Tak ada satupun di dunia ini yang kekal abadi. Maka, ukirlah cerita indah sebagai kenangan, karena dunia memang sebuah cerita.
Oleh: Ubaidillah Khobir
Memperingati hari wafat (haul) para wali dan ulama’
bukanlah sesuatu yang dilarang agama. Terlebih mengenang dan memperingati wafatnya
para leluhur dan ulama’ yang sudah mendedikasikan hidupnya untuk agama dan
menyebarkan ilmu agama.
* * *
Peringatan semacam ini tentunya bukan untuk mendewakan
para leluhur, namun justru mengenang jasa-jasanya agar senantiasa kita bisa
meneruskan perjuangan yang telah mereka mulai. Karena, melanjutkan dan
mempertahankan itu jauh lebih sulit dibandingkan dengan memulainya.
Tak ada penjelasan pasti kapan tradisi haul pertama kali dilaksanakan, namun haul diyakini pertama kali berkembang di kalangan masyarakat muslim di Hadramaut, Yaman.
Adapun di Indonesia sendiri, tradisi
haul pertama kali dipopulerkan oleh al-Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi di
Surabaya pada awal tahun 1900-an, kemudian diikuti oleh para habaib dan kyai-kyai
setelanya. Tradisi ini kemudian disyi’arkan dan dipopulerkan di kalangan warga
Nahdliyyin.
Kegiatan Haul semacam itu mengandung
sedikitnya tiga hal, yakni ziarah kubur, sedekah makanan dan minuman serta
acara pembacaan al-Qur’an dan nasehat-nasehat keagamaan. Selain itu, kadang
juga dituturkan manaqib (biografi) dari wali atau ulama’ yang telah wafat
tersebut.
Cara yang terakhir ini adalah sesuatu yang
baik untuk mendorong oranglain agar mengikuti jalan terpuji yang telah dilakukan
para wali dan ulama’ yang telah wafat.
Hal tersebut sesuai dengan yang tertera pada
kitab al-Fatawa al-Kubra, Juz 2:18 dan Ahkam al-Fuqoha’, Juz 3: 41-42,
ذِكْرَ يَوْمِ اْلوَفَاةِ
لِبَعْضِ اْلاَوْلِيَاءِ وَالْعُلَمَاءِ مِمَّا لَا يَنْهَاهُ الشَّرِيْعَةُ
الْغُرَّاءُ، حَيْثُ اَنَّهَا تَشْتَمِ غَالِبًا عَلَى ثَلَاثَةِ أُمُوْرٍ مِنْهَا
زِيَارَةُ اْلقُبُوْرِ، وَتَصَدُّقُ بِاْلمَأْكُوْلِ وَاْلمَشَارِبِ وَكِلَاهُمَا
غَيْرُ مَنْهِيٍّ عَنْهُ، وَمِنْهَا قِرَاَةُ اْلقُرْآنِ وَاْلوَعْدِ الدِّيْنِي وَقَدْ يُذْكَرُ فِيْهِ مَنَاقِبُ
اْلمُتَوَفَّى وَذَالِكَ مَسْتَحْسَنٌ لِلْحَثِّ غَلَى سُلُوْكِ الطَّرِيْقَتِهِ
اْلمَحْمُوْدَةِ
Sebagaimana yang lazim diadakan di berbagai pesantren
Nusantara, haul untuk para pendiri dan tokoh-tokoh yang berjasa terhadap
perkembangan pesantren diadakan bersamaan dengan acara tahunan pesantren,
semisal khataman kitab akhir tahun, pertemuan wali santri, atau dzikir akbar
tahunan.
Ponpes Al-Iman Bulus sendiri juga
mengadakannya bersamaan dengan acara tahunan pesantren, seperti haflah
akhirussannah, tasyakuran khataman al-Qur’an serta kitab Tafsir Jalalain.
Sejarah dan Perkembangan Haul serta Khataman Tafsir Jalalain dan Al-Qur’an Ponpes Al-Iman dari Masa ke Masa
1. Sejarah haul Ponpes Al-Iman dan perkembangannya
Acara haul mulai diadakan di Ponpes Al-Iman sekitar era
tahun enam puluhan, pada masa kepemimpinan Al-Ustadz Agil. Namun, terdapat
pendapat yang menyatakan bahwa Haul di Bulus sudah ada sejak awal 1900-an.
Haul yang diselenggarakan pada masa Al-Ustadz Agil
dalam rangka memperingati haulnya Mbah Ahmad Ngalim dan Mbah Jayeng Kewuh, yang
diikuti oleh jamaah thoriqoh dan beberapa santri. Oleh karena jama’ah thoriqoh
dan santrinya masih sedikit, rangkaian acaranya juga tidak begitu padat seperti
pada era sekarang ini.
Pada waktu itu, acara dilaksanakan dalam
jangka waktu satu hari. Dimulai dengan ziarah ke makam Cokronegoro I (Bupati
pertama Purworejo) kemudian dilanjutkan ziarah ke maqbaroh yang berada di
sebelah barat masjid Jami’ Al-Iman, yakni makam Mbah Ngalim, Sayyid Ali, Sayyid
Muhammad dan lain sebagainya.
Setelah rangkaian ziarah selesai, acara dilanjutkan
dengan pembacaan sholawat Burdah di masjid Jami’ Al-Iman, kemudian ditutup
dengan pengajian haul.
Masih pada era kepemimpinan Sayyid Agil, acara
haul berkembang dan kemudian dipisah menjadi beberapa acara dalam satu tahun.
Acara haul Mbah Ngalim diadakan setiap tanggal 1 Jumadil Akhir.
Adapun haul Sayyid Muhammad (abahnya Sayyid
Agil) selalu diadakan pada bulan Sya’ban, tepatnya pada tanggal 22 Sya’ban. Sedangkan
untuk acara selain haul, terdapat acara haflah tasyakur khataman Tafsir Jalalain.
Acara tersebut diadakan secara terpisah dengan
haul yang diadakan setiap tanggal 8 Maulid, sekaligus digabungkan dengan acara
muludan. Sehingga pada era Sayyid Agil, pernah dalam kurun waktu satu tahun
mengadakan tiga kali acara sekaligus.
Acara haul yang diadakan pada era Sayyid Agil
tersebut sangatlah sederhana. Diawali dengan ziarah sekitar pukul 08.00 WIB,
bersama para jama’ah thoriqoh dan masyarakat sekitar desa Bulus yang dipimpin
langsung oleh Sayyid Agil.
Kemudian acara selanjutnya adalah kepungan
(makan bersama) antara keluarga ndalem dan masyarakat sekitar desa Bulus di
serambi masjid Jami’ Al-Iman. Acara kepungan tersebut termasuk sederhana, hanya
memakai ancak dan daun pisang, dengan lauk seadanya.
Adapun bagi tamu dari jama’ah thoriqoh yang
kediamannya jauh, mereka biasanya diminta datang lebih awal serta menginap di
ndalem, dan biasanya Sayyid Agil memberikan semacam mau’idzoh hasanah yang
hanya diperuntukkan khusus bagi para jama’ah thoriqoh yang menginap di ndalem
beliau tersebut.
Setelah berjalannya waktu serta meningkatnya
jumlah jama’ah thoriqoh yang hadir, maka pada era al-Ustadz Hasan acara haul
dan khataman tersebut digabung serta dipermanenkan sekitar tanggal 20-23
Sya’ban, agar lebih efektif dan tidak menganggu kegiatan belajar-mengajar (KBM).
Sedikit tambahan, munculnya istilah seperti
“Haul Ke-37” mulai muncul pada era kepemimpinan al-Ustadz Hasan. Sedangkan pada
era Sayyid Agil dulu, istilahnya hanya memakai istilah “Ruwahan”. Selain itu,
dulu pemberitahuan acaranya pun sangatlah sederhana, tidak pakai uleman, dan yang
diundang hanya kyai-kyai sekitar saja, tanpa mengundang pejabat pemerintahan.
2. Sejarah khataman Tafsir Jalalain Ponpes Al-Iman dan perkembangannya
Acara khataman Tafsir Jalalain sudah ada sejak era
kepemimpinan Sayyid Agil. Di era tersebut, seperti yang telah diuraikan di
atas, acara khataman tafsir masih dipisah dengan acara haul. Acara khataman
tafsir diadakan setiap tanggal 8 Maulud, sekaligus dibarengkan dengan acara
mauludan.
Adapun mengenai alasan mengapa kitab yang dijadikan
khataman adalah kitab Tafsir Jalalain adalah karena Sayyid Agil bertafa’ullan dengan
salah satu guru beliau, yakni Sayyid Saggaf.
Mengenai model acaranya pun sedikit berbeda
dengan acara khataman Tafsir pada era al-Ustadz Hasan sekarang. Di era Sayyid
Agil dulu, khotimin-khotimat Tafsir Jalalain maju satu persatu dan setiap anak membaca
teks Arab dari Tafsir Jalalain untuk kemudian ditarkib menggunakan tarkib Jawa
pegon (utawi iku). Dan membacanya pun hanya di atas mimbar.
Setelah berjalannya waktu dan jumlah santri
yang semakin banyak, maka pada awal-awal era kepemimpinan al-Ustadz Hasan,
khotimin-khotimat Tafsir Jalalain yang maju langsung tiga anak, khotimin yang
pertama membaca teks Arab Tafsir Jalalain, yang kedua membaca tarkib Jawa
pegon, lalu yang terakhir membaca kesimpulan dari teks yang telah dibaca dengan
menggunakan bahasa Indonesia.
Kemudian setelah beberapa dekade lamanya
menggunakan model demonstrasi pembacaan kitab tafsir Jalalain tersebut, akhirnya,
melihat jumlah santri yang semakin membludak, yang menjadikan model demonstrasi
tersebut tidak lagi efektif, mulai tahun 2021 lalu tidak lagi menggunakan model
demonstrasi pembacaan Tafsir Jalalain lagi, akan tetapi diganti dengan acara
wisuda.
Mengenai busana yang dipakai oleh
khotimin-khotimat Tafsir juga sudah berkali-kali berubah. Awalnya, busana yang dipakai
adalah jas dan celana panjang. Lalu, pada era sekitar tahun 1976-1977-an mulai mengenakan
jubah. Kemudian mulai tahun 2014 lalu, busana yang dipakai kembali lagi
mengenakan jas dan celana panjang. Berselang dua tahun kemudian, yakni tahun 2016,
busana yang dipakai menggunakan jas dan sarung hingga berlanjut sampai sekarang.
Adapun yang mengisi pengajian umum pada acara
khataman tafsir era Sayyid Agil hanya Sayyid Saggaf al-Jufry (salah satu guru
Sayyid Agil). Baru setelah Sayyid Saggaf wafat, mulai mengundangmuballigh-muballigh
lain seperti Kyai Imron dari Sidoarjo pada tahun 1981, Kyai Zainul Arifin dari
Tegal pada tahun 1982 dan Kyai Mukhlisin dari Semarang pada tahun 1983.
3. Sejarah khataman al-Qur’an Ponpes Al-Iman dan perkembangannya
Acara khotmil Qur’an mulai ada pada era kepemimpinan
al-Ustadz Hasan. Artinya, pada era kepemimpinan Sayyid Agil acara tersebut belumlah
ada.
Pada era kepemimpinan Sayyid Agil memang sudah
ada kegiatan ngaji al-Qur’an biasa di pondok, akan tetapi tidak diadakan acara khotmil
Qur’an-nya.
Adapun maqro’ yang dibaca pada acara khataman
al-Qur’an era al-Ustadz Hasan tersebut awalnya hanyalah surat-surat pendek dari
surat adh-Dhuha sampai an-Nas saja. Baru pada akhir-akhir ini, maqro’ tersebut
berubah menjadi kompilasi dari berbagai macam surat yang ada dalam al-Qur’an.
Walhasil, dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa pada masa kepemimpinan Sayyid Agil dulu, acara haul dan khataman Tafsir
Jalalain dipisah. Acara haul dari Mbah Ngalim diadakan setiap tanggal 1 Jumadil
Akhir, lalu haul Sayyid Muhammad pada 22 Sya’ban, sedangkan khataman Tafsir
Jalalain pada setiap tanggal 8 Maulud sekaligus dibarengkan dengan acara
mauludan.
Pada era itu belum ada acara khataman
al-Qur’an. Acara khotmil Qur’an mulai ada pada era kepemimpinan al-Ustadz
Hasan.
Setelah berjalannya waktu dan keluarga serta
jama’ah thoriqoh semakin banyak, maka pada era al-Ustadz Hasan acara haul dan
khataman tersebut digabung serta dipermanenkan sekitar tanggal 20-23 Sya’ban,
agar lebih efektif dan tidak menganggu kegiatan belajar-mengajar (KBM).
Tujuan dan Hikmah Haul
1. Tujuan
Acara haul yang diselenggarakan tersebut bertujuan untuk
mendo’akan para masyayikh dan mengingat kebaikan-kebaikan mereka dengan
meneruskan perjuangannya.
2. Hikmah
Tentunya banyak hikmah yang dapat kita ambil pada acara
haul tersebut. Berikut adalah beberapa diantaranya:
a. Upaya kita, sebagai santri beliau-beliau, untuk terus
mengenang jasa-jasa para masyayikh dengan cara meneladani metode-metode
keilmuan, baik sistem belajar ataupun mengajar yang telah mereka contohkan.
Acara haul tersebut dapat menjadi sebuah
pelajaran agar setiap orang berusaha menjadi figur yang memberikan kesan baik
supaya jadi perbincangan yang baik pula bagi orang-orang yang ditinggalkan,
seperti sebuah maqolah yang berbunyi:
وَلا شَيْءَ يدَوْمُ، فَكَنْ
حَدِيثْاً جَمِيْلَ الذِّكْرِ فاَلدُّنيْاَ حَدِيثٌ
Artinya: “Tak ada satupun di dunia ini yang kekal abadi. Maka, ukirlah cerita indah sebagai kenangan, karena dunia memang sebuah cerita.” (al-Hithoh fi Dzikr ash-Shihah: 257)
b. Momentum bertemu dan berkumpulnya kyai bertemu santri (khususnya santri mutakhorijin) untuk memperkuat silaturrohim dan silaturruh. Tentunya masih banyak lagi hikmah yang ada di balik perayaan haul masyayikh.
Relevansi Haul di Zaman Modern
Acara haul akan selalu relevan kapan saja, meski di zaman modern sekalipun. Hal tersebut karena jikalau acara haul ditiadakan, kita akan lupa terhadap jasa-jasa para masyayikh.
Mengingat jasa para pendahulu kita, terutama guru sangatlah penting. Bahkan sampai dalam banyak surat al-Qur’an dikisahkan kisah-kisah nabi terdahulu agar kita meniru mereka.
Demikianlah hasil wawancara eksklusif tim Bilqolam dengan Habib Faqih Muqoddam Ba'abud dengan tema sejarah, perkembangan, tujuan serta hikmah perayaan haul masyayikh.
Semoga uraian hasil wawancara eksklusif bersama
Habib Faqih Muqoddam Ba’abud tersebut bermanfaat dan sedikit mengubah perspektif
pembaca mengenai perayaan haul masyayikh yang sudah berlangsung beberapa
dekade. Selamat membaca.
0 Komentar