Like Us Facebook

Cerpen: Malas Sekolah

 



Di situ ada anak-anak seusia kita, ada yang ngamen sampai ngemis-ngemis gitu, mereka cari uang sendiri. Boro-boro bisa sekolah, buat makan aja kadang sampai mati-matian cari uangnya




Oleh: Nur Hamid

Sang  mahkota pagi ini cerah mengawali, sinar baiknya jatuh menari-nari, menghujam menuju bumi, hangat memeluk raga setiap makhluk. Dalam dekap garangnya tanpa ampun dibuat takluk.



* * *



Jum’at, hari yang ditunggu para santri, setelah melewati hari-hari yang begitu  menjenuhkan, bertempur dengan berbagai pelajaran, yang kadang mengasyikkan plus membosankan. 


Tapi di hari inilah mereka melepas penat, dengan kegembiraan yang teramat sangat.


Habis dari kasir lalu cari tempat duduk.


“Lim, kamu masih ingat kan, hari ini kita punya tugas? dikumpulin besok lohh!” Tanya Hilman kepada Salim yang sedang asik nongkrong menonton acara televisi di kantin pesantren.


“ Apa man?,  ehmm.., emang ada tugas apaan yak? Kok aku malah nggak ingat”


”Yah, Kamu sihh, giliran pelajaran malah asik dengan rebahanmu, eh, pas jamkos dikasih tugas malah ngilang pergi dari kelas. Ada apa sihh!?” Selidik Hilman penasaran.



Baca Juga: Cerpen: Santri Bukan Manusia Lemah


* * *



Allahu Akbar... Allahu Akbar… Adzan telah berkumandang, para santri ramai berlalu lalang menuju kulah bergegas berwudhu bersiap menunaikan jama’ah sholat fardhu. 


Air yang mengalir sejuk  terbias cahaya, membasahi wajah memerek. Sungguh pemandangan nan indah mempesona.


”Ehh,  Man, dengar tuu! udah adzan lho, skuy, ke masjid!’’ Ajak  Salim kepada Hilman.


“Yaa...elah..!, Kamu sihh, jawabnya kelamaan, kan keburu adzan.” Hilman masih penasaran.


Tes… tes… tes..., satu dua tetesan air mulai berguguran, hingga membentuk pulau kecil tak berpenghuni, sejenak membuyarkan obrolan mereka sedari tadi.


“Perasaan, mendung enggak , gerimis juga enggak”.


“Iya nihh, aneh bingit…”Hilman mengiyakan.



Baca Juga: Cerpen: Transisi



Seketika mereka mendongak menatap sang empunya-heran. Asal dari tetesan tadi.


“Ngapain kamu Bob..!?”  Salim angkat bicara 


“Udah-udah ghibahnya, emang  mau? kalau misal kebaikan kalian dikasih ke orang yang kalian ceritain, atau semua kejelekannya mau kalian tanggung..?, tuu... keburu jamaah selesai lho...”


“Eitzz.. siapa coba yang ghibah..?. Kamu dateng-dateng. Wah… sotoy ni orang, sok tau..!”


Emang tadi aku dengar sendiri, kalian ngomong ehmm... #/?xx@?#214#.”


Bobby cari-cari alasan sambil  menyibakkan rambutnya yang sedari  tadi basah oleh air wudlu.


”Yang ada tu Salim lagi gundah bukan gibah”


“Hallah..,stop..!!, nggak jelas kalian, awas-awas..!, Aku mau sholat...!” Seru Salim.



Salim beranjak dari parkir duduknya, menyisakan dua anak manusia yang masih terpaku, melihatnya berlalu.


* * *

 

Matahari semakin meninggi. Cuaca di siang hari cerah sekali. Selesai sholat, tak lupa mereka bertadarus, termasuk Salim dan dua temannya, di serambi. 


Melantunkan bait-bait suci dengan serius. Menghadirkan suasana syahdu menderu.


“Gimana? sekarang kamu cerita dong, punya problem apa siihh? Muka sampe murung gitu.” teror Hilman.


How’s come, bagaimana bisa? seorang Salim yang biasanya di kelas jadi trouble maker alias biang kerok, malah dirundung masalah.” Bobby nimbrung.


“Paan sih kamu Bob, orang temennya lagi galau, bukannya dihibur kek, kasih solusi. Eeh, malah cari sensasi.”


“Owwhh, atau gini, kita cari tempat aja. Tempat yang tenang, yang jauh dari hiruk pikuk keramaian. 


Kan biasannya tempat yang kayak gitu support banget tuh buat ngademin pikiran, ya, karena menurutku, faktor ketenangan itu berbanding lurus dengan kenyamanan, ya nggak, setuju?” Bobby sok bijak.


“Tumben kamu, brilliant, ngutip dari mana?”


“Ya.. ela, eluu Man, tinggal mau atau enggak?"



Baca Juga: Cerpen: Bebas



* * *


 

Senja mulai menampakkan siluetnya. Rona jinggannya mulai  membumi di seantero asrama. Mereka menapakkan kaki menuju warung kopi asrama  seberang jalan. Yang tak begitu jauh jaraknya.


“Okay! Sebenarnya  ada apa sih, kayaknya semangat belajarmu makin hari makin down dehh, ada hal apa gihh?  Kamu sakit?  atau ada yang nyakitin kamu?”


Hilman membuka memulai percakapan.


Bad mood aja, lagian di kelas ngebosenin ampe pelajarannya, suasananya, guru-gurunya.” Salim merebahkan punggung di kursinya. Serileks mungkin, agar dia bisa nyaman dalam mencurahkan apa yang selama ini membuatnya murung.


“Siapa, siapa? Kamu bosen dengan siapa?”


“Enggak, maksudnya ehmm, lebih ke metode belajarnya yang dipakai gitu lho, gimana mau paham coba kalau kayak gitu mulu. 


Harusnya kan gimana caranya agar para siswa bisa  aktif, kritis. Suasananya mendukung  dan kondusif. 


Antara guru dan para siswa bisa harmonis. Huftt, siapa coba yang nggak bosan?. Mau berangkat, serasa berat.”


Baca Juga: Cerpen: Inikah Jalannya?

 

* * *



Kini mereka mengerti persis apa yang sedang dialami sahabatnya itu. Lengkap dengan keluh kesahnya.

 

“Coba kamu lihat dehh, tadi pas kita nyeberang jalan dekat lampu merah. Di situ ada anak-anak seusia kita, ada yang ngamen sampai ngemis-ngemis gitu, mereka cari uang sendiri. 


Boro-boro bisa sekolah, buat makan aja kadang sampai mati-matian cari uangnya”. Sambil menatap si Salim, Bobby menjelaskan apa yang dia lihat.


“Iyaa, lim! dan sampai detik ini, sore hari ini kita masih diizinkan untuk menikmati udara segar di sekitar. Kita masih sehat wal’afiyat


Fisik juga sempurna dan mumpung kita masih muda dan mampu, strong lagi, semangatnya maksudnya. Yaa, kalau masalahnya hanya itu sihh, aku kira kamu sangat mampu untuk mencari solusinya. 


Bisa dengan bertukar pendapat sama teman-teman, ngobrol sama guru yang bersangkutan. Asalkan komunikasi jalan, kita siap kok ngebantu kamu Lim. Yaa, gimana kita bisa ngerti, kalo kamu aja nggak mau cerita.


Jadi, mungkin ada baiknya juga jadi pribadi yang terbuka gitu lhoo!” Seru Hilman menyemangati.


”Yep, so good luck and never boring for the school!!” sambung Bobby.




* * *




Jarum jam terus berdetik. Di luar sana gerimis perlahan merintik. Rupanya obrolan mereka semakin asik. Menyirnakan fatamorgana yang disebabkan oleh terik.


“Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah, sampai saat ini aku masih memiliki sahabat yang setia menerimaku apa adanya. Mengerti akan permasalahanku. Peduli dengan semua sikap yang ada dalam diriku. 


Dan  hari ini aku harus jauh lebih bersemangat lagi, banyak-banyak bersyukur lagi. Sebab aku termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beruntung. Masih diberi kesempatan untuk bisa sekolah.” gumam Salim bersyukur.



Baca Juga: Cerpen: Number One dan sajian cerpen lainnya untuk menjadi teman ngopi, guna mencari inspirasi di kolom CERPEN.

Posting Komentar

0 Komentar