Like Us Facebook

Cerpen: Takdir Tuhan Tak Pernah Salah


 

Jika memang kita dihadapkan dengan jalan buntu, bukankah kita bisa mencari jalan lain?



Oleh: Abdul Khalim

“Apakah dia baik-baik saja mbak?” 

“Alhamdulillah dia baik-baik saja bu.”

“Jadi begini mbak, persyaratannya apa saja ya, mbak?”

“Hanya kurang fotokopi akta kelahiran dan ijazah terakhir.”

“Baik mbak, nanti saya kirimkan.”

“Baik, Bu.”

“Nanti saya ingin mengobrol dengan Nayla. Boleh, kan?”

“I..iya boleh, Bu.”

“Dibawah bimbingan Anda, saya yakin Nayla akan menjadi juara.”

“Iya Bu. Minta doa dan dukungannya semoga lancar dan hasil maqshud.”

“Amin….Ya sudah. Terimakasih ya, Mbak. Assalamu’alaikum”

“Sama-sama, Bu. Wa’alaikumussalam.”

Seseorang menutup ponsel. Ia mejamkan matanya. Sekilas ia teringat dengan kejadian itu. Kejadian yang mengingatkannya akan momentum yang membuatnya sadar terhadap pentingnya bersyukur.


***


Matahari mulai menepi, wajah yang tadinya jelas mulai berubah menjadi siluet. Di samping jendela, seorang perempuan berjilbab tertunduk di atas meja kecilnya yang terbuat dari kayu. 

Namanya Farah. Wajahnya penuh keringat sebesar butir jagung, mengucur deras dan melunturkan make-upnya. 

Tepat di sampingnya, wanita lain menatapnya dengan wajah cemas. Dia Rahma, teman yang selalu di sampingnya.

“Aaaaahhhh! Why?! Kenapa harus aku?” Bentaknya melempar pensil yang tadinya ia ikatkan di lengannya, membuat ujung pensilnya patah.  “Aku ragu kata orang Tuhan itu adil.” Imbuhnya.

Febi menyeka peluh, memberi bercak putih ke bajunya yang kebetulan berwarna hitam. “Kenapa?” tanyanya pada Rahma yang ada si sampingnya dengan air mata yang mulai menggenang. “Ada yang salah?!”

Rahma mengangkat kedua tanganya, memberi maksud bahwa ia tak tahu jawaban apa yang paling tepat.

Kini Febi kembali menunduk berusaha agar suara tangisannya tak menyebar ke seluruh ruangan. 

Saat Febi meringkuk dengan segala keputusasaannya, diam-diam Rahma mengamati karya-karya yang telah dibuat oleh Febi. 

    Rahma tersenyum. Berbagai macam kaligrafi Arab sengaja Febi pasang agar dapat dinikmati oleh orang lain. 

    Namun, itu minggu lalu, sebelum sebuah insiden menimpanya. Tangan kanan Febi terpaksa harus diamputasi karena ia mengalami kecelakaan ketika berangkat ke pondok pesantren. 

    Harapannya sekejap hilang ketika ia tahu bahwa tangannya harus diamputasi. Ia tak lagi dapat menciptakan goresan indah kaligrafi ke depannya. Tak ada yang dapat ia lakukan. Hampa.

Karena bingung, Rahma berpindah haluan. Kini ia mengambil tumpukan piagam penghargaan yang telah Febi masukkan ke dalam kardus. Banyak sekali piagam. Beberapa bahkan tertulis tingkat Nasional. 

“Rahma!” Bentak Febi yang matanya terlihat semakin memerah.

Rahma menoleh dengan wajah datarnya.

“Sudah kubilang jangan dekati tumpukan sampah itu!” Imbuh Febi dengan nafas tersengal. Secepat kilat Febi menarik kardus, menutupnya, melemparnya jauh-jauh lalu kembali meringkuk. 

Rahma mendekat ke arah meja, mengambil secarik kertas dan pensil yang telah patah ujungnya. Ia memiringkan kepala dan menekuk bibir bawahnya, menulis sesuatu sambil sesekali tersenyum. 

Sabar, Feb..

Sebenarnya banyak yang ingin ku katakan padamu. Tapi kamu tahu sendiri kan, Aku bisu.

Jadi gini, Feb..

Sekuat apapun kita, kita tak dapat melawan kehendak Tuhan. 

Jika memang kita dihadapkan dengan jalan buntu, bukankah kita bisa mencari jalan lain?

Feb…

Aku rindu bacaan al-Qur'an yang sering kau lantunkan ketika menulis kaligrafi.

Boleh kan aku mendengarnya sekali lagi?

Rahma menyodorkan tulisannya. Awalnya Febi menolak membaca. Bukan tanpa sebab, namun karena Febi masih terlalihkan dengan rasa tak terimanya terhadap takdir. 

    Merasa tak diperhatikan, Rahma menarik salah satu kaligrafi yang tertempel di dinding. Ia menariknya dengan paksa sampai-sampi suara selotip yang terlepas terdengar sangat keras. Alhasil Febi menoleh.

Tepat di depan Febi, Rahma menyobek kaligrafi milik Febi menjadi beberapa bagian. 

“Rahma!” Teriak Febi. 

Febi dengan cepat mencengkeram tubuh Rahma. Sekuat tenaga Febi mencoba menghentikan apa yang Rahma lakukan pada karyanya. 

    Febi berusaha menghentikannya karena itu adalah karya terbaik miliknya. Sebuah kaligrafi surat ar-Rohman yang ia tulis menggunakan Khot Tsulusy. 

“Rahma! Hentikan!” Karena Febi kini hanya memiliki satu tangan, Febi tak mampu menahannya. 

    Akhirnya, kini salah satu karyanya telah menjadi potongan-potongan kecil yang berserakan di lantai. 

    Febi kembali menangis, menutup wajahnya dengan salah satu sudut kerudungnya.

Rahma sama sekali tak merasa bersalah. Justru ia mengambil salah satu spidol permanen. Lalu dengan sigap, ia menulis sesuatu di dinding kamar. 

Selang beberapa menit, Febi mendapati Rahma sudah tak ada di depannya. Kini matanya tertuju pada tulisan yang Rahma tulis di dinding. 

    Ia mengejanya dengan mata yang telah membengkak,

فباي الاء ربكما تكذبان

    “Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan?” (Q.S. ar-Rohman: 16)

    Febi memegang tulisan itu. Perasaannya mengalir bersama dinginnya dinding. 

    Mata Febi tertuju pada satu tulisan kecil tepat di bawahnya. Takdir Tuhan tak pernah salah. Febi paham maksud Rahma.


***


Febi masih terpejam sambil terus saja menelisik jauh ke dalam ingatannya.

     “Assalamu’alaikum”, Seseorang mengejutkan Febi.

    “Nayla! Eh, Wa’alaikumussalam. Oh iya ini ibu kamu ingin ngobrol.” 

    Febi mengucek matanya sebentar lalu menyerahkan ponsel yang sempat ia genggam di tangan kirinya. 

    Nayla meraihnya. “Terimakasih, mbak.”

    Belum sempat Nayla membuka ponsel, Febi tersenyum lalu berkata, “Jangan lupa. Nanti sore kita latihan lagi. Lomba tilawah tinggal menghitung hari loh.”

    Nayla cengengesan. “Iya Mbak.”

    Nayla membuka ponsel. Terlihat wallpaper foto Rahma dan Febi. Terlihat tangan kiri Febi memegang piala juara satu tilawah tingkat Nasional. 


Purworejo, 21 Agustus 2022

Posting Komentar

0 Komentar