Mungkin ini jawaban dari sholat istikhorohku malam itu, sebuah kemantapan. Ya, kemantapan untuk menggapai ridho-Nya. Caranya dengan aku mendapat ridho orang tuaku dulu.
Oleh: Avi
Sufiyan Rahma
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat
baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk
bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Baqoroh: 216)
* * *
Kala mentari mulai malu-malu menampakkan sinarnya. Ragu tentang hari ini ia akan bersinar terang ataukah tidak.
Walaupun tak peduli akankah sinarnya diterima baik atau tidak, ia akan tetap bersinar.
Mungkin itulah definisi ikhlas yang sesungguhnya. Entahlah, mungkin dari mentari aku bisa belajar, tentang penerimaan yg indah.
Pagi ini, ketika udara masih terlalu dingin menusuk hingga ke tulang-tulang. Dan sang mentari yang masih enggan memberikan kehangatan, aku mulai mengayuh sepedaku sedikit kencang, berharap tubuhku menjadi sedikit hangat. Juga agar hatiku sedikit lega.
Nyatanya, air mataku dengan nakalnya menetes begitu saja. Semuanya masih ada di dalam otakku. Terpatri jelas hingga menusuk relung hatiku.
Kuhembuskan nafasku sedikit kasar,
berharap semua beban dalam hatiku pergi bersamaan dengan hembusan nafas
itu.
Aku
telah sampai di depan gerbang sekolah yang masih terkunci. Sepertinya aku
terlalu pagi.
"Neng Aliya rajin banget pagi-pagi udah sampai
aja," ucap Pak Umar, satpam sekolah sambil tersenyum manis membukakan
gerbang.
"Saya Alisha Pak," ucapku datar saja, malas berbasa-basi. "Iya itu maksud Saya. Susah namanya neng," tukas Pak Umar.
"Yaudah makasih pak, Assalamu'alaikum." ucapku. "Iya sama-sama neng. Wa'alaikumussalam." balas Pak Umar
Setelah aku memarkirkan sepedaku, aku berjalan
menyusuri koridor menuju kelas. Sepanjang koridor semuanya sepi, namun tidak
dengan pikiranku.
Lagi-lagi air mataku sangat menyebalkan, ia menetes
lagi dan langsung ku hapus dengan kasar. Ingatanku memutar kembali kejadian
tadi malam.
*
* *
"Pak,
Alisha nggak mau masuk pesantren," ucapku dengan nada sedikit
tinggi.
"Pokoknya kamu harus masuk pesantren! Bapak
tidak menerima penolakan." Bapakpun tak kalah tinggi suaranya.
Suasana semakin memanas. Aku yang tetap kekeuh tak
mau masuk pesantren dan bapak yang juga kekeuh aku harus masuk ke pesantren.
Sementara Ibu hanya menangis.
"Sudahlah nak, kamu nurut saja apa kata Bapakmu,"
"Bu, Alisha nggak mau," tangisku pun
akhirnya pecah. Aku mulai terisak.
"Oke, terserah kamu. Tapi yang jelas Bapak
nggak bangga punya anak yang bersinar di pendidikan akademik tapi nggak bisa
ngaji, siapa yang akan mendoakan Bapak Ibu kalau kami sudah tiada?"
Aku pun terdiam, kata-kata Bapak seperti bom atom
yang meledak. Setelah itu Bapak pergi, meninggalkan ku yang masih terisak dan
ibu yang terduduk di sofa.
Akupun menghampiri ibuku yang tengah mengandung,
memeluknya. Ibu tak bicara apapun, hanya menangis dan membelai lembut kepalaku.
*
* *
"Woy,
ngalamun aja,"
"Astaghfirullah, Jihan!" Jihan hanya
tersenyum dengan wajah sok polosnya. Membuyarkan lamunanku.
"Lagian kamu pagi-pagi udah ngalamun. Kesambet
baru tau rasa,"
"Kamu kok doanya jelek banget Ji, amit-amit...
Na’udzubillah hi mindzalik"
"Yaudah, cerita dong, aku tau kamu lagi nggak
baik-baik aja," Jihan memang selalu tahu apapun kondisiku. Dan akhirnya ku
ceritakan semuanya.
"Ya ampun Al, aku tahu kamu pasti bingung
banget. Saran aku mending kamu sholat istikhoroh aja," ucap Jihan mulai
serius. Sebelum sempat ku jawab bel sudah berbunyi, tanda pelajaran segera
dimulai. Aku mengindahkan saran Jihan.
*
* *
Minggu pagi, adalah momen yg tepat untukku
berbicara dengan Bapak dan Ibu. Sejak kejadian malam itu, Bapak dan Ibu agak dingin
sikapnya padaku. Ku beranikan untuk membuka suara.
"Pak, Insyaallah Alisha nurut apapun perintah
Bapak,"
"Alhamdulillah," ucap Bapak dan Ibu
bersamaan sambil tersenyum saling tatap.
Ya Allah, semoga ini yang terbaik. Mungkin ini
jawaban dari sholat istikhorohku malam itu, sebuah kemantapan. Ya, kemantapan
untuk menggapai ridho-Nya. Caranya dengan aku mendapat ridho orang tuaku
dulu.
Dua bulan kemudian, aku telah resmi lulus dari SMP
Negeri Tunas Bangsa, sekolah favorit di kota ini. Dan akupun menjalankan
perintah bapak, lanjut ke pesantren.
Aku merelakan mimpiku yang telah kurancang bertahun-tahun lalu. Lanjut ke SMA favorit kemudian lanjut kuliah.
Tapi aku yakin, semua pasti akan indah pada waktunya. Allah punya rencana yang lebih indah untukku. Aku percaya itu!
0 Komentar