Kalian semua boleh menghadiri acara haul di mana-mana dan boleh tidak menghadiri jika memang ada halangan, tapi jangan tinggalkan Haul Solo, karena aku yakin Nabi hadir di situ.
Oleh: Luthfil Khakim
Sebuah kisah dari kota yang dihuni ribuan Habib, Hadramaut, Yaman. Hiduplah sepasang suami istri yang taat beragama dan cinta terhadap ilmu. Waktunya banyak dihabiskan untuk memberi manfaat kepada orang lain, mengajar serta berdakwah.
Bahkan masih terus belajar dengan mengikuti majelis-majelis pengajian. Kecintaannya terhadap ilmu membuat mereka mendapat kedudukan dan martabat yang mulia di sisi Allah.
* * *
Suatu hari, sang istri merasakan tanda-tanda akan melahirkan anak yang telah lama dikandungnya. Tidak seperti istri-istri pada umumnya, yang mana saat detik-detik melahirkan ditemani oleh sang suami.
Ia melahirkan tanpa ditemani sang suami karena pada saat itu sang suami sedang berada di kota mengikuti suatu pengajian yang diisi oleh seorang ulama besar yang sekaligus menjadi gurunya.
Tanggal 24 Syawal 1259 H/1839 M di desa Qasam, Hadramaut, Yaman, lahirlah bayi laki-laki dari rahim seorang wanita kekasih Allah nan mulia derajatnya. Bayi yang kelak akan menjadi orang yang berbakti kepada orang tuanya serta patuh terhadap gurunya.
Bayi yang kelak akan menjadi seorang yang ahli ibadah dan menjaga wahyu Allah
serta sunah Nabi Saw. Bayi yang kelak akan menjadi orang yang paling banyak membaca sholawat kepada baginda Nabi, dan bayi yang
kelak keharuman namanya akan tercium oleh umat Islam
di berbagai belahan dunia, berkat keilmuan dan kemuliaannya.
Berhubung sang suami sedang tidak ada di sampingnya, sang istri mengutus seseorang untuk memberitahu kepada suaminya yang sedang berada di kota, atas kelahiran bayi laki-lakinya.
Sebuah kabar yang ketika sampai ke telinga sang suami bukannya membuat ia ingin pulang, melainkan ia merasa sangat senang karena sang bayi lahir saat ia dalam majelis pengajian.
Kabar kelahiran putranya pun
juga didengar oleh jama’ah lain, sehingga
kebahagiaan juga dirasakan oleh seluruh jama’ah yang hadir pada waktu itu.
Sang
istri juga berkeinginan agar putranya mendapat barokah dari gurunya yang saat
itu sedang mengisi pengajian dengan memberikan nama untuk putranya.
“Kasih
nama dia ‘Ali, nanti kelak dia akan mewarisi kewaliannya Habib Ali bin Alwi
Kholi’ Qosam.”
Habib Ali bin Alwi Kholi’ Qasam sendiri adalah
seorang ulama’ dan kekasih Allah yang saat mengucapkan salam dalam bacaan tahiyyat,
“Assalamu’alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullohi wa barakatuh,” maka
langsung mendengar jawaban langsung dari Nabi
Saw, “'Alaika as-salam ya syaikh.”
Tidak hanya sebuah jawaban saja, melainkan
jawaban salam dari Nabi itu dapat didengar oleh seluruh jama’ah. Sehingga pada waktu
itu, banyak orang yang datang untuk sholat
berjama’ah dari berbagai daerah hanya untuk mendengar jawaban salam dari Nabi
Saw.
Baca Juga: Apa Sajakah Warisan Pemikiran An-Nahdhiyyah?
* * *
Sekilas tentang Habib Ali al-Habsyi
Begitulah kiranya langkah yang sangat baik diambil oleh orang tua untuk memberi nama anaknya. Nama pemberian sang maha guru, sederhana namun penuh makna.
Yakni dengan ngalap
berkah kepada tokoh, ulama’, wali dan para kekasih Allah, agar kelak sang anak mendapat keberkahan serta dapat mengikuti jejak perjuangannya.
Beliau adalah Habib Ali
bin Muhammad al-Habsyi, yang lahir dari
seorang mufti Haromain
Syafi’iyah, al-‘Arif billah al-Habib Muhammad bin Husein al-Habsyi serta
seorang wanita sholihah, al-‘Arifah billah Hubabab Alawiyah binti Husein bin
Ahmad al-Hadi al-Jufri.
Sang maha guru tersebut bernama al-Habib Abdulloh bin Husein bin Thohir, seorang wali besar pada zamannya.
Baca Juga: Artikel Islami: Dengan Maulid Nabi, Kita Tingkatkan Semangat Ngaji
Diantara
bukti kewalian beliau adalah saat beliau pernah berkata, “Saya diizinkan
oleh Allah swt untuk memberikan syafa’at. Maka saya mintakan syafa’at kepada
Allah Swt untuk seluruh umat muslim yang hidup sezaman dengan saya agar tidak
ada yang masuk neraka.” Do’a itupun dikabulkan oleh Allah Swt.
Sebagai murid yang taat kepada gurunya, Habib Muhammad al-Habsyi harus meninggalkan Habib Ali al-Habsyi yang saat itu masih berusia 7 tahun.
Beliau ditugaskan oleh
Habib Abdulloh bin Husein bin Thohir untuk dakwah menuju Makkah.
Beliau berangkat bersama putranya yang sudah besar (Abdulloh, Ahmad dan
Husein).
Kelak, Habib Husein bin Muhammad al-Habsyi (kakaknya Habib Ali al-Habsyi) mewarisi ayahnya sebagai mufti Haromain Syafi’iyyah setelah berselang beberapa periode.
Beliau jugalah yang kemudian menjadi guru ulama’ Nusantara yaitu Kiai
Kholil Bangkalan, maha guru ulama’ Nusantara
dan Hadrotussyaikh Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama.
Bersama ibunya, saat umur 11 tahun Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi hijrah ke kota Seiwun untuk memperdalam ilmu agama. Di sana, beliau mempelajari al-Qur’an, ilmu Fiqh dan fan ilmu-ilmu lain.
Dalam
perjalanan, beliau dan ibunya singgah di rumah Habib Abdulloh bin Husein bin
Thohir, guru futuh beliau. Kesempatan itu digunakan untuk belajar kepada
Habib Abdulloh dengan menelaah berbagai kitab dan mengambil ijazah sanad
keilmuan.
Di usia 17 tahun, Habib Ali al-Habsyi pergi ke Makkah atas perintah ayahnya. Hanya 2 tahun beliau di sana bersama ayahnya untuk kemudian pulang lagi ke Seiwun.
Di kota ini, Habib Ali al-Habsyi banyak beraktifitas dalam dunia pendidikan. Mulai dari mengajar dari daerah ke daerah, sampai memimpin lembaga-lembaga pendidikan. Ahwal besar yang keluar dari diri beliau menarik hati penduduk setempat untuk belajar kepadanya.
Habib Ali juga sering pergi ke Tarim untuk belajar dengan ulama’ di
sana. Banyak guru yang telah beliau serap ilmunya, salah satunya adalah guru kasyaf
beliau, yaitu Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Athas.
Banyak orang dari luar kota yang ingin belajar kepada Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi. Untuk itu, saat umur 37 tahun, beliau membangun Ribath (pondok pesantren) pertama di Hadramaut.
Bangunan tersebut menyerupai
masjid dan biaya pembangunan ditanggung sendiri. Saat mencapai usia 44 tahun, beliau
membangun masjid yang diberi nama Masjid Riyadh, pada tahun 1303 H.
Sekilas tentang Maulid Simtudduror
Di
umur 68 tahun, Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi mengarang sebuah kitab yang
berisi tentang sholawat dan pujian kepada baginda Nabi Muhammad Saw.
Dengan salah satu keahliannya dalam
bidang sastra, maka tersusunlah kitab yang berjudul Simtudduror,
yang memiliki arti "Untaian Biji Mutiara". Kitab ini digarap pada tahun 1327 H dimulai
tanggal 28 Shofar dan
selesai pada 10 Rabi’ul Awal.
Berbagai penjuru belahan dunia telah memasukkan pembacaan Maulid Simtudduror sebagai rangkaian dari acara-acara besar seperti, Maulid Nabi, Haul, Isro’ Mi’roj dan hari-hari penting lainnya.
Tak
jarang pula beberapa lembaga pendidikan Islam
terutama pesantren mengadakan rutinan pembacaan maulid simtudduror setiap malam
Jum’at dengan diiringi hadroh tradisional.
Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, Shohibul Maulid meninggal
di usia 70 tahun, yaitu pada 20 Robi’ul Akhir
1333 H/1913 M dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Riyadh, Seiwun, Hadramaut.
Haul Shohibul Maulid
Berbagai peringatan untuk mengenang seseorang
yang sudah meninggal telah dikenal oleh masyarakat Islam.
Dalam tradisi Islam Jawa misalnya,
untuk mengenang orang yang sudah meninggal mengenal istilah nelung dino,
mitung dino, matang puluh, nyatus, mendak, nyadran,
haul, dll.
Tradisi tersebut diadakan dengan
tujuan untuk menghormati serta mendo’akan orang yang telah meninggal. Beberapa
ritual Islami dilakukan di dalamnya seperti
tahlilan, membaca al-Qur’an,
pembacaan maulid dan biasanya ditutup dengan sedekah makanan dari keluarga ahli
waris.
Tidak luput dari perhatian umat Islam Indonesia bahkan dunia, sebagai bentuk penghormatan kepada sosok atau tokoh yang sudah meninggal adalah Haul Shohibul Maulid.
Haul yang setiap tahunnya diperingati pada pekan
akhir bulan Robi’ul Akhir
di Masjid Riyadh, Solo. Acara tersebut dihadiri
oleh jutaan orang dari seluruh penjuru Indonesia baik dari kota besar maupun
daerah terpencil, dari orang miskin maupun orang kaya, bahkan juga dari luar
negeri untuk menghadiri peringatan Haul tersebut.
Haul yang sering disebut dengan “Haul Solo” ini pertama kali diadakan oleh Habib Alwi bin Ali al-Habsyi, setelah hijrah dari Hadramaut ke Indonesia.
Haul dalam
rangka memperingati haul ayahnya yang bernama Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi,
Shohibul Maulid Simtudduror yang dimakamkan
di Seiwun, Hadramaut, Yaman.
Pada waktu itu,
hanya sekitar 20 sampai 30 orang yang datang mengikuti acara Haul. Namun lambat
laun orang yang datang terus bertambah bahkan sekarang sampai jutaan orang.
“Saya
dengar Kyai Hamid Pasuruan berkata, “Kalian
semua boleh menghadiri acara haul di mana-mana dan boleh tidak menghadiri jika memang
ada halangan, tapi jangan tinggalkan Haul Solo, karena aku yakin Nabi hadir di situ.” Begitulah
kira-kira penuturan Habib Alwi bin Ali bin Alwi bin Ali bin Muhammad al-Habsyi
dalam sebuah wawancara.
Masih
menurut seorang wali agung dari Pasuruan tersebut, bahwa Habib Ali itu adalah
menteri keuangannya Allah, maka siapa yang hadir akan dipermudah rezekinya oleh
Allah.
* * *
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Begitu kiranya peribahasa yang bisa kita ambil maknanya untuk mengenang orang-orang yang telah mendahului kita dengan perjuangan dan jasa-jasa positifnya.
Apalagi yang
kita peringati adalah seorang ulama’, kekasih Allah dan merupakan keturunan
manusia panutan Nabi Muhammad Saw. Tidak ada do’a yang lebih tepat melainkan
hanya mengharapkan berkah keilmuan dan kemuliaan dari Rosulullah Saw. dan
keturunannya.
Wallahu a’lamu bishshowab
Referensi:
- https://habibnovel.com/
- https://www.solopos.com/
- Tausyiah Habib Novel Alaydrus saat Haul Solo 2020
- Awal Mula Kisah Haul Solo, Habib Alwi bin Ali al-Habsyi Media
0 Komentar