Kecenderungan kebanyakan orang untuk menggendong bayi lelaki lebih besar dibandingkan dengan menggendong bayi perempuan adalah salah satu alasan perbedaan status hukum tersebut.
Oleh: M. Wildan Taskuri
Dalam kitab Kasyifah as-Saja, Syekh Nawawi al-Bantaniy mengemukakan bahwa najis secara bahasa adalah segala sesuatu yang dianggap kotor meskipun suci.
Sedangkan secara istilah ilmu Fiqh, najis adalah segala
sesuatu yang dianggap kotor yang menjadikan tidak sahnya ibadah sholat.
* * *
Dalam berbagai literatur kitab Fiqh, najis
sendiri jika dilihat dari segi tata cara penyuciannya dibagi menjadi 3 kategori,
yakni najis mukhoffafah, najis mutawassithoh, dan najis mugholladhoh. Ketiga
kategori najis tersebut masing-masing memiliki cara tersendiri untuk
menyucikannya.
Najis
mukhoffafah disebut sebagai najis yang ‘ringan’ tidak lain karena cara menghilangkannya
yang mudah, yaitu cukup dicipratkan air saja setelah dikeringkan najisnya atau
dihilangkan bau, warna, dan rasanya, tanpa harus dengan membasuhnya.
Adapun najis yang masuk dalam kategori
mukhoffafah ini adalah air kencingnya bayi laki-laki yang
belum makan selain air susu ibu dan belum sampai usia dua tahun.
Baca Juga: Mengapa Anggota Tubuh yang Diusap pada Ritual Tayamum Berbeda dengan Ritual Wudhu dan Mandi?
Mengapa Status Hukum Air Kencing Bayi Laki-laki Berbeda dengan Bayi Perempuan?
Dari keterangan najis mukhoffafah tersebut, mungkin akan
banyak timbul pertanyaan, “Mengapa yang tergolong dalam najis mukhoffafah hanya
air kencing bayi laki-laki saja, sedangkan untuk air kencingnya bayi perempuan
tidak, bahkan ia malah tergolong ke dalam najis mutawassithoh?”
Syekh Ibrohim
al-Bajuriy, dalam kitabnya Hasyiah al-Bajuriy (yang merupakan salah satu
catatan pinggir dari kitab Fath al-Qorib) setidaknya memberikan empat
alasan yang mendasari perbedaan status hukum antara air kencing bayi laki-laki
dan perempuan.
Baca Juga: Kajian Fiqh: Apa Sajakah yang Harus Ada dalam Niat Sholat Fardhu?
Berikut adalah keempat alasan tersebut:
- Air kencing bayi laki-laki lebih halus/tipis (aroqqu) kualitasnya dibandingkan dengan air kencing bayi perempuan.
- Kecenderungan kebanyakan orang untuk menggendong bayi laki-laki lebih besar dan lebih banyak dibandingkan dengan menggendong bayi perempuan.
- Asal penciptaan laki-laki berasal dari air mani dan tanah (yang mana keduanya status hukumnya suci), sedangkan perempuan berasal dari daging dan darah. Hal ini tentunya berdasarkan sejarah yang mengatakan bahwa Siti Hawa’ diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam as. yang pendek.
- Tanda balighnya laki-laki ditandai dengan sesuatu yang cair tapi suci, yakni air mani, sedangkan balighnya perempuan ditandai dengan dua hal, yakni selain air mani, juga dengan sesuatu yang cair tapi najis, yaitu darah haid.
* * *
Demikianlah beberapa alasan yang melatarbelakangi
perbedaan status hukum
antara air kencing bayi laki-laki dan perempuan. Semoga bermanfaat. Amin.
Wallahu a’lamu bishshowab
Referensi:
- Kasyifah as-Saja, Syekh Nawawi al-Bantaniy, hal. 72, Dar al-Kutub al-Islamiyyah.
- Hasyiah al-Bajuriy, Syekh Ibrohim al-Bajuriy, juz. 1, hal. 199, Dar al-Kutub al-Islamiyyah.
1 Komentar
Oh, gitu toh 😏
BalasHapus