Kadang kita juga perlu bersikap bodo amat untuk hal-hal yang tidak penting. Tapi yang paling utama, kita introspeksi diri dulu, dengan melontarkan pertanyaan untuk diri sendiri, apakah ada yang salah pada diriku?
Oleh: Susi Ramayanti
Terdengar suara rintihan misterius yang membuat bulu-bulu di seluruh tubuhku berdiri. Lampu-lampu komplek sudah mati sejak tadi, pukul 11.30 WIB, karena sudah masuk jam tidur pondok putri.
* * *
Aku yang hampir saja terlelap dalam mimpi merasa terganggu. Mengapa harus ada suara seperti itu malam-malam begini. Kuberanikan diri mencari sumber suara, hingga aku menemukan sosok hitam menakutkan.
Dalam hati terasa campur aduk antara penasaran dan takut. Penasaran
siapakah gerangan sosok hitam yang kulihat itu? Takut karena aku tak tahu itu
makhluk halus atau yang lainnya. “Entahlah” pikirku dalam hati.
Ternyata rasa penasaranku lebih unggul dari rasa takutku. Entah keberanian dari mana yang membuat kakiku melangkah mendekat.
Setelah kulihat, dalam
sekejap rasa takutku berubah menjadi rasa iba. Tidak jauh di hadapanku, terlihat
seseorang yang sedang menangis seraya menundukkan kepalanya.
Baca Juga: Cerpen: Ambyar
* * *
Tepat pukul 02.30 dengan mata yang masih menahan rasa kantuk, aku
memutuskan lebih dekat. Sebelum sampai, tiba-tiba ada sosok berbaju putih yang
mencoba mendekatinya dan menenangkannya. Siapakah dia?
Dari punggungnya pun, aku tahu kalau dia adalah pengurus senior di pondok putri yang terkenal dengan sosok periang, ramah, penuh perhatian, dan pintar.
Beliau selalu istiqomah membangunkan subuh adik-adik kompleknya. Banyak
santri junior yang datang kepadanya untuk curhat dan bertanya tentang ilmu baik
ilmu Nahwu, Shorof, maupun Fiqh.
Wajar banyak santri yang ngefans padanya. Jarang bagi santri yang tidak mengenalnya, bahkan bisa dikatakan 80% santri di sini mengenalnya.
Namanya Callista Diana, biasa dipanggil Mbak Acha. Kubatalkan niatku untuk mendekat
dan kuputuskan untuk mengawasi dari balik pintu kamar.
* * *
“Kamu kenapa, Dek. Ada masalah kah?” tanya Mbak Acha sambil menunjukkan raut penasaran. Anak yang berbaju hitam itu tidak menjawab dan masih terus menangis sambil menundukkan kepala.
Mba Acha lalu berkata, “Jika
kamu ingin menangis, menangislah sampai kamu lega. Kita hidup tentunya tidak
lepas dari yang namanya cobaan. Apalagi di pondok yang merupakan tempat untuk
para pejuang ilmu, berjuang menuntut ilmu agama tidak bisa lepas dari cobaan.”
Mendengar perkataan Mbak Acha, secara perlahan anak itu terdiam. “Di pondok pesantren, seorang santri biasanya diberi cobaan tiga hal:
Pertama,
dicoba ekonominya, contohnya kirimannya telat. Kedua, dicoba dalam
pelajarannya, contohnya ketika hafalan dan memahami pelajaran susah. Ketiga, dicoba dengan pertemanan,
contohnya ada konflik dengan temannya.” ucap Mba Acha
sambil mengusap punggung anak itu, yang kemudian kuketahui bahwa itu adalah adik kelas baruku.
Seseorang yang berbaju hitam itu mulai merasa tenang. “Kamu namanya
siapa, Dek?” tanya Mba Acha sambil memandangi wajahnya.
“Namaku Aisyah, Kak,” jawab Aisyah sambil menghapus air
mata di pipinya.
“Seseorang yang tengah bersedih
dan merasa sendirian ketika diberi perhatian, maka akan merasa tenang.” batinku
dalam hati sambil mengintip di belakang pintu kamarku yang jaraknya tidak jauh
dari tempat mereka duduk.
Mbak Acha bertanya, “Kamu ada masalah apa, Dek? Kalo kamu mau curhat, Kakak siap mendengarkannya, namun kalo kamu belum siap atau nggak mau, ya nggak papa.
Pesan Kakak, kamu jangan berlarut dalam
kesedihan, karena akan membuat hatimu tidak tenang dan akan menghambat proses
belajarmu.”
Baca Juga: Cerpen: Jumat Ini
* * *
Suasana hati Aisyah mulai agak tenang, ia lalu berkata,
“Kak, aku mau curhat. Sebenarnya aku ada masalah dengan teman-teman.”
“Iya Dek, nggak
papa curhat aja kalo memang membuatmu lega.” Sambil memandang wajah Aisyah dan
tersenyum.
“Kak, aku di pondok sudah satu semester rasanya masih belum betah, apalagi ketika melihat teman-teman yang ngomongnya tidak terkontrol (asal ceplos), ditambah lagi baju di jemuran hilang rasanya hatiku tersayat-sayat.
Saya nggak habis pikir loh Kak, saya kira anak pondok baik semua, baik dari tingkah lakunya, perkataannya, maupun penampilannya. Eh, malah teman-teman di kamarku orangnya suka nyindir dan Mbak-mbaknya jutek, kalo ngomong seenaknya sendiri.
Baca Juga: Cerpen: Takdir Tuhan Tak Pernah Salah
Bagaimana aku bisa fokus dengan mengajiku
kalo lingkunganku seperti itu. Kalo terus-terus seperti ini aku ingin keluar
aja dari pondok.” sambil menunjukkan wajah kesal.
Dengan nada tenang, Mbak Acha mencoba memberi pengertian, “Anak pesantren juga manusia,
pasti ada khilafnya. Apakah semua teman-temanmu dan mbak-mbak kamarmu seperti
tadi yang kamu sampaikan?”
Aisyah menjawab, “Ya tidak semua sih, ada tiga orang yang aku tidak
suka dengan sifatnya, kalo mereka berbicara rasanya hatiku terbakar karena
setiap kalimat yang kelar dari mulutnya kata-kata yang tidak enak didengar,
baiknya aku gimana ya, Kak?”
* * *
Ini saatnya Mbak Acha mengeluarkan kata-kata mutiaranya, “Menurut Kakak ya, di mana pun tempat pasti ada orang yang berbuat baik dan buruk kepada kita, tinggal kita mau menyikapinya bagaimana?
Jadi, ketika kamu keluar dari pondok, itu tidak akan menyelesaikan masalah. Kadang kita juga perlu bersikap bodo amat untuk hal-hal yang tidak penting, tapi yang paling utama, kita introspeksi diri dulu, dengan melontarkan pertanyaan untuk diri sendiri, apakah ada yang salah pada diriku?
Apakah aku kurang perhatian terhadap teman-teman? Apakah perbuatanku sudah melukai hatinya? Ketika kamu salah, maka mohon maaflah kepada mereka.
Baca Juga: Cerpen: Pulang
Ketika kamu tidak berbuat salah, maka selalu berbuat baiklah kepada mereka, layaknya sikap Nabi Muhammad Saw. kepada pengemis buta yang selalu mencaci makinya saat beliau menyuapi makanan untuknya. Akhlak Nabi sungguh mulia, tidak pernah marah apalagi dendam kepadanya.
Dek, jika kamu dibilang yang buruk-buruk, anggap aja itu adalah angin lewat. Toh di pondok ini juga banyak orang baik, kita bisa berteman dengan yang baik-baik.
Untuk jemuran yang
hilang, ketika kita sudah berusaha untuk merawatnya (ngopeni) dan ternyata hilang, maka jalan terbaik kita adalah
mengikhlaskannya, anggap saja ini pembelajaran dari Allah SWT. untuk melatih
kita ikhlas.”
“Baik Kak, terima kasih sudah mau mendengarkan curhatanku dan menasihatiku,”
kata Aisyah sambil tersenyum lebar.
* * *
Rasa kantukku sudah hilang setelah mendengarkan percakapan antara Mbak Acha dan Aisyah. Oh Tuhan, sudah jam 03.00 WIB, Aku harus segera ke kulah nih, sebelum antri. Biasanya jam 03.15 WIB para santri putri sudah berbondong-bondong ke kulah untuk mandi.
0 Komentar