Di situ ada anak-anak seusia kita, ada yang ngamen sampai ngemis-ngemis gitu, mereka cari uang sendiri. Boro-boro bisa sekolah, buat makan aja kadang sampai mati-matian cari uangnya
Oleh: Nur Hamid
Sang
mahkota pagi ini cerah mengawali, sinar baiknya jatuh menari-nari, menghujam
menuju bumi, hangat memeluk raga setiap makhluk. Dalam dekap garangnya tanpa
ampun dibuat takluk.
* * *
Jum’at, hari yang ditunggu para santri, setelah melewati hari-hari yang begitu menjenuhkan, bertempur dengan berbagai pelajaran, yang kadang mengasyikkan plus membosankan.
Tapi di hari inilah
mereka melepas penat, dengan kegembiraan yang teramat sangat.
Habis dari kasir lalu cari tempat duduk.
“Lim, kamu masih ingat kan, hari ini kita punya
tugas? dikumpulin besok lohh!” Tanya Hilman kepada Salim yang sedang
asik nongkrong menonton acara televisi di kantin pesantren.
“ Apa man?, ehmm.., emang ada tugas apaan
yak? Kok aku malah nggak ingat”
”Yah, Kamu sihh, giliran pelajaran malah asik
dengan rebahanmu, eh, pas jamkos dikasih tugas malah ngilang pergi dari
kelas. Ada apa sihh!?” Selidik Hilman penasaran.
Baca Juga: Cerpen: Santri Bukan Manusia Lemah
* * *
Allahu Akbar... Allahu Akbar… Adzan telah berkumandang, para santri ramai berlalu lalang menuju kulah bergegas berwudhu bersiap menunaikan jama’ah sholat fardhu.
Air yang mengalir sejuk terbias
cahaya, membasahi wajah memerek. Sungguh pemandangan nan indah mempesona.
”Ehh, Man, dengar tuu! udah adzan
lho, skuy, ke masjid!’’ Ajak Salim kepada Hilman.
“Yaa...elah..!, Kamu sihh, jawabnya kelamaan,
kan keburu adzan.” Hilman masih penasaran.
Tes… tes… tes..., satu dua tetesan air mulai
berguguran, hingga membentuk pulau kecil tak berpenghuni, sejenak membuyarkan
obrolan mereka sedari tadi.
“Perasaan, mendung enggak , gerimis juga enggak”.
“Iya nihh, aneh bingit…”Hilman mengiyakan.
Baca Juga: Cerpen: Transisi
Seketika mereka mendongak menatap sang
empunya-heran. Asal dari tetesan tadi.
“Ngapain kamu Bob..!?” Salim angkat
bicara
“Udah-udah ghibahnya, emang mau? kalau misal
kebaikan kalian dikasih ke orang yang kalian ceritain, atau semua kejelekannya
mau kalian tanggung..?, tuu... keburu jamaah selesai lho...”
“Eitzz.. siapa coba yang ghibah..?. Kamu
dateng-dateng. Wah… sotoy ni orang, sok tau..!”
Emang tadi aku dengar sendiri, kalian ngomong
ehmm... #/?xx@?#214#.”
Bobby cari-cari alasan sambil menyibakkan
rambutnya yang sedari tadi basah oleh air wudlu.
”Yang ada tu Salim lagi gundah bukan gibah”
“Hallah..,stop..!!, nggak jelas kalian, awas-awas..!,
Aku mau sholat...!” Seru Salim.
Salim beranjak dari parkir duduknya, menyisakan dua
anak manusia yang masih terpaku, melihatnya berlalu.
Matahari semakin meninggi. Cuaca di siang hari cerah sekali. Selesai sholat, tak lupa mereka bertadarus, termasuk Salim dan dua temannya, di serambi.
Melantunkan bait-bait suci dengan serius. Menghadirkan
suasana syahdu menderu.
“Gimana? sekarang kamu cerita dong, punya
problem apa siihh? Muka sampe murung gitu.” teror Hilman.
“How’s come, bagaimana bisa? seorang Salim yang
biasanya di kelas jadi trouble maker alias biang kerok, malah dirundung
masalah.” Bobby nimbrung.
“Paan sih kamu Bob, orang temennya lagi galau,
bukannya dihibur kek, kasih solusi. Eeh, malah cari sensasi.”
“Owwhh, atau gini, kita cari tempat aja. Tempat yang tenang, yang jauh dari hiruk pikuk keramaian.
Kan biasannya tempat yang
kayak gitu support banget tuh buat ngademin pikiran, ya, karena menurutku,
faktor ketenangan itu berbanding lurus dengan kenyamanan, ya nggak,
setuju?” Bobby sok bijak.
“Tumben kamu, brilliant, ngutip dari mana?”
“Ya.. ela, eluu Man, tinggal mau atau enggak?"
Baca Juga: Cerpen: Bebas
* * *
Senja mulai menampakkan siluetnya. Rona jinggannya
mulai membumi di seantero asrama. Mereka menapakkan kaki menuju warung
kopi asrama seberang jalan. Yang tak begitu jauh jaraknya.
“Okay! Sebenarnya ada apa sih, kayaknya
semangat belajarmu makin hari makin down dehh, ada hal apa gihh? Kamu
sakit? atau ada yang nyakitin kamu?”
Hilman membuka memulai percakapan.
“Bad mood aja, lagian di kelas ngebosenin ampe
pelajarannya, suasananya, guru-gurunya.” Salim merebahkan punggung di kursinya.
Serileks mungkin, agar dia bisa nyaman dalam mencurahkan apa yang selama ini
membuatnya murung.
“Siapa, siapa? Kamu bosen dengan siapa?”
“Enggak, maksudnya ehmm, lebih ke metode belajarnya yang dipakai gitu lho, gimana mau paham coba kalau kayak gitu mulu.
Harusnya kan gimana caranya agar para siswa bisa aktif, kritis. Suasananya mendukung dan kondusif.
Antara guru dan para siswa bisa
harmonis. Huftt, siapa coba yang nggak bosan?. Mau berangkat, serasa
berat.”
Kini mereka mengerti persis apa yang sedang dialami
sahabatnya itu. Lengkap dengan keluh kesahnya.
“Coba kamu lihat dehh, tadi pas kita nyeberang jalan dekat lampu merah. Di situ ada anak-anak seusia kita, ada yang ngamen sampai ngemis-ngemis gitu, mereka cari uang sendiri.
Boro-boro bisa sekolah,
buat makan aja kadang sampai mati-matian cari uangnya”. Sambil menatap si
Salim, Bobby menjelaskan apa yang dia lihat.
“Iyaa, lim! dan sampai detik ini, sore hari ini kita masih diizinkan untuk menikmati udara segar di sekitar. Kita masih sehat wal’afiyat.
Fisik juga sempurna dan mumpung kita masih muda dan mampu, strong lagi, semangatnya maksudnya. Yaa, kalau masalahnya hanya itu sihh, aku kira kamu sangat mampu untuk mencari solusinya.
Bisa dengan bertukar pendapat sama teman-teman, ngobrol sama guru yang bersangkutan. Asalkan komunikasi jalan, kita siap kok ngebantu kamu Lim. Yaa, gimana kita bisa ngerti, kalo kamu aja nggak mau cerita.
Jadi, mungkin ada baiknya juga jadi
pribadi yang terbuka gitu lhoo!” Seru Hilman menyemangati.
”Yep, so good luck and never boring for the
school!!” sambung Bobby.
* * *
Jarum jam terus berdetik. Di luar sana gerimis
perlahan merintik. Rupanya obrolan mereka semakin asik. Menyirnakan fatamorgana
yang disebabkan oleh terik.
“Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah, sampai saat ini aku masih memiliki sahabat yang setia menerimaku apa adanya. Mengerti akan permasalahanku. Peduli dengan semua sikap yang ada dalam diriku.
Dan hari ini aku harus jauh lebih bersemangat lagi, banyak-banyak
bersyukur lagi. Sebab aku termasuk ke dalam golongan orang-orang yang
beruntung. Masih diberi kesempatan untuk bisa sekolah.” gumam Salim bersyukur.
0 Komentar