Like Us Facebook

Cerpen: Jumat Ini

 



Bagaimana mungkin dirinya bisa berpikiran seburuk itu. Di saat seharusnya ia berpikir bahwa Bapak Ibunya takkan melupakannya.



Oleh: Sri Wahyuni

Alhamdulillah, udah Jumat lagi. Upi yang dari kemarin menantikan dikintu, mesam-mesem sejak pagi. 

    Pasalnya, Jumat ini dia minta dibawakan baju baru. Bapak-Ibunya tidak  terlalu dia rindukan. Yang penting mah baju barunya ada.


* * *


    Hari Senin kemarin Upi telepon Bapak, bilang kalau bajunya hilang dua di jemuran. Jadilah, sesi telepon hari itu ajang keluh kesah buat Upi. Yang nggak ada ganti baju buat berangkat madrasah lah, yang sandal barunya di-ghosob lah, yang ditimpuk guru gara-gara tidur di kelas lah. 

    Bapaknya cuma mendengarkan. Sudah tak heran lagi. Beda sekali dengan Ibunya, yang kalau dengar curhatan Upi udah ribut minta Upi dipindahkan sama Bapaknya. Padahal cuma curhatan pulpennya Upi hilang dua kali.


Baca Juga: Cerpen: Santri Bukan Manusia Lemah


* * *


    Selesai piket pagi ini, Upi sudah punya rencana. Dia akan datang ke kantor pengurus dan memastikan jam datang bapaknya. Ya, memastikan saja. Karena jikalaulah nantinya dia menunggu, tidak akan sia-sia.

    `Waktu berjalan lama bagi Upi. Jam dua masih satu jam lagi, tapi rasanya seperti masih besok. Upi melihat ke kanan kiri, teman-temannya baru saja tidur setelah jamaah sholat Dzuhur. 

    Alangkah damainya, tidak seperti batin Upi yang kini mulai tak sabar menunggu. Setengah dirinya memintanya bertahan, sementara setengah yang lain tergoda untuk tidur sebentar.

    Upi menggelengkan kepala tatkala dirinya terkantuk dan hampir saja roboh dari duduknya. Dirinya sedikit was-was kalau-kalau di tengah rasa kantuknya ini, telinganya tidak mendengar panggilan namanya dari speaker pondok. Oh, ayolah, penantian lama memang membuat pikiran kita parno kan.

    Pandangan Upi kembali ke arah jarum jam. Sudah lewat sepuluh menit dari jam dua. Kenapa namaku belum dipanggil?, batinnya. Padahal sedari tadi speaker itu tak berhenti memanggil nama walau hanya satu menit, tapi namanya tak pernah disebut.

    Oh, penantian. Lama-lama Upi mengkal juga. Ia putuskanlah dirinya untuk tertidur. Sebal dengan bapaknya yang tak datang-datang.



* * *


    Pagi tadi di rumah, Ayah Ibunya tengah bimbang waktu dapat chat dari Upi. Kirim atau tidak. Baju yang diminta Upi tak dapat dibelikan. Telah habislah uang bapak untuk berobat sebab jatuh dari motor pulang kerja kemarin, hanya sisa beberapa ratus untuk makan Upi dua minggu. 

    Padahal dia sudah berjanji. Belikan baju buat Upi. Jika nekat belikan dengan uang yang hanya cukup untuk makan Upi dua minggu itu, bagaimana bapak dapat cari uang makan lagi dengan cepat. Sedang dirinya belum sembuh benar. Tapi Ibu bilang yang penting temui Upi. Tak tahulah mereka, kalau Upi hanya ingin baju itu. Bukan rindu.


Baca Juga: Cerpen: Transisi


* * *


Jadilah hari itu, bapak-ibu Upi berangkat ke pondok. Sedikit telat karena mampir ke warung. Setidaknya mereka membelikan Upi jajanan.

    Sesampainya di pondok, Bapaknya minta dipanggilkan Upi. Sekali, dua kali, Upi tak datang-datang. Sudah jam tiga. Panggilan ketiga, Upi baru bangun. Panik melihat jam sudah jam tiga. Langsung dia bersiap-siap.

    Upi dikejar waktu, macam dikejar harimau saja. Padahal setengah hatinya menyalahkan, mengapa juga bapak ibunya telat datang. Sampai-sampai Upi ketiduran menunggu.

    Sampai di lokasi, Upi lihat Bapak Ibunya tengah duduk, sedikit raut wajah resah terlihat. Sedikit-sedikit matanya melirik ke kardus mi instan yang tergeletak dan seakan melambai meminta Upi untuk segera mendekat dan membukanya.


Baca Juga: Cerpen: Inikah Jalannya?


* * *


    Raut cemas itu seketika hilang setelah melihat Upi akhirnya datang juga. Tapi tidak dengan Upi. Kecemasan itu berbalik tatkala dia lihat tangan bapak yang lecet dan kaki yang sedikit bengkak. Lupakan baju baru, lupakan kardus yang ia intai sejak tadi. Upi ingin meminta penjelasan.

    Matanya menangis deras demi mendengar cerita bapak. Apakah yang tengah dilakukannya waktu bapaknya jatuh? Upi hanya berpikir baju baru. Apakah yang tengah dilakukannya waktu bapak ibunya mampir ke warung membelikannya makanan?

    Upi tengah menggerutu karena keduanya tak datang-datang. Dan apa yang dilakukannya setelah ada panggilan atas namanya? Upi menyalahkan mereka. 

    Bagaimana mungkin dirinya bisa berpikiran seburuk itu. Di saat seharusnya ia berpikir bahwa Bapak Ibunya takkan melupakannya. Di saat seharusnya ia yakin keduanya akan berusaha tidak mengecewakannya. Entahlah, dia tidak tahu.

Posting Komentar

1 Komentar