Like Us Facebook

Biografi Imam Nawawi, Sang Quthb al-Auliya’


Menyibukkan diri dengan ilmu merupakan hal yang lebih utama daripada melakukan ibadah, sebab manfaat dari suatu ilmu bersifat universal, sementara ibadah hanya bersifat parsial.




Oleh: Sabiq Muhammad

Al-Imam Yahya bin Syaraf bin Muri bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hazam al-Nawawi, al-Hazami, al-Haurani, al-Dimisyqi –atau yang sering kita sapa dengan Imam Nawawi– merupakan ulama’ besar madzhab Syafi’i yang dilahirkan pada 10 hari di pertengahan bulan Muharrom 631 H, bertepatan dengan tahun 1233 M.


* * *


Imam Nawawi tumbuh di suatu kota –yang berada di wilayah Hauran, Damaskus– yang bernama Nawa. 

    Sehingga kemudian, Imam Nawawi dinisbatkan kepada daerah-daerah tersebut, yakni an-Nawawi, al-Haurani, al-Dimisyqi. Adapun al-Hazami adalah kakek kelima beliau.

 

Nama Julukan & Kunyah Imam Nawawi

Imam Nawawi memiliki nama julukan yang tergolong banyak. Diantaranya yaitu Syekh al-Islam, Syekh al-Madzhab, dan Muhyi ad-Din.

Nama Muhyi ad-Din  (orang yang menghidupkan agama) ini merupakan nama yang paling banyak dijadikan sebagai julukan Imam Nawawi oleh pelbagai biografi. Hanya saja, Imam Nawawi sendiri tidak senang apabila beliau diberi julukan semacam itu. Beliau berkata bahwasannya beliau tidak menghalalkannya.

Ini merupakan bentuk tawadhu’ Imam Nawawi kepada Allah Swt. Atau, boleh jadi, ketidaksenangan beliau ini dilatarbelakangi oleh pernyataan bahwa agama merupakan suatu hal yang konsisten, sehingga agama tidak memerlukan seseorang yang menghidupkannya.

Imam Nawawi juga memiliki nama kunyah, yaitu Abu Zakaria. Abu Zakaria merupakan nama kunyah yang diperuntukkan bagi orang-orang yang memiliki keutamaan. Imam Nawawi mendapatkan nama ini dikarenakan beliau semasa hidupnya tidak menikah sama sekali.


 

Masa Kecil Imam Nawawi

Tatkala kecil, Imam Nawawi memiliki pengalaman yang kurang menyenangkan dengan teman-teman sebayanya. 

    Syekh Yasin bin Yusuf al-Maraksyi mengisahkan bahwa pada suatu hari, beliau melihat Imam Nawawi kecil hendak bermain dengan teman sebayanya. Kala itu, Imam Nawawi masih berumur sepuluh tahun.

Namun sayang, teman-teman beliau menolak lantaran mereka tak senang apabila Imam Nawawi ikut serta dengan mereka. 

Imam Nawawi pun berlari meninggalkan mereka seraya menangis. Setelah itu, Imam Nawawi memutuskan untuk membaca al-Qur’an, sehingga tumbuh rasa kecintaan beliau terhadap al-Qur’an.

            Ayah beliau, yakni Syekh Yahya bin Muri, pernah suatu ketika memerintahkan Imam Nawawi untuk menjaga toko miliknya. 


Baca Juga: Biografi Imam Syafi'i Lengkap


Meskipun begitu, hal tersebut tidak menjadikan Imam Nawawi tersibukkan dari membaca al-Qur’an. Beliau tetap saja membaca al-Qur’an meski harus menjaga toko milik ayahnya pula.

      Syekh Yasin bin Yusuf kemudian mendatangi Imam Nawawi dan berkata, “Semoga anak ini kelak menjadi orang yang paling ‘alim di zamannya, paling zuhud, dan orang-orang akan mengambil kemanfaatan darinya.” Imam Nawawi pun membalas dengan bertanya, “Apakah engkau seorang peramal?” “Bukan,” jawab Syaikh Yasin, “hanya saja, Allah Swt. berkata kepadaku seperti itu.”

   Imam Nawawi pun setelah itu menyampaikan hal demikian kepada ayah beliau. Sehingga, menjadikan Imam Nawawi bersemangat untuk mengkhatamkan Al-Qur’an sementara beliau belum mencapai usia baligh.

 

Rihlah ‘Ilmiyyah Imam Nawawi

Rihlah ‘ilmiyyah Imam Nawawi bermula pada saat beliau berumur sembilan belas tahun setelah beliau menghabiskan masa kecil beliau dengan membantu ayah beliau dan belajar dengan syekh-syekh di Kota Nawa. 

    Syekh Syarof bin Muri –ayah beliau– membawa Imam Nawawi ke Damaskus untuk menimba ilmu di Madrasah Rawahiyyah pada tahun 649 H/1251 M.

     Madrasah Rowahiyyah merupakan madrasah dimana Syekh Ibnu as-Sholah dan Syekh Ibnu al-Bazi juga menuntut ilmu di sana. Madrasah Rowahiyyah dibangun oleh Zakiy al-Din bin Rawahah al-Hamawi di timur Masjid Ibnu ‘Urwah pada tahun 600 H/1204 M. Imam Nawawi belajar dan memutuskan untuk menetap di sana hingga beliau wafat.

 

Perhatian Imam Nawawi Terhadap Ilmu Pengetahuan

Dalam menuntut ilmu, Imam Nawawi mengerahkan pengorbanan yang tiada tara. Tatkala belajar di Madrasah Rowahiyyah, Imam Nawawi tidak pernah meletakkan perut beliau ke atas lantai. 

    Beliau melakukan hal semacam itu selama dua tahun tanpa henti. Adapun untuk memenuhi kebutuhan gizi, Imam Nawawi hanya makan dan minum seukuran bejana saja.

      Imam Nawawi melakukan hal tersebut lantaran beliau mengerti betapa tingginya derajat ilmu dalam agama Islam. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya hadits Nabi Saw. dan pendapat para sahabat yang Imam Nawawi cantumkan dalam muqoddimah kitab Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab.

Imam Nawawi mengatakan bahwasanya menyibukkan diri dengan ilmu merupakan hal yang lebih utama daripada melakukan ibadah-ibadah badaniyyah seperti sholat sunah, puasa sunah, serta membaca tasbih. 

Hal tersebut dikarenakan manfaat dari suatu ilmu bersifat universal, sementara ibadah-ibadah tersebut hanya bersifat parsial, yakni hanya terbatas kepada pelaku ibadah tersebut.

Dan ilmu merupakan korektor, yang mana ibadah-ibadah selainnya akan bergantung kepadanya. Ditambah lagi, ulama’ merupakan pewaris para nabi, sementara para ahli ibadah tidak memiliki derajat demikian. (Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz. 1, hal. 86-87)

  Selain yang telah disebutkan tadi, Imam Nawawi juga menerangkan keutamaan-keutamaan ilmu di dalam kitab-kitab beliau yang lain, seperti kitab Syarh Shohih Muslim.

Beliau menjelaskan bahwasannya menyibukkan diri dengan ilmu merupakan upaya pendekatan diri kepada Allah Swt. yang paling utama dan merupakan bentuk ketaatan paling agung; bentuk kebaikan paling urgen dan ibadah yang paling kuat; perkara yang paling utama untuk menghabiskan waktu dan yang diperjuangkan serta ditekuni oleh orang-orang yang berjiwa bersih; perkara yang dijadikan perhatian oleh para pemburu kebajikan dan menjadi teman berkholwat para pemburu kemuliaan. (Syarh Shohih Muslim, juz. 1, hal. 07).

 

Manajemen Waktu Imam Nawawi

Imam Nawawi juga tergolong sebagai ulama’ yang memiliki manajemen waktu yang sangat luar biasa. 

    Siang dan malam Imam Nawawi lewati dengan mengeksplorasi hal-hal yang berkenaan dengan edukasi seperti membaca, menulis, muthola’ah, atau mengunjungi syekh-syekh yang ada di sekeliling beliau. 

    Bahkan ketika bepergian pun, Imam Nawawi menggunakan waktu tersebut untuk mengulang hafalan dan belajar.

Dalam satu hari, Imam Nawawi bisa menghadiri sampai dua belas macam pelajaran. Beliau membacakan pelajaran-pelajaran tersebut beserta penjelasan dan koreksi. 

Imam Nawawi juga mampu menghafal kitab at-Tanbih, karya Syaikh Abu Ishaq al-Syirazi (w. 647 H/1249 M), dalam waktu empat setengah bulan dan menghafal seperempat bab ‘ubudiyyah dari kitab al-Muhadzab di sisa waktunya.

 Syekh al-Badr bin Jama’ah menceritakan bahwasanya beliau bertanya kepada Imam Nawawi mengenai tidur beliau. 

 Imam Nawawi pun kemudian mengatakan bahwasannya ketika kantuk menyelimuti, beliau menyandarkan tubuhnya kepada kitab-kitab. Dan dalam waktu singkat, beliau akan terbangun kembali.

 

Keteladanan Imam Nawawi

Selain dalam manajemen waktu, Imam Nawawi juga memiliki sifat-sifat lain yang patut kita teladani. Diantaranya:


1.      1. Selalu membuka perkataan dengan hamdalah

Ketika berbicara, Imam Nawawi selalu membukanya dengan bacaan hamdalah serta memuji kepada Allah Swt. Dan ketika nama Nabi Muhammad Saw. disebutkan, Imam Nawawi akan mengeraskan suaranya, seraya bersholawat kepada Nabi Saw.

 

2.      2. Kecintaan beliau terhadap orang-orang sholih

Imam Nawawi memiliki rasa hormat yang tinggi terhadap orang-orang sholih meskipun Imam Nawawi lebih ‘alim daripada mereka. 

Sebab, apabila seseorang hanya berfokus untuk menekuni ilmu saja, maka seringkali hal tersebut mengakibatkan hatinya menjadi kaku. Sehingga akan timbul rasa ‘ujub, sombong, dan riya’.

Maka dari itu, seyogyanya seseorang tersebut membersihkan hatinya dengan memperbanyak ibadah dan duduk bersama orang-orang sholih guna mendengarkan petuah-petuah dari mereka dan mengambil manfaat darinya.

 

3.      3. Zuhud

Imam Nawawi hidup bersahaja dan mengekang diri dengan sekuat tenaga dari godaan hawa nafsu. 

Beliau menyedikitkan makan, sederhana dalam berpakaian dan bahkan tidak sempat untuk menikah. Kenikmatan dalam menuntut ilmu seolah-olah membuat Imam Nawawi lupa dengan semua kenikmatan dunia.

 

4.      4. Waro’

Dalam kehidupan Imam Nawawi di Madrasah Rowahiyyah, beliau tidak pernah menerima suatu apa pun dari orang lain kecuali dari ayah dan ibu beliau, kerabat, serta orang-orang sholih.

Imam Nawawi juga tidak pernah makan buah-buahan yang ada di Damaskus. Lantaran, di sana banyak ditemukan tanah-tanah wakaf dan kepemilikan dari orang-orang yang dibekukan tasharufnya. 

Beliau juga tidak makan dan minum kecuali hanya sekali dalam sehari.


5.      5. Amar ma’ruf nahi munkar

        Imam Nawawi juga terkenal dengan sifat amar ma’ruf nahi munkar beliau kepada siapa pun, tak peduli pangkat dan derajatnya. Sehingga Imam Nawawi memiliki keberanian untuk mendatangi langsung para sultan guna mengingatkan mereka.

 

Wafatnya Imam Nawawi

Imam Nawawi wafat di Kota Nawa pada malam Rabu terakhir, 24 Rojab 676 H/28 Desember 1277 M. Beliau dimakamkan di keesokan harinya di Kota Nawa pula.

Imam Nawawi wafat setelah beliau mengunjungi Baitul Maqdis dan berziarah ke makam Nabi Ibrahim a.s.

    Dikisahkan bahwa Imam Nawawi berkata kepada murid beliau, Imam Muhammad bin Abd al-Rahman al-Sakhowi, “Aku telah diizinkan untuk pergi.” Murid beliau pun menjawab, “Bagaimana bisa seperti itu?”. Imam Nawawi kemudian menceritakan bahwa ketika beliau duduk di rumah, datanglah seseorang dengan berjalan di udara. Ia berjalan dari barat hingga timur Madrasah Rowahiyyah. Setelah itu, orang tersebut berkata, “Berdiri dan kunjungilah al-Quds!”

   Imam al-Ala’, murid Imam Nawawi, tidak menyadari bahwa yang dimaksud bukanlah bepergian seperti yang dilakukan orang-orang, melainkan bepergian secara hakiki.

Imam Nawawi kemudian memerintahkan Imam al-Ala’ untuk berdiri dan pergi berpamitan kepada orang-orang terdekat Imam Nawawi.

Keduanya, Imam Nawawi dan al-Ala’ pergi ke makam guru-guru Imam Nawawi dan mengunjungi sahabat-sahabat beliau yang masih hidup. Barulah setelahnya, Imam Nawawi mengunjungi al-Quds dan berziarah ke makam Nabi Ibrahim as.

      Imam Nawawi kemudian pergi ke rumah ayah beliau dan jatuh sakit di sana. 

     Dan setelah beberapa hari, Imam Nawawi pergi meninggalkan dunia dan bertemu dengan Allah SWT.

      Kaum muslimin pun digemparkan dengan berita wafatnya Imam Nawawi sehingga Kota Damaskus dan sekelilingnya diwarnai dengan tangisan. 

      Oleh sebab itu, Kota Damaskus pada saat itu tidak sepi meskipun di malam hari.

 

Wallahu a’lamu bishshowab

 


Baca Juga: Biografi Imam Fakhruddin ar-Roziy, Sang Pembela Ajaran Ahlussunnah wa al-Jama'ah dan  sajian perjalanan serta pelajaran hidup dari para tokoh lainnya, yang terbukti menginspirasi lintas generasi di rubrik BIOGRAFI TOKOH.


Referensi:

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Beliau salah satu dari Ulama' 'Uzzab (Ulama yang Menjomblo)

    BalasHapus