Like Us Facebook

Artikel Hari Santri: Peran Santri dalam Mempertahankan Kemerdekaan NKRI (Part 2)

 



Hal ini, tak lain karena Sukarno merasa elemen santri akan menjadi kekuatan yang amat besar untuk mempertahankan kemerdekaan.




Oleh: Sri Wahyuni

Dalam “Artikel Hari Santri: PeranSantri dalam Mempertahankan Kemerdekaan NKRI (Part 1)” sudah diceritakan sekilas mengenai proklamasi kemerdekaan Indonesia dan kedatangan Belanda lagi ke Indonesia.

Kali ini, akan kami lanjutkan dengan kisah mengenai fatwa jihad KH. Hasyim Asy’ari yang membangkitkan semangat rakyat Indonesia khususnya kalangan santri.


* * *


Fatwa Jihad K.H Hasyim Asy'ari

Merasa kemerdekaan Indonesia terancam, Sukarno meminta kepada K.H Hasyim Asy'ari (salah satu pendiri NU) untuk memberikan sebuah pendapat yang dapat dijadikan landasan bagi umat Islam untuk turut serta melawan penjajah.

Hal ini, tak lain karena Sukarno merasa elemen santri akan menjadi kekuatan yang amat besar untuk mempertahankan kemerdekaan.

Pada tanggal 17 September 1945, K.H Hasyim Asy'ari memberikan fatwa jihad yang menyebutkan bahwa:

1. Hukum memerangi orang kafir yang menghalangi kemerdekaan adalah fardhu ‘ain

2. Hukum orang yang meninggal saat pertempuran melawan NICA dan komplotannya adalah mati syahid

3. Serta hukum orang yang memecah persatuan adalah wajib dibunuh.

Adanya fatwa jihad tersebut membangkitkan semangat rakyat Indonesia khususnya kalangan santri.

Semangat untuk memerangi Belanda dan komplotannya bertambah dengan adanya insiden Hotel Yamato pada 19 September 1945. Bendera merah putih biru yang dikibarkan Belanda di puncak hotel Yamato dirobek oleh kader Ansor, Cak Asyari sehingga hanya menyisakan warna merah putih.

Pada 22 Oktober 1945, fatwa jihad K.H Hasyim Asy'ari dibacakan secara resmi. Bunyi fatwa jihad tersebut adalah, “Berperang menolak dan melawan penjajah itu fardhu ‘ain (harus dikerjakan tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempuan, anak-anak, bersenjata ataupun tidak) bagi yang berada dalam jarak lingkaran 94 km dari tempat masuk dan kedudukan musuh. Bagi yang berada di luar jarak lingkaran tadi, kewajiban itu menjadi fardhu kifayah (yang cukup, kalau dikerjakan sebagian saja)”

Di samping adanya fatwa jihad, Bung Tomo membakar semangat nasionalisme rakyat Indonesia melalui pidatonya di radio pada tanggal 24 Oktober 1945.

 

Tewasnya Jenderal Mallaby

Pada tanggal 27 Oktober 1945, sebuah pesawat Dakota dari Jakarta menebarkan pamflet di Surabaya yang berisi Ultimatum untuk rakyat Surabaya agar melucuti senjata mereka atau mereka akan ditembak. Ultimatum ini dianggap sebagai penghinaan karena rakyat Indonesia telah merdeka sejak 17 Agustus 1945.

Pada 30 Oktober 1945, para santri bersama rakyat Surabaya menyerang Markas Brigade 49 Mahratta pimpinan Jenderal Mallaby. Penyerangan ini mengakibatkan terbunuhnya Jenderal Mallaby sebagai pimpinan tentara Inggris di Jawa Timur yang diduga terkena lemparan granat saat dia tengah berada di dalam mobil.

Pelaku pembunuhan ini adalah Harun, salah satu santri Pondok Pesantren Tebuireng. Kejadian tersebut membuat pihak Inggris marah, mereka menganggap pembunuhan ini tidak berperikemanusiaan karena jasad Jenderal Mallaby tidak dapat ditemukan.

 

Pertempuran Akbar 10 November 1945 dan K.H Abbas bin Abdul Jamil

Tewasnya Jenderal Mallaby membuat perseteruan antara rakyat Surabaya dengan Inggris semakin memanas. Pada tanggal 7-8 Oktober 1945, diadakan Kongres Umat Islam (KUI) di Yogyakarta.

Kongres ini mengumpulkan ulama se-Jawa Madura untuk kembali mengukuhkan fatwa jihad sekaligus menyusun strategi untuk pertempuran. Fatwa jihad kembali dikumandangkan lewat mulut ke mulut, masjid ke masjid, dan sengaja tidak melalui radio karena pertimbangan politik.

Semangat nasionalisme rakyat Indonesia digalang melaui pidato Bung Tomo yang diwarnai takbir. Santri-santri dari Jawa Timur, Malang, Jawa Tengah, Surabaya, dan beberapa daerah lain membentuk pasukan untuk melawan penjajah.

Satu hari sebelum pertempuran akbar Surabaya, K.H Hasyim Asyari memerintahkan para santri untuk memasuki Surabaya.

Sebelum menyerang, K.H Hasyim Asyari meminta para pasukan untuk menunggu Macan dari Cirebon, yaitu K.H Abbas bin Abdul Jamil pendiri Pesantren Buntet, Cirebon.

Dia terkenal sebagai seorang kiai yang sangat mahir dalam ilmu bela diri. Dalam dakwahnya, dia tidak hanya mengajarkan ilmu agama, namun juga mengajarkan ilmu bela diri yang dia kuasai.

Pada peristiwa 10 November, K.H Hasyim Asyari memerintahkan K.H Abbas Buntet Cirebon untuk memimpin pertempuran dibantu oleh K.H Wahab Hasbullah, Sutomo (Bung Tomo), Ruslan Abdul Ghani, K.H Mas Mansur, dan Dul Arnowo. Seluruh rakyat Surabaya telah bersiap menyambut pertempuran.

Tepat tanggal 10 November 1945, Inggris membobardir Surabaya. Para santri yang melebur bersama Laskar Hizbullah dan Sabilillah (organisasi yang diprakarsai oleh K.H Abdul Wahid Hasyim kala Jepang masih menjajah Indonesia sebagai wadah perjuangan fisik umat islam) menjadikan kota ini sulit ditaklukkan.

Para santri dan masyarakat yang terlibat menciptakan pasukan yang tak takut mati meskipun hanya bersenjatakan bambu runcing dan parang. Pekikan takbir, ledakan bom, dan suara tembakan saling beradu.

Di tengah pertempuran, K.H Abbas Buntet menunjukkan karomahnya. Dengan diiringi doa, dia menjadikan tasbih, sorban, serta sandal bakiak yang dipakainya sebagai senjata. 

Kibasan sorbannya mampu meledakkan beberapa pesawat milik NICA yang bermaksud menjatuhkan bom di Surabaya. Hal ini sempat memukul mundur pertahanan Inggris.

Pengambilalihan kekuasaan yang mereka perkirakan dapat selesai dalam waktu tiga hari secara damai, ternyata menjadi pertempuran yang berlangsung selama 3 minggu hingga akhirnya seluruh wilayah Surabaya jatuh ke tangan Inggris. Pertempuran ini menjadi pertempuran terbesar sepanjang sejarah kemerdekaan.

 

Pengakuan Kedaulatan

Pertempuran 10 November 1945 disusul berbagai pertempuran di banyak daerah. Bermacam perundingan antara Indonesia dengan Belanda dan Inggris dilakukan.

Sistem pemerintahan Indonesia berubah dari sistem presidensial ke sistem parlementer. Selain itu, pada 3 Januari 1946, Ibukota Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta. Usaha Belanda untuk menduduki Indonesia kembali baru berakhir saat penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949 di Den Haag, Belanda.


Posting Komentar

0 Komentar