Like Us Facebook

Cerpen: Inikah Jalannya?

 


Mungkin ini jawaban dari sholat istikhorohku malam itu, sebuah kemantapan. Ya, kemantapan untuk menggapai ridho-Nya. Caranya dengan aku mendapat ridho orang tuaku dulu.


 

Oleh: Avi Sufiyan Rahma

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Baqoroh: 216)

 

* * *

 

   Kala mentari mulai malu-malu menampakkan sinarnya. Ragu tentang hari ini ia akan bersinar terang ataukah tidak. 

    Walaupun tak peduli akankah sinarnya diterima baik atau tidak, ia akan tetap bersinar. 

    Mungkin itulah definisi ikhlas yang sesungguhnya. Entahlah, mungkin dari mentari aku bisa belajar, tentang penerimaan yg indah. 

     Pagi ini, ketika udara masih terlalu dingin menusuk hingga ke tulang-tulang. Dan sang mentari yang masih enggan memberikan kehangatan, aku mulai mengayuh sepedaku sedikit kencang, berharap tubuhku menjadi sedikit hangat. Juga agar hatiku sedikit lega.

    Nyatanya, air mataku dengan nakalnya menetes begitu saja. Semuanya masih ada di dalam otakku. Terpatri jelas hingga menusuk relung hatiku.

   Kuhembuskan nafasku sedikit kasar, berharap semua beban dalam hatiku pergi bersamaan dengan hembusan nafas itu.  

       Aku telah sampai di depan gerbang sekolah yang masih terkunci. Sepertinya aku terlalu pagi. 

"Neng Aliya rajin banget pagi-pagi udah sampai aja," ucap Pak Umar, satpam sekolah sambil tersenyum manis membukakan gerbang. 

"Saya Alisha Pak," ucapku datar saja, malas berbasa-basi. "Iya itu maksud Saya. Susah namanya neng," tukas Pak Umar.

"Yaudah makasih pak, Assalamu'alaikum." ucapku. "Iya sama-sama neng. Wa'alaikumussalam." balas Pak Umar

Setelah aku memarkirkan sepedaku, aku berjalan menyusuri koridor menuju kelas. Sepanjang koridor semuanya sepi, namun tidak dengan pikiranku.

Lagi-lagi air mataku sangat menyebalkan, ia menetes lagi dan langsung ku hapus dengan kasar. Ingatanku memutar kembali kejadian tadi malam. 


Baca Juga: Cerpen: Kerja Keras

 

* * *

 

"Pak, Alisha nggak mau masuk pesantren," ucapku dengan nada sedikit tinggi. 

"Pokoknya kamu harus masuk pesantren! Bapak tidak menerima penolakan." Bapakpun tak kalah tinggi suaranya. 

Suasana semakin memanas. Aku yang tetap kekeuh tak mau masuk pesantren dan bapak yang juga kekeuh aku harus masuk ke pesantren. Sementara Ibu hanya menangis.

"Sudahlah nak, kamu nurut saja apa kata Bapakmu,"

"Bu, Alisha nggak mau," tangisku pun akhirnya pecah. Aku mulai terisak.

"Oke, terserah kamu. Tapi yang jelas Bapak nggak bangga punya anak yang bersinar di pendidikan akademik tapi nggak bisa ngaji, siapa yang akan mendoakan Bapak Ibu kalau kami sudah tiada?"

Aku pun terdiam, kata-kata Bapak seperti bom atom yang meledak. Setelah itu Bapak pergi, meninggalkan ku yang masih terisak dan ibu yang terduduk di sofa.

Akupun menghampiri ibuku yang tengah mengandung, memeluknya. Ibu tak bicara apapun, hanya menangis dan membelai lembut kepalaku.


Baca Juga: Cerpen: Number One

 

* * *

 

    "Woy, ngalamun aja,"

"Astaghfirullah, Jihan!" Jihan hanya tersenyum dengan wajah sok polosnya. Membuyarkan lamunanku.

"Lagian kamu pagi-pagi udah ngalamun. Kesambet baru tau rasa,"

"Kamu kok doanya jelek banget Ji, amit-amit... Na’udzubillah hi mindzalik"

"Yaudah, cerita dong, aku tau kamu lagi nggak baik-baik aja," Jihan memang selalu tahu apapun kondisiku. Dan akhirnya ku ceritakan semuanya. 

"Ya ampun Al, aku tahu kamu pasti bingung banget. Saran aku mending kamu sholat istikhoroh aja," ucap Jihan mulai serius. Sebelum sempat ku jawab bel sudah berbunyi, tanda pelajaran segera dimulai. Aku mengindahkan saran Jihan. 


 Baca Juga: Cerpen: Transisi


* * *

 

Minggu pagi, adalah momen yg tepat untukku berbicara dengan Bapak dan Ibu. Sejak kejadian malam itu, Bapak dan Ibu agak dingin sikapnya padaku. Ku beranikan untuk membuka suara.

"Pak, Insyaallah Alisha nurut apapun perintah Bapak," 

"Alhamdulillah," ucap Bapak dan Ibu bersamaan sambil tersenyum saling tatap.

Ya Allah, semoga ini yang terbaik. Mungkin ini jawaban dari sholat istikhorohku malam itu, sebuah kemantapan. Ya, kemantapan untuk menggapai ridho-Nya. Caranya dengan aku mendapat ridho orang tuaku dulu. 

Dua bulan kemudian, aku telah resmi lulus dari SMP Negeri Tunas Bangsa, sekolah favorit di kota ini. Dan akupun menjalankan perintah bapak, lanjut ke pesantren.

Aku merelakan mimpiku yang telah kurancang bertahun-tahun lalu. Lanjut ke SMA favorit kemudian lanjut kuliah. 

Tapi aku yakin, semua pasti akan indah pada waktunya. Allah punya rencana yang lebih indah untukku. Aku percaya itu!

Posting Komentar

0 Komentar