Cipt. Ubaidillah Khobir
Di dalam perut bumiku masih mengandung burung-burung yang belum ingin menetas
Aku menyimpan telur yang sangat kecil dan kotor
Ku taruh di atas udara yang segar, agar tidak tercium oleh asap-asap penjajah
Aku lari....
Menggendong seribu jiwa yang masih tengkurap tak bisa berdiri
Menahan jari-jari yang sempat hilang dari kakiku karena terkena lemparan api
Pohon-pohon meniup dari ujung akar sampai pucuk batang
Aku tarik badan pohon
Yang sudah akan dibawa oleh raksasa penjajah
"Jangan...!!"
Teriak istriku yang sangat lembut dengan gelungnya
"Jangan kau ambil anakku, dia belum tahu apa-apa"
Jatuh tergelosor di atas tanah yang sangat panas
Sambil menahan tamparan dari tangan-tangan penguasa
"Tampar aku...! Tampar aku...!
Bunuh aku...!"
Ku berteriak di depan wajah penjajah dengan mata melotot
"Tunggu apalagi?
Kau injak bumiku? Lebih baik
Bunuh aku...!"
Istriku menderai air mata yang berkecucuran di atas pipi lembutnya
"Jangan sekali-kali kalian melawan kekuasaanku", kata orang itu
Aku dan istriku ditahan di dalam besi yang tak berudara
Bertahun-tahun aku menjual diriku pada dunia
Agar negeriku bebas dari para penjajah yang busuk
Aku lari dengan sekuat tenaga, nafas tersengal-sengal, kaki tersandung-sandung sambil menggendong merah putihku
Untuk ku terbangkan ke singgasana Tuhanku
"Merdeka...! Merdeka...!"
Aku berteriak sampai tenggorokanku lepas dari leherku
Melambaikan tangan dengan bendera yang telah aku jahit
17 Agustus ‘45 presidenku membacakan bukti kemerdekaan dengan proklamasi
Dengan secarik kertas yang diambil dari sakunya
Aku bicara pada anak-anakku yang sudah mulai bisa bicara
"Nak, tolong beri makan dan rawat negeri ini,
Jangan kalian kotori dengan kemunafikan dan kecerobohan
Agar negeri ini harum tanpa kebusukan!"
0 Komentar