Walau hidup di lingkungan orang-orang Belanda, Sosrokartono tetap mampu menjaga diri untuk tidak larut dalam arus budaya Belanda. Beliau hanya menerima budaya Belanda yang cocok dengan pakem budaya Jawa saja
Oleh: Rijal Muttaqin
Raden Mas Panji Sosrokartono adalah seseorang yang lahir dari keluarga bangsawan. Beliau lahir di Mayong, Jepara, pada Rabu Pahing, 27 Robi’ul Awwal 1297 H, bertepatan dengan 10 April 1877 M.
Beliau
merupakan putra dari R.M. Adipati Ario Sosroningrat yang menikah dengan M.A.
Ngasirah.
* * *
Raden Mas Panji Sosrokartono merupakan kakak kandung sekaligus sosok yang sangat menginspirasi R.A. Kartini untuk menjadi tokoh emansipasi wanita.
Beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada hari Jum’at
pahing, tanggal 8 Februari 1952, pukul 11.50, di rumah kontrakan Dar Oes
Salam, Jalan Pungkur No.19, Bandung.
Perjalanan
Menimba Ilmu Sosrokartono
Semasa masih kecil, Sosrokartono memang sudah pandai membaca. Beragam pengetahuan, baik pengetahuan tentang agama Islam, budaya Jawa, maupun budaya barat (belanda) beliau ketahui dengan baik.
Beliau diberikan pendidikan formal oleh ayahnya
melalui guru privat yang didatangkan ke rumahnya.
Baca Juga: Biografi Kartini, Penggagas Tafsir Berbahasa Jawa
Menginjak usia delapan tahun, beliau disekolahkan di sekolah dasar milik belanda yang bernama Europse Lagress School (ELS), yang ada di Jepara.
Pada zaman kolonial, sekolah tersebut hanya untuk menampung anak-anak Belanda dan
anak-anak Pribumi dari kalangan bangsawan, terutama anak-anak pribumi yang
orang tuanya menjadi pejabat pemerintahan.
Karena kegemaran membacanya yang kuat dan kecerdasan otaknya, di sekolah Belanda ini Sosrokartono tergolong sebagai siswa Pribumi yang mampu bersaing dengan anak-anak Belanda.
Setelah pulang dari ELS, di sore hari beliau belajar al-Qur’an
dan bahasa Jawa dengan guru privatnya.
Selepas lulus dari ELS, beliau melanjutkan sekolah menengahnya di Hogere Burger School (HBS) Semarang. Di sana, beliau tinggal dengan keluarga Belanda atas perintah dari ayahnya.
Walaupun hidup di lingkungan orang-orang
Belanda, Sosrokartono tetap mampu menjaga diri untuk tidak larut dalam arus
budaya Belanda. Yang ia terima hanya budaya Belanda yang cocok dengan pakem
budaya Jawa saja.
Sewaktu di HBS, Sosrokartono semakin keranjingan untuk membaca, sehingga dirinya dikenal sebagai kutu buku. Karena kegemarannya dalam membaca inilah, teman-teman dan guru-guru beliau kerap memanggilnya dengan sebutan “profesor”.
Selain gemar membaca buku-buku asing, beliau juga kerap membaca buku-buku atau
kitab-kitab berbahasa Jawa, seperti Wulang Reh dan Centhini.
Pada tahun 1897 Sosrokartono lulus dari HBS dan mendapatkan hasil yang mampu melampaui teman-teman sekolahnya termasuk anak-anak Belanda.
Hasil tulisannya dalam ujian akhir yang menggunakn bahasa Jerman muncul sebagai karya terbaik dan dijadikan sebagai contoh yang patut diikuti oleh siswa-siswa lainnya.
Karena lulus dari HBS dengan mendapatkan hasil yang sangat memuaskan,
Sosrokartono melanjutkan studinya ke Belanda yang pada saat itu, beliau baru
berumur 20 tahun.
Di Belanda Sosrokartono pertama-tama masuk ke jurusan Polytechnische School (Teknik Sipil) di Delft. Namun di Politeknik Delft, beliau hanya bertahan selama 2 tahun saja. Sebab, beliau lebih berminat dan menyukai Filsafat dan Kesusatraan Timur.
Setelah keluar dari Politeknik di Delft, beliau
melanjutkan ke Universitas Leiden masuk ke Fakultas Sastra Timur. Di Leiden
inilah beliau semakin semangat belajarnya karena sesuai dengan minat dan
jiwanya.
Pada 8 Maret 1908, setelah diuji oleh para guru besar Universitas Leiden,
Sosrokartono dinyatakan lulus dengan predikat Summa Cum Laude dan karena
itu, beliau berhak menyandang gelar Doctorandus In De Oesterche Talen
(Drs.) di bidang Sastra dan bahasa Timur.
Baca Juga: Biografi Lengkap Syekh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili
Keterlibatan Sosrokartono dalam Pergerakan Nasional
Sosrokartono terlibat dalam pergerakan nasional, namun tidak masuk dalam struktur organisasi maupun partai politik.
Beliau lebih berperan memberikan penguatan
jiwa dan moral bagi para pejuang dan aktivis-aktivis pergerakan.
Peran beliau dalam pergerakan nasional semakin kuat ketika detik-detik menjelang diproklamasikannya Kemerdekan RI pada 17 Agustus 1945 oleh Sukarno-Hatta.
Dalam sejarahnya, lima bulan sebelum Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan, Sukarno
dan Hatta telah terlebih dahulu menemui empat ulama dan kiai pakar Tasawuf di
Jawa, yang salah satunya adalah Sang Alif atau Raden Mas Panji Sosrokartono.
Beberapa Ajaran Hidup Sosrokartono
Sebagai seorang tokoh Nasional, Sosrokartono mempunyai ajaran-ajaran mengenai kehidupan yang dapat kita terapkan dalam lika-liku kehidupan kita.
Berikut adalah beberapa
diantaranya:
“Sugih Tanpo
Bondo, Digdaya Tanpo Aji, Ngelurug Tanpo Bala, Menang Tanpo Ngasoraken”
Ini adalah ajaran atau prinsip kemanusiaan yang dijadikan sebagai pedoman
bagi R.M.P. Sosrokartono. Ajaran ini disebut dengan
“prinsip perjuangan lahir”. Disebut demikian barangkali karena prinsip ini
berkaitan dengan kehidupan fisik atau jasmani.
“Terima Mawi Pasrah, Suwung Pamrih Tebih
Ajrih, Langgeng tan ono susah tan ono bungah, Anteng manteng sugeng jeneng”
Ini dikatakan sebagai “prinsip perjuangan batin”, karena memang berhubungan
dengan kondisi jiwa, batin, dan mental seseorang.
Baca Juga: Biografi Muhammad bin Abdul Wahhab, Sang Pendiri Aliran Wahabisme dan sajian perjalanan serta pelajaran hidup dari para tokoh lainnya yang terbukti menginspirasi lintas generasi di rubrik BIOGRAFI TOKOH.
Referensi:
- Buku R.M.P Sosrokartono, karya Muhammad Muhibbudin.
- https://id.wikipedia.org/wiki/Sosrokartono#:~:text=Drs.%20Raden%20Mas%20Panji%20Sosrokartono,untuk%20menjadi%20tokoh%20emansipasi%20wanita.
0 Komentar