Menurut Ibnu Kholdun, dalam Muqoddimah-nya, suatu hasil usaha dapat disebut sebagai rezeki ketika kemanfaatan dari hasil usaha tersebut kembali kepada seseorang
Oleh: M. Wildan Taskuri
Di atas muka bumi ini, manusia diciptakan oleh
Allah SWT sebagai kholifah. Sehingga, mereka diberi kebebasan oleh-Nya untuk melakukan hal-hal yang
ada di muka bumi.
* * *
Sebagai makhluk sosial, dalam melakukan hal
tersebut, tidak jarang mereka bekerja sama, saling bantu-membantu satu sama lain.
Sesuatu yang telah didapatkan oleh seseorang, tidaklah boleh diambil oleh
orang lain, kecuali dalam mengambilnya dengan
menggunakan alat tukar (misalnya dengan transaksi jual beli).
Dalam al-Qur’an,
Allah SWT telah Berfirman:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي
الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا
وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Artinya: “Dan tidak
ada satupun makhluk bergerak (bernyawa) di muka bumi melainkan semuanya telah
dijamin rezekinya oleh Allah. Dia mengetahui tempat kediaman dan tempat
penyimpanannya. Semua itu (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
(QS Hud: 6)
Baca Juga: Artikel Islami: Mengapa Islam Diseru dari Makkah?
Dalam ayat tersebut, Imam Fakhruddin ar-Roziy dalam karya tafsirnya, yakni Tafsir al-Kabir, juz. 9, hal. 179, menjelaskan bahwasannya yang dimaksud dengan lafadz دَابَّةٍ pada ayat tersebut adalah setiap hewan yang memiliki nyawa.
Sedangkan Imam al-Ghozaliy membagi hewan menjadi dua golongan, yaitu
hewan ternak (bahimiyyah) dan hewan buas (sabu’iyyah).
Hewan ternak (bahimiyyah) adalah hewan yang hanya fokus pada makan, minum, dan berkembang biak. Seperti halnya sapi dan kambing yang tidak punya ambisi dan tidak punya cita-cita. Hidupnya hanya begitu-begitu saja.
Sedangkan
kebalikannya, yakni hewan buas (sabu’iyyah) adalah hewan yang bersifat agresif luar biasa,
ambisius, menabrak ke kiri dan ke kanan, keinginannya harus terpenuhi meski
harus dengan kekerasan. Sementara dalam diri manusia terdapat sifat-sifat seperti
itu.
Oleh karenanya, dari paparan penafsiran ayat al-Qur'an di atas sudah jelas, bahwasanya rezeki semua makhluk hidup, tidak terkecuali manusia, sejatinya telah ditentukan dan ditanggung oleh Allah SWT.
Tidak Semua Hasil Usaha dapat Disebut Sebagai Rezeki
Lalu, apakah semua hasil usaha bisa disebut sebagai rezeki? Jawabannya adalah belum tentu. Mungkin sebagian orang akan bertanya-tanya, “Mengapa demikian?”
Hal tersebut menurut Ibnu Kholdun, dalam kitab Muqoddimah-nya (hal. 685), karena
suatu hasil usaha dapat disebut sebagai rezeki ketika kemanfaatan dari hasil usaha tersebut kembali kepada seseorang.
Menurut beliau, hal tersebut sesuai dengan sabda Rosululloh SAW yang berbunyi, “Sesungguhnya harta untukmu hanyalah apa yang kau makan lalu habiskan, apa yang kau kenakan lalu rusak, atau yang kau sedekahkan lalu lestari.”
Oleh karena itu -masih menurut Ibnu Kholdun- jika seseorang tidak
mendapatkan manfaat sama sekali atas hasil usahanya, maka hasil usaha tersebut tidak bisa disebut sebagai rezeki.
Baca Juga: Artikel Pesantren: Seberapa Berkah Makananmu?
Contoh sederhana yang
dapat dijadikan sebagai gambaran dalam hal ini adalah harta warisan. Bagi orang yang telah meninggal, harta warisan ini statusnya hanyalah sebagai ‘hasil usaha’ (kasb) saja, bukan sebagai ‘rezeki’ baginya. Hal ini karena orang yang telah meninggal tidak akan pernah mendapatkan manfaat dari
barang tersebut.
Lain halnya dengan
sang ahli waris. Harta warisan ini bisa disebut sebagai ‘rezeki’ baginya, namun tentunya ketika harta warisan
tersebut benar-benar bermanfaat baginya.
Akan tetapi meskipun demikian, ‘hasil usaha’ tidak bisa dinisbatkan kepada
sang ahli waris. Sebab, status ahli waris menjadi anak dari seseorang yang
telah meninggal tersebut bukanlah suatu pekerjaan, melainkan takdir dari Allah
SWT yang sudah tidak dapat dirubah lagi.
* * *
Walhasil, tidak semua hasil
usaha dapat disebut sebagai rezeki dan tidak semua rezeki bermula dari usaha, melainkan
hanyalah sesuatu yang dapat memberikan manfaat dan manfaat tersebut bisa
dirasakan sebagai rezeki.
Dan perlu diingat, meski rezeki seorang hamba telah ditentukan oleh Allah
SWT, namun kita harus tetap berikhtiar dalam mendapatkannya. Karena sungguh
usaha tak akan pernah mengkhianati hasil.
Referensi:
- Muqoddimah, Imam Ibnu Kholdun, hal. 685.
- Tafsir al-Kabir, Imam Fakhruddin ar-Roziy, juz. 9, hal. 179.
- Menjadi Manusia Menjadi Hamba; Fitrah Manusia, Fakhrudin Faiz, hal. 33.
0 Komentar