KH. Abdul Wahid Hasyim terkenal akan kecerdasan serta gagasan pembaharuannya, Ia menjadi salah satu orang yang sangat berjasa bagi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Oleh: Abil Chusna
Kyai Haji Abdul Wahid Hasyim adalah putra
dari pasangan KH. Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqoh. Beliau lahir pada hari Jumat Legi, 5 Robi’ul
Awwal 1333 H atau bertepatan dengan 1 Juni 1914 M, ketika di rumahnya sedang ramai dengan
pengajian..
* * *
Perjalanan Intelektual KH. Abdul Wahid Hasyim
Sejak kecil, beliau sudah dididik agama oleh ayah beliau
sendiri yaitu KH. Hasyim Asy’ari. Pembelajaran beliau dimulai bakda sholat Maghrib
dan Dzuhur. Selain itu, beliau juga sudah tekun mempelajari al-Qur’an
dan mendalami berbagai ilmu agama lainnya.
Baru menginjak umur 12 tahun, beliau sudah
dipercaya ayahnya untuk mengajarkan kitab ‘Izzi (ilmu gramatika Arab) kepada
adiknya, Karim Hasyim.
Pada saat usia sekolah, beliau masuk Madrasah
Salafiyyah Tebuireng. Setelah berumur 13 tahun, beliau belajar di Pondok
Siwalan, sebuah pesantren tua di Sidoharjo. Tapi sayangnya, beliau hanya
bertahan satu bulan.
Beliau kemudian pindah belajar ke Pondok
Pesantren Lirboyo. Di pondok pesantren ini pun, beliau hanya bertahan dalam
waktu yang singkat, yakni hanya beberapa hari saja.
Sepulang dari Lirboyo, KH. Abdul Wahid Hasyim
tidak meneruskan belajarnya di pesantren lain, tetapi memilih tinggal di rumah.
Sebab, menurut ayahnya, KH. Abdul Wahid Hasyim bisa menentukan sendiri
bagaimana harus belajar.
Dan betul saja, selama berada di rumah,
semangat belajarnya tidak pernah padam, terutama belajar secara otodidak.
Beliau memiliki kemahiran dalam membaca dan
menulis latin. Dan yang lebih mengesankan dari beliau yaitu keluasan akan
pengetahuan umum lainnya yang diperoleh beliau secara otodidak.
Pada tahun 1932 beliau kembali melanjutkan
pendidikannya di Makkah bersama sepupunya, Muchammad Ilyas, ialah yang
mengajari Wahid Bahasa Arab hingga fasih berbahasa Arab. Sehingga menjadikan KH. Abdul Wahid Hasyim menguasai tiga bahasa
asing, yakni Arab, Inggris, dan Belanda.
Kepergiannya ke Makkah, di samping untuk
menunaikan rukun Islam kelima juga untuk memperdalam berbagai cabang ilmu
agama.
Baca Juga: Profil Singkat Nahdlatul Ulama’ yang Tengah Memperingati Harlah Satu Abadnya
Kiprah KH. Abdul Wahid Hasyim di Nahdlatul Ulama (NU)
Setelah kembali dari Mekkah, KH. Abdul Wahid Hasyim
merasa perlu mengamalkan ilmunya dengan melakukan memodernisasi, baik di bidang
sosial, keagamaan, pendidikan dan politik.
Pada tahun 1938 KH. Abdul Wahid Hasyim banyak mencurahkan waktunya untuk kegiatan-kegiatan NU. Beliau memulai peran pertamanya di organisasi NU dengan menjabat sebagai Sekretaris Pengurus Ranting NU di desanya pada tahun 1938 M.
Tidak lama kemudian, beliau diangkat menjadi anggota
Pengurus Cabang NU yang ada di Jombang dan kemudian menjabat sebagai anggota Pengurus Besar NU di wilayah Surabaya.
Dari sini kariernya terus meningkat sampai Ma’arif NU pada tahun 1938.
Ketika Muktamar ke-19 di Palembang KH. Abdul Wahid Hasyim dicalonkan sebagai Ketua Umum PBNU, namun beliau menolaknya, dan mengusulkan agar KH. Masykur menempati jabatan sebagai Ketua Umum.
Kemudian, atas penolakan KH. Abdul Wahid Hasyim untuk menduduki jabatan Ketua Umum, maka
terpilihlah KH. Masykur menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Namun, berhubung KH. Masykur diangkat menjadi
Menteri Agama dalam Kabinet Ali Arifin, maka NU menonaktifkan KH. Masykur
selaku ketua umum, dan dengan demikian, maka KH. Abdul Wahid Hasyim ditetapkan
sebagai Ketua Umum PBNU.
Baca Juga: Apa Sajakah Warisan Pemikiran An-Nahdhiyyah?
Pernikahan KH. Abdul Wahid Hasyim dengan Nyai Solichah
Saat Wahid Hasyim berusia 25 tahun, ketika itu beliau mempersunting perempuan bernama Nyai Solichah, seorang gadis yang merupakan putri dari KH. Bisri Syansuri.
Dari pernikahan ini
lahirlah tokoh hebat selanjutnya yaitu Abdurrahman Ad-Dakhil atau akrab disapa
Gus Dur Presiden ke-4 Republik Indonesia dan Ketua Umum PBNU periode 1984-1989
M dan 1989-1994.
Beberapa Jasa KH. Abdul Wahid Hasyim
KH. Abdul Wahid Hasyim terkenal
akan kecerdasan serta gagasan pembaharuannya, Ia menjadi salah satu orang
yang sangat berjasa bagi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
29 April 1945 saat desas-desus kemerdekaan Indonesia mulai terdengar lantang berdirilah satu lembaga yang merumuskan asas negara Indonesia BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia).
Kiai Wahid merupakan
anggota junior yang tergabung dalam lembaga tersebut, dari sinilah dibentuknya
panitia sembilan guna merumuskan lima dasar negara Indonesia, Pancasila.
Dari sini pula Kiai Wahid mempunyai jasa besar bagi kesatuan bangsa
Indonesia, yakni penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta tanpa mengurangi
esensi yang ada dalamnya, sehingga lahirlah sila pertama yang mengedepankan
kesatuan, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selain itu, ada juga beberapa prestasi yang diperoleh beliau, diantaranya adalah:
- Pendiri Lenbaga
Pendidikan Ma’arif (1938 M).
- Anggota BPUPKI.
- Anggota
PPKI.
- Salah satu
orang yang menandatangani Piagam Jakarta.
- Menteri Negara tahun 1945.
- Menteri Agama masa bakti 1949-1953.
- Memprakarsai
berdirinya IAIN.
Pesan yang sering beliau sampaikan adalah, “Giatkan pendidikan bagi tunas muda NU, karena tanpa
pendidikan, NU akan kehilangan generasi penerusnya.”
Wafatnya KH. Abdul Wahid Hasyim
Wahid Hasyim wafat akibat kecelakaan mobil di jalan yang menghubungkan Kota Cimahi dan Kota Bandung. Ia wafat pada tanggal 19 April 1953 di usia 39 tahun.
Saat itu, ia sedang dalam perjalanan untuk mengahadiri rapat
Nahdlatul Ulama di Kabupaten Sumedang. Kecelakaan terjadi karena mobil terselip
akibat jalanan licin yang disebabkan oleh hujan deras.
Referensi:
- https://tebuireng.online/mengenal-lebih-dekat-sosok-kh-abdul-wahid-hasyim/, diakses pada 28 Februari 2023.
- https://www.laduni.id/post/read/55855/biografi-kh-abdul-wahid-hasyim.html, diakses pada 28 Februari 2023.
- https://id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Wahid_Hasyim#, diakses pada 28 Februari 2023.
0 Komentar