Mendengar pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan dari muridnya itu, Imam Kholil diam membisu dan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Beliau telah dikalahkan oleh muridnya sendiri, yaitu Imam Syibawaih.
Oleh: M. Ryan Romadhon
Suatu ketika, Imam Kholil berdebat dengan salah satu muridnya, yakni Imam Sibawaih mengenai a’roful ma’arif (isim yang paling ma'rifat).
Beliau
berdua berdebat mengenai diantara isim ma’rifat yang berjumlah enam tersebut,
manakah yang dianggap paling ma’rifat? Cerita selengkapnya seperti di bawah
ini.
* * *
Kisah Perdebatan Murid dengan Sang Guru Mengenai Isim yang Paling Ma'rifat
Sebagaimana biasanya, pada tiap hari Imam
Sibawaih selalu belajar dengan gurunya, yakni Imam Kholil bin Ahmad
al-Farohidi. Kebetulan pada waktu itu objek kajian beliau berdua berkenaan
dengan isim-isim ma’rifat.
Setelah mendengar keterangan dari gurunya yang menjelaskan bahwa isim yang paling ma’rifat dari keseluruhan isim ma’rifat yang berjumlah enam adalah isim dhomir, muncullah suatu keraguan dalam hati Imam Sibawaih.
Beliau bertanya-tanya dalam hati sembari merenungkan kalimat
demi kalimat yang disampaikan oleh gurunya itu.
Ketika gurunya tersebut diam, Imam
Sibawaih pun angkat bicara seraya berkata, “Setelah mendengarkan keterangan
anda, saya agak ragu apakah benar isim yang paling ma’rifat itu adalah isim
dhomir?”
Mendengar pertanyaan skeptis dari muridnya
itu, Imam Kholil (sang guru) mengeluarkan seluruh dalil-dalil dan
keterangan-keteranagn untuk menjelaskan dan menguatkan pendapatnya.
Namun, setelah dijelaskan beberapa kali,
tetap saja Imam Sibawaih meragukannya dan malahan menyanggah apa yang
disampaikan oleh gurunya itu.
Dengan tanpa mengurangi rasa hormatnya
terhadap sang guru, Imam Sibawaih mencoba menyampaikan pendapatnya dengan
tenang dan argumentatif. Imam Sibawaih lebih setuju kalau isim yang paling
ma’rifat diantara isim ma’rifat yang berjumlah enam itu adalah isim ‘alam.
Imam Kholil tidak terima dengan pendapat
yang diutarakan oleh Imam Sibawaih tersebut, dan tetap bersikukuh dengan
pendapatnya.
* * *
Imam Sibawaih adalah seorang yang jenius.
Beliau membuktikan sendiri kebenaran pendapatnya itu dengan pendekatan empiris.
Suatu malam, beliau berkunjung ke rumah
sang gurunya (Imam Kholil) tersebut. Setelah berada di depan pintu rumah sang
guru, Imam Sibawaih tidak langsung masuk dan menemui Imam Kholil sebagaimana
biasanya.
Beliau mengetuk-ngetuk pintu rumah gurunya
tersebut beberapa kali dengan harapan sang guru akan bertanya siapakah
sebenarnya yang datang. Setelah beberapa kali diketuk, ternyata sang guru belum
juga muncul dan bertanya.
Kemudian untuk kesekian kalinya kembali
beliau mengetuk pintu sampai terdengar dari dalam rumah suara Imam Kholil yang
bertanya, “Siapa?”
Mendengar suara tersebut, bukan main hati
Imam Sibawaih, karena memang pertanyaan itulah yang beliau harapkan terlontar
dari mulut Imam Kholil.
Dengan sesegera mungkin beliau menjawab,
“Ana” (Saya).
Karena merasa belum jelas, Imam Kholil
kembali bertanya, “Ana siapa”
Kemudian dijawab lagi oleh Imam Sibawaih,
“Ana”
Mendengar jawaban tersebut, Imam Kholil
merasa penasaran, siapakah sebenarnya orang yang menjawab “Ana” tersebut.
Saking penasarannya, Imam Kholil langsung berjalan ke depan pintu dan langsung
membukanya.
Pada saat pintu terbuka, ternyata orang
yang menjawab “Ana” itu tak lain tak bukan adalah Imam Sibawaih, murid
kesayangan beliau sendiri.
Pada saat yang bersamaan, Imam Sibawaih pun tersenyum melihat gurunya yang tengah berdiri di depan pintu, sembari berkata, “Bagaimana guru, apakah engkau hingga saat ini masih bersikukuh mengatakan bahwa isim dhomir adalah isim yang paling ma’rifat?
Bukankah ketika Saya
datang kemudian Anda bertanya, “Siapa” kepada Saya, lalu Saya jawab, “Ana”
(isim dhomir), belum memberikan pengetahuan yang jelas (isim ma’rifat) terhadap
Anda? Belum cukupkah bukti itu menunjukkan bahwa isim ‘alam lebih ma’rifat
daripada isim dhomir?”
Mendengar pertanyaan-pertanyaan yang
memojokkan dari muridnya itu, Imam Kholil diam membisu dan tidak bisa berkata
apa-apa lagi. Beliau telah dikalahkan oleh muridnya sendiri, yaitu Imam
Sibawaih.
Referensi:
- Buku Imam Syibawaih: Sang Pakar Ilmu Nahwu karya Abu An’im, hal. 48-51.
0 Komentar