Hampir setengah jam Ahmad sibuk membolak-balik lembar demi lembar, memilih salah satu bab yang mudah untuk dipahami, namun hasilnya nihil, tak satu pun bab yang dapat Ahmad pahami.
Oleh: Abdul Khalim
“Gara-gara orang itu! diriku seakan dilupakan oleh Kiai Burhan!” Ahmad bersungut-sungut saat melihat Yusuf duduk satu meja dengan Kiai Burhan, selaku pengasuh Pondok Pesantren Daarul Athfal.
* * *
Dengan rasa penasaran, Ahmad mencoba mencari tahu perbincangan
di antara keduanya. Alangkah terkejutnya Ahmad saat mendengar Kiai Burhan
berkata, ”Yusuf, minggu depan kamu saya tugaskan mengajar di madrasah.”
Karena Ahmad merasa lebih pandai daripada Yusuf,
setiap hari Ahmad menebar kabar-kabar tak baik dari Yusuf agar teman-temannya
membenci Yusuf dan meminta Ahmad menggantikan posisinya sebagai pengajar di
madrasah.
Suatu ketika, Ahmad dipanggil oleh Kiai Burhan.
Dirinya senang bukan kepalang serasa mendapat panggilan surga.
“Ingat baik-baik Yusuf, sebentar lagi posisiku berada
di atasmu!” wajah Ahmad terlihat sangat bersemangat.
“Ahmad, aku telah berencana menjadikanmu sebagai
pengajar di madrasah, akan tetapi kamu masih harus menyempurnakan keilmuanmu.”
ujar Kiai Burhan dengan tenang.
“Maaf, maksud Kiai apa? Saya belum begitu paham.”
Ahmad mengerutkan dahinya.
“Kamu saya beri amanah menimba ilmu di kediaman
Kiai Fathoni terlebih dahulu, ia adalah pengasuh Pondok Pesantren An-Najah.”
jawab Kiai Burhan singkat. Nada bicaranya yang terdengar sangat tenang, semakin
memperlihatkan kewibawaannya.
“Baiklah, jika itu yang dikehendaki oleh Kiai, saya pasti menyanggupinya.” timpal Ahmad.
Baca Juga: Cerpen: Santri Bukan Manusia Lemah
* * *
Setelah pembicaraan dirasa cukup, Ahmad pamit
meninggalkan ruangan. Hatinya terus bertanya-tanya, ”Bukankah ilmuku sudah
cukup bahkan lebih untuk sekedar mengajar?”
Berkat arahan dari Kiai Burhan, tak memakan waktu lama
bagi Ahmad untuk menemukan kediaman Kiai Fathoni. Ia berdiri tepat di depan
pintu, lantas mengucapkan salam.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam, silahkan masuk.” mendengar jawaban
dari dalam rumah, Ahmad masuk dengan tetap menundukkan kepala memperlihatkan
kesopanan.
Ahmad duduk setelah dipersilahkan oleh Kiai Fathoni.
Ketika keadaan dirasa tenang, Ahmad mengutarakan maksud kedatangannya.
“Tujuan saya kemari adalah memenuhi perintah dari Kiai
Burhan, beliau memerintahkan saya untuk menimba ilmu kepada Anda.” Sedikit
keringat muncul karena Ahmad baru pertama kali ini satu meja dengan Kiai
Fathoni.
“Baiklah, kedatanganmu saya terima.” Kiai Fathoni
mengelus jenggot yang panjangnya kira-kira seukuran jari telunjuk.
Baca Juga: Cerpen: Takdir Tuhan Tak Pernah Salah
Ia beranjak dari tempat duduknya, lantas berkata, “Saya akan mengujimu terlebih dahulu.”
Bergetar hati Ahmad saat Kiai Fathoni datang membawa
sebuah kitab yang tebal.
“Silahkan baca kitab ini, lalu jelaskan maksud dari
salah satu bab di dalamnya.” Perintah Kiai Fathoni dengan tegas.
Hampir setengah jam Ahmad sibuk membolak-balik lembar
demi lembar, memilih salah satu bab yang mudah untuk dipahami, namun hasilnya
nihil, tak satu pun bab yang dapat Ahmad pahami.
Keringat mulai bercucuran, wajahnya serasa dilipat,
mentalnya menciut, bak kambing yang akan disembelih.
“Bagaimana, sudah ada yang bisa disampaikan?”
tanya Kiai Fathoni membuat Ahmad terkejut.
Dengan terbata-bata, Ahmad menjawab, “Ma...maaf, tidak
satu pun bab yang dapat saya pahami.”
“Baiklah, kalau begitu, besok kamu belajar terlebih
dahulu kepada putraku yang bernama Yusuf.”
Baca Juga: Cerpen: Bebas
* * *
Sehari setelah kejadian di kediaman Fathoni, Ahmad
menemukan orang yang dimaksud Kiai Fathoni. Ia terperanjak ketika tahu bahwa
orang yang akan mengajarnya adalah Yusuf yang selama ini ia benci.
Menurut pengakuan kawan barunya di Ponpes An-Najah,
Yusuf adalah orang yang sangat pandai, namun Yusuf selalu menutupinya, bahkan
kepada gurunya sendiri Yusuf tak memberi tahu bahwa ia adalah putra Kiai
tersohor di daerahnya.
Dengan rasa canggung, Ahmad meminta maaf kepada Yusuf.
Tanpa beban dan dendam, Yusuf memaafkannya dengan senyum penuh arti.
0 Komentar