Benar kata Bapak, Allah akan mencukupinya. Ternyata, percaya kepada Allah sudah lebih dari cukup.
Oleh: Kumala Nur Sabila
Jariku terusku mainkan, hatiku berdebar tak karuan. Aku
berharap namaku tak tercantum di salah satu dari sekian banyak nama yang
tertera di papan pengumuman.
“Alhamdulillah,” ucap bapakku.
Seketika seluruh tubuhku mati rasa. Bagaimana bisa aku
terdaftar sebagai salah satu calon santri?
* * *
“Faizin, sudah siap?” Tanya bapak padaku.
Ibu memandangku, dari raut wajahnya aku tau bahwa dia tengah
meyakinkanku.
“Insyaallah siap, pak,” jawabku meyakinkan bapak.
“Ya sudah, mari berangkat.”
Aku melangkah dengan berat, tak tau akan jadi apa aku tanpa
bapak dan ibu setelah ini.
”Pak, memang harus ya, mondok?” tanyaku pada bapak yang
kuyakini tak akan mengubah niatnya. Kulihat bapak menghela nafas.
“Begini, bukannya bapak sama ibu nggak sayang sama kamu,
tapi bapak sama ibu nggak mau kamu seperti kami.”
Aku paham perasaan bapak, ia menginginkanku mendapat pelajaran yang seimbang antara dunia dan akhirat.
Namun, tetap berat bagiku
jika harus berpisah dengan mereka, jauh dari rumah, meskipun sudah kucoba
menguatkan hati berkali-kali.
* * *
Hari ini pertama kalinya
aku menginjakkan kaki di pondok pesantren. Aku kebingungan, mata ini tak
henti-hentinya memandang tembok-tembok tinggi di pesantren yang semakin
kupandangi, semakin ku merasa kecil dan asing.
“Ya Allah mudahkan aku dalam menuntun ilmu.” Bisikku sembari
mencari tempat istirahat.
“Akhirnya aku sampai di masjid.” kataku sambil melepas
sandal.
Dari arah tempat wudhu, seorang lelaki berkumis melangkah
menghampiriku. Meski aku tak mengenalnya, wajahnya yang segar karena air wudhu
entah kenapa terasa menyenangkan.
“Kamu santri baru ya?”
“Iya, mas.”
“Semoga betah ya di sini.”
“Amin, permisi mas, mau ambil wudhu.”
“Ya, monggo monggo.”
* * *
Setelah satu bulan di pesantren..
Memang awalnya sulit untuk beradaptasi. Terutama jadwal yang begitu padat. Kegiatan bangun tidur sampai tidur lagi sudah diatur dalam selembar kertas yang ditempel di dinding kamar masing-masing.
Tapi, semua itu tak memberatkanku. Terutama sejak aku mulai akrab dengan teman-temanku.
Tak
kusadari sebelumnya bahwa efek dari teman bisa sedahsyat ini, aku dapat
melupakan beban pikiran. Dalam berbagai hal, mereka sangat membantu.
“Riz, boleh minta tolong? Aku disimakkan hafalan ini sebelum
tak setorkan ke pak ustadz.” Pintaku pada Rizky. Dia teman sekamarku.
“Boleh, di bawah pohon itu saja ya, Zin.”
“Ya sudah, mari.”
“Sudah hafal berapa juz kamu Riz?” tanyaku padanya.
“Masih sedikit kalau dibandingkan sama kamu.” Rizky tersenyum.
“Ya jangan merendah seperti itu Riz, nanti pasti bakalan
banyak kok,” ucapku menyemangatinya.
”Amin.”
* * *
Rasa rinduku pada bapak dan ibu sudah sedikit terobati dengan telepon tadi. Setelah hampir satu tahun aku di pondok, bukan pertama kalinya mereka tidak bisa mengirim uang yang cukup. Beberapa kali aku harus menahan lapar hingga kiriman tiba.
Namun, aku tahu bahwa inilah cobaan, banyak
dari teman-temanku yang bilang, “Nek durung tau ngrasani keentekan duit nang
pondok, rung afdhol.” (kalau belum pernah merasalan kehabisan uang di pondok,
belum afdhol)
Meskipun aku tahu uang yang diberikan bapak tak sebanyak
anak-anak lain. Aku selalu mengingat ajarannya. Bapak selalu mengajariku jangan
pernah lupa untuk bershodaqoh. Dan aku selalu mengamalkannya.
Malam berganti pagi, suara kokokan ayam mulai terdengar.
Sebelum adzan berkumandang, kuselesaikan makan sahurku.
”Ya Allah kuatkan aku untuk menjalani puasa daud ini hingga
sore hari.”
Aku sering sekali melakukan hal ini. Saat uang menipis, aku
jadi sangat rajin berpuasa. Aku berharap niatku itu tidak mengurangi pahala
puasaku.
* * *
Dengan semangat perjuangan yang membara, kulangkahkan kaki menuju gedung madrasah. Kulihat para murid berduyun-duyun menuju kelas.
Namun,
langkahku terhenti ketika melihat pengumuman yang tertempel di papan
pengumuman. Akan diadakan seleksi lomba tahfidz qur`an, yang berhasil lolos
akan mengikuti pertukaran pelajar ke Mesir. Mataku berbinar, pengumuman itu
membuat semangat dan jiwa pelajarku berkobar.
Tak butuh waktu lama aku sudah berdiri di depan pintu kantor pondok pesantren. Kuminta mas pengurus menelfonkan bapak dan ibu.
Betapa
senangnya hatiku ketika Bapak dan Ibu mengizinkanku mengikuti seleksi itu.
Setelah mendapat izin dari mereka aku langsung bergegas menuju panitia
pendaftaran.
* * *
“Faizin, bagaimana hasilnya?” Suara Ibu langsung menyambut
telingaku.
“Aku lolos bu, pak,” ucapku pada mereka.
“Alhamdulillah ya Allah” Kudengar Ibuku menangis
mendengarnya.
“Tapi…” Suaraku tercekat. Bagaimana caraku bilang pada
mereka?
“Kenapa Faizin, apa kamu tidak suka?” Tanya bapak padaku.
“Bukan begitu, ada biayanya pak. Dan itu mahal. Aku tak usah
berangkat saja lah.”
“Memang berapa?” Tanya Bapak kembali.
“Sepuluh juta pak,” jawabku jujur.
“Sudah tak usah pikirkan biaya. Biar bapak urus biayanya.
Allah yang mengizinkanmu ke Mesir, Allah juga yang akan memberi jalan
mendapatkan uang.”
Aku sudah tahu bapak akan mengatakan itu. Tapi, mendengarnya langsung membuatku sangat bahagia. “Terimakasih pak.”
* * *
Saat ini aku berada di dalam pesawat menuju ke Mesir. Aku begitu bahagia karena orang tuaku memiliki rasa cinta begitu besar kepada Allah.
Benar kata Bapak, Allah akan mencukupinya. Subhanallah, biaya perjalananku bukan berasal dari kantong bapak, tetapi teman-teman bapak dan para ustadz yang ikhlas menyumbang.
Ternyata, percaya kepada Allah sudah lebih
dari cukup. Subhanallah. Allahu Akbar.
0 Komentar