Like Us Facebook

Cerpen: My Paradise

 



Terkadang keputusasaan membuat seseorang memilih untuk menutup mata dan telinga, untuk sekedar melihat dan mendengar kehidupan orang lain.



Oleh: Ainun Salsabila

Terbiasa dengan keadaan memang membuat seseorang menjadi tulus dalam menjalani hidup. 

    Benar kata orang, hanya butuh waktu untuk seseorang menjadi ikhlas dengan keadaan. Tak sedikit seseorang mengeluh dengan keadaan bukan? 


* * *


    Seandainya saja orang itu tau, bahwa lebih banyak orang di luar sana yang tak seberuntung dia. 

    Hanya saja, terkadang keputusasaan membuat seseorang memilih untuk menutup mata dan telinga, untuk sekedar melihat dan mendengar kehidupan orang lain.

            Kalimat itu adalah kalimat yang sudah dari dulu ingin Zea katakan. Kenyataan tentang belasan tahun silam, membuatnya harus merelakan salah satu kakinya untuk diamputasi. 

    Sedangkan kaki yang lain harus mengalami lumpuh. Ya, bisa dibilang Zea belum puas merasakan mempunyai kaki.


Baca Juga: Cerpen: Kerja Keras

 

           Kedua tongkat yang berada di sisi kanan dan kirinya seakan menjadi hidupnya. Sedih, malu, putus asa, bahkan perasaan bahwa Tuhan tak adil pun pernah menghampiri benak Zea. 

    Bukan saja menghampiri, tapi telah merasuk ke dalam dirinya hingga keputusan gila pernah Ia lakukan.

Kecelakaan itu benar-benar membuat dunianya hancur. Bagaimana tidak? Di saat kondisi jiwa dan raganya sedang terguncang, seluruh orang terdekatnya entah pergi ke mana. Tanpa alasan, bahkan tanpa jejak. Ya, pergi begitu saja seperti ditelan bumi.


* * *


            Ujian Tuhan tak sampai di situ, Zea kembali diuji dengan kehilangan pelindungnya. Tameng yang selama ini melindungi dirinya dari rasa malu, penyemangat bagi Zea yang sedang rapuh. 

    Ya, ayahnya dijemput Tuhan selang dua tahun dengan kecelakaan itu. Bagaimana terpukulnya ibu? Aku tak bisa membayangkan, di saat aku tak bisa membantu apa-apa untuknya, dia harus menjadi tulang punggung untukku beserta adikku.

            Bahkan di saat tersulitnya, tak pernah terdengar keluhan sama sekali keluar dari mulut kecilnya. 

    Sejak meninggalnya Ayah, Ibu mengalihkan kesedihannya dengan kesibukan bekerja ke sana kemari. Entah menjadi buruh cuci, pembantu, atau apapun asal ibu bisa memberi makan kami berdua.


Baca Juga: Cerpen: Parto dan Lila Menggapai Tuhan


* * *


            Ketika aku merasakan kesedihan itu lagi, Ibu selalu ada di dekatku. Menenangkan diriku yang menangis dengan isakan yang tak pernah berhenti. 

    Terkadang perasaan tak terima itu kembali hadir, membuat pola pikir dan perasaanku kacau balau. 

    Jika sudah seperti itu, kukeluarkan sejadi-jadinya tangisan itu di kamar mandi dengan keran yang kubuka agar suaraku teredam.

    Tapi, sebaik apapun aku menyembunyikannya dari Ibu, ia pasti akan menggedor pintu kamar mandi dan kalian taulah akhirnya seperti apa. Pelukan hangatnya, senyuman dan juga bisikan-bisikannya sungguh menenangkan jiwa. 

    Bahkan kurasa seluruh anak yang sedang terguncang jiwanya akan merasakan ketenangan yang sama. 

    Karena saat kutanya dengan suara tertahan, “Bu, kenapa Allah ambil kedua kaki Zea? Kenapa Zea merasa Allah tidak adil, Bu?” jawaban atas pertanyaan itu masih terekam jelas, bagaimana suara tenang Ibu memasuki gendang telingaku dan langsung direspon oleh otak dan hatiku yang juga berimbas, diriku menjadi tenang.

“Zea tahukan, kalau Ibu sayang sama Zea?” Jeda Ibu yang diangguki oleh Zea.

“Dengan bentuk apa Zea tahu kalau Ibu sayang Zea?” tambah Ibu dengan sebuah pertanyaan lagi.

“Ya, semua perhatian Ibu ke Zea.” jawab Zea dengan polos.

“Nah, seperti itu pula Allah sayang sama kita. Mungkin, Allah ambil kaki Zea karena, Pertama, Allah ingin menjaga Zea. Kedua, Allah ambil kaki Zea, agar Zea lebih dekat lagi dengan-Nya. Karena mungkin selama ini Allah sedikit cemburu karena Zea ternyata lebih cinta dunia ketimbang cinta dengan Allah.

Bukankah Allah selalu ada untuk Zea? Tapi untuk selalu ingat kepada Allah setiap hari? Zea belum tentukan? Hanya sekedar ingat kepada Allah saja kita kadang seakan tak punya waktu. 

Padahal, kalau dibandingkan dengan Allah, sibuk siapa? Allah masih harus mengurus hamba-Nya yang lain, makhluk-Nya yang lain, ciptaan-Nya yang lain.

Lagi pula, Allah tidak menguji hamba-Nya diluar batas kemampuannya.” 

Setelah kalimat ibu yang terakhir ini, tak ada yang bersuara lagi. Baik Ibu, Zea, ataupun adiknya yang diam-diam mendengarkan. Semuanya sibuk dengan pemikirannya masing-masing.

“Zea, pesan Ibu hanya satu, lakukan semuanya karena Allah, maka semuanya akan terasa indah. Belajarlah ikhlas menerima semuanya, dan cobalah untuk bersabar menghadapi kehidupan ini. 

Karena, percayalah, rencana Allah lebih indah daripada rencana yang dibuat oleh makhluknya. 

Kalau diibaratkan makanan, tinggal butuh sedikit garam dan bawang goreng, maka masakan itu akan enak dan indah. Garam itu ibarat ikhlas sedangkan bawang goreng itu ibarat sabar.

Zea tahu? Zea dan Adik adalah hadiah terbaik yang diberikan Allah untuk Ibu dan Ayah. Terimakasih telah hadir menjadi penyempurna dala kehidupan kami. 

Jangan pernah berpikir menjadi beban untuk Ayah dan Ibu, karena mungkin kalau tidak ada kalian berdua, Ibu dan Ayah serasa tak memiliki semangat hidup lagi.”


* * *


            Atas semua perkataan Ibu itu, Zea akhirnya mampu bangkit dari keterpurukannya. Dia sadar bahwa dirinya harus ikhlas menerima keadaannya saat ini. 


Baca Juga: Cerpen: Takdir Tuhan Tak Pernah Salah


    Segala batasan-batasan yang menyekat dirinya, ia lampaui dengan sekuat tenaga. Malu tak lagi menjadi halauan baginya, tak ada lagi kata putus asa dalam hidupnya. Semangatnya kembali hadir, dan semuanya berkat sang Ibu.

Kepercayaan pada Allah juga menjadi salah satu kuncinya. Ia yakin bahwa rencana Allah akan lebih indah. 

Dan yang dia lakukan saat ini adalah bentuk usaha atas takdir yang Zea sendiri tak tau akhirnya seperti apa, tapi setidaknya dirinya telah merasakan payahnya berjuang untuk dirinya sendiri. 

Keyakinannya terhadap kebesaran Allah, membuat dirinya juga yakin terhadap takdir yang telah Allah tetapkan untuk dirinya.

            Untuk sang Ibu, tak lupa rasa terima kasih Zea sampaikan walau tak secara langsung. Terima kasih karena telah mendidik Zea, terima kasih karena telah bersusah payah demi Zea. 

    Terima kasih untuk keikhlasan yang telah kau ajarkan, keikhlasan menerima semua kekurangan ini. Terima kasih untuk kesabaran yang juga telah kau ajarkan dalam menghadapi segala cobaan ini. 

    Terima kasih untuk kasih sayang yang selalu tercurahkan untuk Zea. Terima kasih, tak ada yang mampu Zea lakukan selain mengucapkan kalimat itu.


* * *


Sebanyak apapun harta yang diberikan, tak mampu menggantikan seluruh kasih sayang seorang Ibu kepada anaknya. Seburuk apapun seorang Ibu, ia tak akan mengharapkan keburukan terjadi pada anaknya. 

Satu pesan dari Zea untuk pembaca, “Sayangilah, selagi masih bisa, jagalah selagi masih ada. Jangan ada penyesalan di akhir cerita, karena itu tak ada gunanya.”


Baca Juga: Cerpen: Pulang dan sajian cerpen menarik lainnya untuk menjadi teman ngopi, guna mencari inspirasi di rubrik CERPEN.



Posting Komentar

0 Komentar