Like Us Facebook

Review Kitab Ihya’ Ulum ad-Din



Keistimewaan yang terdapat dalam kitab Ihya’ sangatlah banyak, tak terhitung. Banyak orang alim yang menyanjungnya, bahkan orang awam sekalipun.




Oleh: M. Ryan Romadhon

Kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din adalah karya fenomenal terbesar dan terpopuler Imam al-Ghozali. 

    Ia menjadi referensi dan sumber inspirasi dari para ahli dan pemikir, sekaligus menjadi pujian dari orang-orang yang mengaguminya atau bahkan yang berseberangan dengannya.


* * *


Ahli sejarah mencatat bahwa Imam al-Ghozali pertama kali menulis kitab Ihya’ tersebut di kota suci Quds, Palestina pada tahun 489 H. 

    Adapun tempat yang dijadikan Imam al-Ghozali untuk menulis kitab Ihya ini berada di ruangan sebelah barat daya, di dekat batu besar di Quds.

    Tidak sedikit waktu yang dihabiskan oleh Imam al-Ghozali selama mengarang kitab Ihya’ ini. 

    Beliau baru selesai menuliskannya setelah melakukan perjalanan panjang menempa batin, dari Baghdad ke kota Syam di Syiria, dan berakhir di kota Thus, Iran.

 

Latar Belakang Penulisan Kitab Ihya’ Ulum ad-Din

Adapun alasan yang melatarbelakangi Imam al-Ghozali untuk menulis kitab Ihya’ -seperti yang dikatakan beliau dalam muqoddimah kitabnya ini- adalah karena melihat stablitas keilmuan agama di lingkungan masyarakat sekitar beliau sedang tidak baik-baik saja. 

    Selain itu, banyak ulama yang mulai mereduksi nilai-nilai agama.

Dari judulnya, yakni Ihya’ ‘Ulum ad-Din (menghidupkan ilmu-ilmu agama) dapat tergambar kondisi lesunya kehidupan beragama saat itu (jika tidak sampai mati), dan upaya Imam al-Ghozali untuk kembali menghidupkannya.

Pada saat itu, Imam al-Ghozali menghadapi situasi orang-orang yang berhenti pada tulisan (rosm). Selain itu, para ulamanya juga bersikap demikian. 

Sehingga Imam al-Ghozali menyebut para “ulama” itu dengan istilah al-mutarossimun. Mereka hanya mengajarkan kitab, ceramah, memamerkan keilmuan mereka, namun ruh api agama tidak hidup.

 

 

Isi Kitab Ihya’ Ulum ad-Din

Adapun pokok pikiran yang hendak dituangkan oleh Imam al-Ghozali dalam kitab Ihya’ -sebagaimana dalam muqoddimahnya- adalah menjelaskan masalah ilmu yang menjadi media penghubung antara kehidupan dunia dengan akhirat. 

    Hal ini karena dalam banyak kesempatan beliau selalu mengingatkan bahwa dunia adalah ladang akhirat.

Sedangkan ilmu yang dimaksud oleh beliau adalah ilmu mu’amalah dan mukasyafah. Imam al-Ghozali menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ilmu mu’amalah adalah mengamalkan ilmu disertai harapan bisa mengetahui makna yang tersirat dari ilmu tersebut. 

Sementara yang dimaksud dengan ilmu mukasyafah adalah terbukanya makna esensial yang tersirat dari ilmu (tanpa perlu pengamalan).

Dalam pandangan beliau, ilmu mu’amalah adalah ilmu yang dapat mengantarkan seseorang untuk mengetahui ilmu mukasyafah, karena ke sinilah tujuan akhir bagi para penuntut ilmu.

Ilmu mu’amalah menurut Imam al-Ghozali diklasifikasikan ke dalam dua hal, yaitu ilmu dzohir (perbuatan fisik) dan bathin (perilaku hati). 

Dari kedua jenis ilmu ini, masing-masing memilki hubungan keterikatan dengan penilaian terpuji (mahmudah) dan tercela (madzmumah). Sementara ilmu dzohir hanya memiliki keterikatan dengan aspek ibadah dan kebiasaan sehari-hari (adat/tradisi).

    Dari pemikiran Imam al-Ghozali yang cemerlang inilah kemudian beliau membuat sistematika penulisan kitab Ihya’ yang terdiri dari 4 juz dengan uraian sebagai berikut:

  1. Juz I menjelaskan aspek ibadah (rub’u al-‘ibadah), sebagai bagian dari ilmu dzohir. Adapun penjelasannya meliputi: rahasia bersuci, sholat, puasa, zakat, haji, dzikir dan lain sebagainya.
  2. Juz II menjelaskan aspek perilaku keseharian (rub’u al-‘adat), sebagai bagian dari ilmu dzohir juga. Adapun penjelasannya meliputi: pernikahan, pekerjaan, pergaulan, etika, dan lain sebagainya.
  3. Juz III menjelaskan tentang perilaku hati yang bisa merusak diri (rub’u al-muhlikat), sebagai bagian dari ilmu bathin yang tercela (madzmumah). Adapun penjelasannya meliputi: bahaya hawa nafsu, amarah, sombong, iri hati, dendam, menghamba pada materi, gila pangkat dan lain sebagainya.
  4. Juz IV menjelaskan tentang perilaku hati yang bisa menyelamatkan diri (rub’u al-munjiyyat), sebagai bagian dari ilmu bathin yang terpuji (mahmudah). Adapun penjelasannya meliputi: taubat, syukur, sabar, dermawan, ikhlas, menerima pemberian Allah SWT, jujur, introspeksi diri dan lain sebagainya.

 

Dengan demikian, diantara esensi yang sebenarnya digagas oleh Imam al-Ghozali dalam kitab Ihya’-nya ini adalah memperoleh pengetahuan yang hakiki sebagai buah dari mengamalkan ilmu.

 

Keistimewaan & Keutamaan Kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din

Syekh Abdul Qodir bin Syekh al-Idrus dalam kitabnya Ta’rif al-Ahya’ bi Fadho’il al-Ihya’ mengatakan bahwasannya keistimewaan yang terdapat dalam kitab Ihya sangatlah banyak, tak terhitung. Banyak orang alim yang menyanjungnya, bahkan orang awam sekalipun.

Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Segaf pernah mengatakan bahwa tidaklah orang yang mengaji Ihya’, keluar dari majelis itu, kecuali dadanya akan terbebas dari penyakit hati, mendapatkan suatu makrifat atau diangkat derajatnya oleh Allah.

Akan tetapi kalau orang yang keluar dari majelis Ihya’, kemudian tidak merasakan apa-apa di dadanya, maka ia harus segera bertobat. Karena bisa jadi ia pernah melakukan dosa besar.

Sayyid Abu Bakar Syatho’ dalam kitab Kifayah al-Atqiya’-nya memaparkan beberapa dawuh ulama’ mengenai keistimewaan dan keutamaan kitab Ihya’ Ulum ad-Din. Berikut adalah sebagian darinya:

 

قال بعض العارفين: والله لو بعث الله الأموات لما أوصوا الأحياء إلا بما فى الإحياء وفيه إنتفاع لأهل الإبتداء والإنتهاء والتوسط لأنه مذكور فيه ما يصلح للفرق الثلاث.

 

Sebagian ulama ahli makrifat mengatakan, “Demi Allah, andaikan Allah menghidupkan kembali orang-orang mati, niscaya mereka tidak akan memberi wasiat kepada orang yang masih hidup, kecuali tentang apa yang telah tertulis dalam kitab Ihya Ulum ad-Din. 

Hal ini karena di dalamnya memuat banyak ilmu yang bermanfaat bagi orang terdahulu, sekarang dan kemudian, dan yang patut bagi tiga golongan tersebut.”

 

قال سيدى العيدروس رضى الله عنه : عليكم بملازمة إحياء علوم الدين فهو موضع نظر الله تعالى وموضع رضا الله فمن أحبه وطالعه وعمل بما فيه فقد استوجب محبة الله ومحبة رسوله وملائكته وأنبيائه وأوليائه وجمع بين الشريعة والطريقة والحقيقة فى الدنيا والأخرة وصار عالما فى الملك والملكوت.

 

Sayyid al-‘Idrus mengatakan, “Berpegang teguhlah dengan kitab Ihya Ulum ad-Din, karena ia adalah tempat melihatnya Allah dan tempat mendapat Ridho-Nya. 

    Barang siapa mencintainya, mempelajarinya dan mengamalkannya, maka dia berhak mendapat cinta Allah, cinta Rosululloh, malaikat, para nabi dan para wali. 

    Dan ia telah memadukan antara syari’at, tarekat dan hakikat di dunia dan akhirat. Selain itu, ia juga akan menjadi orang alim seantero dunia dan akhirat.”


* * *

 

Demikianlah review (ulasan) singkat mengenai kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Semoga review singkat tersebut bermanfaat. Amin.

 

Wallahu a’lamu bishshowab

 

 

Referensi:

  • Ta’rif al-Ahya’ bi Fadho’il al-Ihya’, Syekh Abdul Qodir bin Syekh al-Idrus.
  • Al-Ashfiya’ fi adz-Dzabi ‘an al-Ihya’, KH. Ma’ruf Khozin.
  • Kifayah al-Atqiya’ wa Minhaj al-Ashfiya’, Sayyid Abu Bakar Syatho’. 

Posting Komentar

0 Komentar