Allah Swt. memilih makhluk-Nya untuk dijadikan sumpah, pilihan-Nya itu berdasar adanya kaitan antara jawab al-Qosam (muqsam ‘alaih) dengan makhluk yang dijadikan sebagai muqsam bih.
Oleh: M. Ryan Romadhon
Kesiapan jiwa setiap individu dalam menerima kebenaran dan tunduk terhadap cahayanya itu berbeda-beda.
Jiwa yang jernih, yang
fitrahnya tidak ternodai kejahatan akan segera menyambut petunjuk dan
membukakan pintu hati bagi sinarnya serta berusaha mengikutinya sekalipun
petunjuk itu sampai kepadanya hanya sepintas kilas.
* * *
Sedangkan jiwa yang tertutup oleh kebodohan dan gelapnya kebatilan tidak akan tergerak hatinya kecuali dengan peringatan dan kalimat yang keras. Dengan cara seperti itulah keingkarannya tergerak.
Qosam (sumpah) dalam perkataan adalah termasuk salah satu cara
memperkuat ungkapan kalimat yang diiringi dengan bukti nyata, sehingga lawan
bicara dapat mengakui apa yang semula diingkarinya. (Syekh Manna’ al-Qothon, Mabahits fi Ulum
al-Qur’an, hal. 284).
Sumpah dalam al-Qur’an
Al-Qur’an turun dengan menggunakan bahasa Arab yang digunakan oleh masyarakat yang ditemuinya pertama kali.
Mereka -antara lain- menggunakan apa yang dinamai dengan “taukud/pengukuhan” dalam menyampaikan berita.
Salah satu bentuk pengukuhan yang digunakan al-Qur’an adalah apa yang
dinamai dengan Qosam. (M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hal. 273-274).
Menurut Syekh Manna’ al-Qothon dalam kitab Mabahits
fi ‘Ulum al-Qur’an-nya, secara etimologi, qosam mempunyai makna sumpah. (Syekh
Manna’ al-Qothon, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, hal. 284).
Lebih jauh, menurut Prof Dr. Quraish Shihab
dalam salah satu karyanya, yakni Kaidah Tafsir, kata “qosam” tersebut
digunakan dalam arti sumpah, yakni sumpah yang minimal oleh pengucapnya
dinilainya sebagai sumpah yang benar. (M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hal. 274).
Sedangkan secara terminologi, menurut Syekh
Manna’ al-Qothon, qosam dapat diartikan sebagai pengikat jiwa (hati) agar tidak melakukan atau agar melakukan sesuatu, yang diperkuat dengan
sesuatu yang agung, baik secara nyata maupun secara keyakinan saja, oleh orang
yang bersumpah. (Syekh Manna’ al-Qothon, Mabahits fi Ulum
al-Qur’an, hal. 285).
Adapun perbedaan qosam Allah dengan manusia, menurut Prof. Dr. Quraish Shihab, adalah bahwa dalam konteks bersumpah, manusia harus menyebut nama Allah atau sifat/perbuatan-Nya.
Hal tersebut karena sumpah bertujuan untuk meyakinkan
mitra bicara tentang kebenaran ucapan yang bersumpah dan dalam upaya meyakinkan
itu, manusia yang bersumpah menyebut nama Allah, seakan ia berkata, “Aku siap
menerima kutukan Allah jika aku berbohong”.
Berbeda dengan sumpah Allah. Yang Mahakuasa itu memilih fenomena alam atau makhluk-Nya untuk Dia gunakan bersumpah.
Pilihan-Nya itu berdasarkan adanya kaitan antara muqsam ‘alaih/jawab al-qosam dengan fenomena alam/makhluk yang dijadikannya
sebagai muqsam bih. (M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hal. 275-276).
Dari penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan qosam (sumpah) nya Allah adalah bahasa al-Qur’an dalam menegaskan atau menguatkan suatu
pesan atau pernyataan dengan menyebut nama Allah atau ciptaan-Nya sebagai muqsam
bih.
Sumpah dalam Surat al-‘Ashr
Dalam kitab tafsirnya, Syekh asy-Sya’rowiy berpendapat bahwasannya ketika Allah hendak bersumpah, maka Dia
bersumpah dengan (muqsam bih) apa yang dikehendaki-Nya dan atas (muqsam
‘alaih/jawab al-qosam) apa yang dikehendaki-Nya.
Dia bersumpah karena Dia sangat mengetahui atas apa dan siapa yang telah Dia ciptakan dan rahasia di balik penciptaan itu.
Hanya Allah yang dapat bersumpah atas apa yang Dia kehendaki, sedangkan manusia
tidak mengetahui keagungan sesuatu dan rahasia di balik sesuatu, karena
kebodohan manusia tentang apa-apa yang ada di sekitar dia. (Syekh Mutawalli
asy-Sya'rowiy, Tafsir Juz ‘Amma, hal. 518).
Lebih dalam, menurut asy-Sya’rowiy, sumpah tersebut diungkapkan oleh Allah
Swt dalam dua bingkai utama.
Pertama, dalam wujud penetapan (itsbat), seperti:
والعصر
Artinya: "Demi masa";
Kedua, dalam wujud penafian (nafi), seperti:
لا أُقْسِمُ بِهَذَا البَلَدِ * وَأَنْتَ حِلٌّ بِهَذَا البَلَد
Artinya: "Aku benar-benar bersumpah dengan kota
ini, dan kamu (Muhammad Saw) bertempat di kota Mekah ini."
Namun, entah sumpah tersebut diungkapkan dalam
bentuk penafian ataupun penetapan, tujuannya tetap satu, yaitu penegasan akan
pentingnya sesuatu yang dijadikan sebagai muqsam ‘alaih/jawab al-qasam
tersebut. (Syekh
Mutawalli asy-Sya'rowiy, Tafsir Juz ‘Amma, hal. 518-519).
Allah Swt memilih fenomena alam atau
makhluk-Nya untuk digunakan untuk bersumpah. Pilihan-Nya itu berdasar adanya
kaitan antara jawab al-Qosam (muqsam ‘alaih) dengan fenomena alam atau makhluk yang dijadikannya muqsam bih. (M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hal. 276).
Dalam surah al-’Ashr ayat 1-2, yang
berbunyi,
وَالْعَصْرِۙ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ
Artinya: “Demi masa, sungguh, manusia
berada dalam kerugian." (Q.S.
al-‘Ashr: 1-2)
Menurut Syekh asy-Sya’rowiy, sumpah-Nya adalah ‘masa’, dan muqsam
‘alaih/jawab al-qasam-nya adalah ‘manusia
merugi kecuali beriman dan beramal saleh serta saling menasehati dalam
kebenaran dan kesabaran’.
Menurut beliau, Allah Swt. dalam ayat
tersebut bersumpah dengan menggunakan muqsam bih yang berupa lafadz العصر berdasarkan metode qosam yang ada
dalam al-Qur’an dengan tujuan menegaskan akan pentingnya muqsam ‘alaih/jawab
al-qosam yang berupa lafadz,
اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ
خُسْر.
Lalu, mengapa lafadz العصر dijadikan sebagai muqsam bih (penguat sumpah), dan sebenarnya
apakah yang dimaksud dengan العصر pada ayat tersebut?
Referensi:
- Tafsir Juz ‘Amma, Syekh Mutawalli asy-Sya'rowiy, hal. 518-519, Dar ar-Royyah.
- Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, Syekh Manna’ al-Qothon, hal. 284-285, Dar al-‘Ilm wa al-Iman.
- Kaidah Tafsir, Prof. Dr. Quraish Shihab, hal. 273-276, Lentera Hati.
0 Komentar