak dapat menghalangi
ilmu itu tersampaikan.
Jika ilmu agama hanya dapat disampaikan oleh mereka yang dipandang
sebagai ‘Kiai’ atau ‘Bu Nyai’, maka
tentu akan banyak orang yang tidak mendapatkan asupan ilmu agama yang
dibutuhkan, karena umumnya masyarakat sangat menghormati seorang tokoh sekaliber Kiai dan Bu Nyai.
Akibat adanya rasa hormat tersebut, kebanyakan masyarakat awam merasa enggan untuk datang dan bertanya kepada mereka jika tidak memiliki sesuatu
yang dapat diberikan (sowanan), walaupun tentu
sosok yang dihormati tersebut sama sekali tidak mengharapkan pemberian yang
dimaksud.
Baca Juga: Artikel Pesantren: Manfaat Mengelana dalam Mencari Ilmu
Mencari Pengalaman dengan Keteladanan
Namun bukan berarti ilmu agama dapat diambil dari sembarang orang. Ilmu agama harus diperoleh dari orang yang sanad keilmuannya jelas, apapun profesinya.
Dalam hal ini, para santri, khususnya
santriwati, harus belajar dengan giat dan juga berkhidmah
dengan ikhlas agar ilmu yang didapat bermanfaat serta berkah.
Amat disayangkan jika santriwati hanya meneladani Sayyidah Aisyah ra.
dari sisi percintaannya dalam lagu yang sempat viral beberapa tahun yang lalu.
Kenapa tidak meneladani dari sisi intelektualnya?
Di Mesir, pernah hidup seorang perempuan bernama Nabawiyah Musa yang menolak
pandangan yang melekat dalam lingkungannya dan tetap menimba ilmu sampai
tingkat tinggi. Ia menyatakan bahwa kemajuan perempuan adalah faktor
kemajuan bangsa-bangsa.
Hal ini perlu dicontoh oleh santriwati yang sudah menamatkan
pendidikannya dalam tingkat MA untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi
tanpa mengkhawatirkan hal-hal yang tak perlu dikhawatirkan.
Seburuk-buruknya pelajar adalah ia yang hanya mendapatkan nilai dan
ijazah saja tanpa adanya hal lain yang justru lebih penting.
Bahkan ada yang mengatakan bahwa ijazah adalah bukti bahwa seseorang pernah sekolah,
tapi tidak sepenuhnya membuktikan kalau seseorang pernah berpikir.
Baca Juga: Artikel Pesantren: Dandani Niatmu!
Referensi:
- Perempuan Ulama, Husein Muhammad, IRCiSoD.
- Fiqih Perempuan, Husein Muhammad, IRCiSoD.
- Qiroah Mubadalah, Faqihudin Abdul Qodir.
- Risalah al-Mudzakaroh, Sayyid Abdulloh al-Haddad.
- https://www.islampos.com/mendidik-seorang-perempuan-berarti-mendidik-1-generasi-181452/, diakses 3 tahun lalu.
1 Komentar
Agar tidak tersekat oleh batas-batas yang menyekat antara 'awam' dengan 'alim'. 🙏
BalasHapus