Akal adalah pondasi kebajikan dan sumber moral. Allah menjadikan akal sebagai pondasi agama dan tiangnya dunia
Oleh: Luthfil Khakim
Tentu sudah kita ketahui bahwa salah satu anugerah terbesar dari Allah SWT yang diberikan kepada manusia adalah akal.
* * *
Dengan akal, manusia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang benar, antara positif dan negatif, antara jahat dan baik, antara perkara jujur dan dusta, antara fakta dan fiksi, antara aktual dan basi, antara pandai dan bodoh, antara pakar dan awam dan perkara-perkara lainnya.
Hal
itulah yang membedakan antara manusia dan makhluk hidup lain di alam ini.
Sebagian ulama mengatakan,
خَيرُ المَوَاهِبِ العَقلُ وَشَرُّ
المَصَائِبِ الجَهلُ
“Sebaik-baik
pemberian adalah akal dan seburuk-buruk musibah adalah bodoh.”
Baca Juga: Biografi Imam al-Mawardy, Pengarang Kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din
* * *
Apa itu Akal?
Akal merupakan kosa kata bahasa Arab yang memiliki akar kata (‘aqola, ya’qilu, ‘aql) yang berarti pikiran, kecerdasan.
Menurut KBBI akal memiliki beberapa makna. Pertama,
daya pikir (untuk memahami sesuatu dan sebagainya); pikiran; ingatan. Kedua,
jalan atau cara melakukan sesuatu; daya upaya; ikhtiar. Ketiga, tipu
daya; muslihat; kecerdikan; kelicikan. Keempat, kemampuan melihat atau
memahami lingkungan.
Akal merupakan perangkat lunak yang urgen dalam kehidupan. Dengan akal, manusia mendapat hak prerogatif dari Allah SWT yang berupa pembebanan (taklif) dalam tatanan syariat agama.
Orang berakal mempunyai tanggung jawab untuk selalu mematuhi suatu perintah maupun larangan. Selama orang itu masih berakal, selama itu pula tanggung jawab itu melekat pada dirinya.
Urgensi Akal Manusia Menurut Imam al-Mawardi
Kemudian dengan akal, manusia diberi dua pilihan antara patuh dan membangkang. Jika patuh berarti dia melakukan suatu kebaikan dan jika membangkang berarti dia melakukan suatu keburukan.
Sahabat Umar bin Khattab RA berkata:
اَصلُ الرَّجُلِ عَقلُهُ وَحَسَبُهُ
دِينُهُ وَمُرُوءَتُهُ خَلقُهُ
“Prinsip
manusia bermuara pada akalnya, tendensi kemuliaannya tergantung agamanya dan
harga dirinya terletak pada tingkah lakunya”
Imam al-Mawardi dalam kitabnya, Adab ad-Dunya wa ad-Din, mengatakan, “Akal adalah pondasi kebajikan dan sumber moral. Allah menjadikan akal sebagai pondasi agama dan tiangnya dunia”.
Allah
menjadikan segala urusan dunia sesuai daya akal manusia, dengan akal pula Allah
menyatukan jutaan bahkan milyaran manusia di dunia yang beragam tujuan dan
kebutuhannya.
Nabi Muhammad Saw. menjelaskan dalam hadistnya terkait orang yang berakal dan orang yang tidak menggunakan akalnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, orang berakal lebih cenderung melakukan hal-hal positif. Ia akan selalu berusaha memperbaiki iman dan takwanya, mudah bersyukur, sabar menghadapi kenyataan dan tidak tergiur dengan gemerlapnya kehidupan dunia.
Lain halnya dengan orang yang tidak menggunakan akalnya, ia akan lebih mudah tergiur dengan kehidupan dunia, dengki atas nikmat orang lain, pelit dan suka berkhianat.
Untuk itu, kemana arah hidup yang kita lalui, disitulah tujuan akan didapat. Tinggal bagaimana kita menuruti akal dari sisi mana, bahagia atau bahkan berujung celaka.
Nabi Muhammad SAW
bersabda:
مَا اكتَسَبَ المَرءُ مِثلَ عَقلٍ
يَهدِى صَاحِبَهِ اِلَى هُدًى اَو يَرُدُّه عَن رَدًى. رواه بيهقي
“Apa yang
diperoleh seseorang adalah seperti pikiran (akal) pemiliknya, membimbing menuju
kebenaran atau menjerumuskan menuju keburukan” (H.R Baihaqi).
Pembagian Akal Menurut Imam al-Mawardi
Di sini Imam al-Mawardi membagi akal menjadi dua, yaitu ghoriziy dan muktasab. Ghoriziy adalah akal yang hakiki (naluri, tabi’at), dimana manusia dengannya mendapat hukum taklif yang sesuai porsinya, tidak lebih dan juga tidak kurang.
Hal itulah yang membedakan manusia dengan hewan. Ketika akalnya sempurna, maka dinamakan manusia berakal. Sedangkan muktasab adalah akal praktis, yaitu akal yang hasilnya dapat diusahakan. Manusia mampu mendapatkan tujuannya ketika mau berusaha.
Sholih bin Abdul Quddus berkata dalam syairnya,
اِذَا تَمَّ عَقلُ المَرءِ تَمَّت
أُمُورُهُ # وتَمَّت أَمَانِيه وتَمَّ بِنَاؤُهُ
“Ketika akal
seseorang sempurna, niscaya sempurna pula segala perkaranya, cita-citanya dan
konstruksi kehidupannya.”
Namun, perlu kita ketahui juga tidak semua akal manusia berfungsi sebagaimana mestinya, terkadang manusia menggunakan akalnya untuk hal-hal positif ada juga untuk hal-hal negatif.
Orang berakal dalam melakukan sesuatu selalu berpikir lurus dan matang. Dalam menyelesaikan berbagai persoalannya, dia akan mencari solusi yang tepat dan mempertimbangkan akibat dengan akurat.
Berbeda dengan orang yang tidak menggunakan akalnya alias orang bodoh, dia tidak mempertimbangkan setiap langkah yang diambil dalam menyelesaikan masalahnya.
Bahkan dengan kecerobohannya tidak hanya merugikan diri sendiri, tapi juga akan merugikan orang terdekat bahkan orang banyak.
Seperti maqolah yang penulis
sebutkan diatas bahwa seburuk-buruk musibah adalah kebodohan. Sebagian orang
bijak besari berkata,
العَقلُ اَفضَلُ مَرجُوٍّ والجَهلُ
أَنكَى
“Akal adalah
harapan terbaik dan kebodohan adalah hal yang paling menjengkelkan”
Baca Juga: Artikel Pesantren: Respon Otak ketika Nglalar
* * *
Sebagai umat Islam, sudah seharusnya kita melek dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tidak semua perkara bisa kita terima secara langsung, gunakan akal kita untuk memikirkan keabsahannya.
Setidaknya kita berpikir semaksimal mungkin
untuk kemajuan diri sendiri sebagai modal hidup bersosial dan bermasyarakat.
Sebagian pujangga berkata,
صَدِيقُ كُلِّ امرٍى عَقلُهُ
وَعَدُوُّهُ جَهلُهُ
“Sebaik-baik
teman seseorang adalah akalnya, dan musuhnya adalah kebodohan”
Jangan sampai kita hanya diam dalam zona nyaman yang tidak ada gunanya dan terjerumus dalam kebodohan yang hakiki tanpa ada kemajuan sedikitpun.
Gunakan akal untuk
berinovasi dalam berpikir kritis dan praktis menuju zona nyaman yang lebih
berkualitas. Jika belum bisa bermanfaat untuk orang lain setidaknya tidak
merugikan orang lain.
0 Komentar