Like Us Facebook

Cerpen: Pulang

 



Pikiranku terbang, mengingat betapa dahulu daku berjuang mati-matian untuk menghafalkan al-Qur’an. Selalu membawanya setiap saat. 

 


Oleh: Irwan Asnawi

“Ana, jangan lupa, nanti malam, pukul 02.00 kita harus terbang ke Singapore. Menyelesaikan masalah dengan keluarga Doflaminggo”. Suara dari ujung sana mengakhiri pembicaraan singkat kami.


* * *


    Langkahku mulai gontai, Aku lelah. Dengan terhuyung-huyung kulangkahkan kaki meninggalkan limusin menuju rumah peninggalan ayahku.

    “Selamat malam, Nyonya. Kamar sudah saya siapkan. Air hangat sudah siap. Lengkap dengan menu makan malam, nasi goreng kesukaan Nyonya”. Sambut Hindun, pelayanku sepuluh tahun.

    Gelap. “Aneh, tak biasanya gelap begini” Gumamku dalam hati.

    Kuhidupkan lampu, lalu kupaksakan tubuhku berjalan menuju tempat tidur, ingin rasanya langsung memejamkan mata. Kulihat jam menunjukkan pukul 11 malam.

“Masih ada waktu”. Gumamku lirih.

     Aku beranjak menuju meja kerja. Menghidupkan laptop. Mengambil foto Ayah dan Ibu. Keluarga kecil kami.

    “Ayah, aku lelah dengan semua ini. Seperti ada yang hilang dalam hidupku. Rutinitasku, rasanya hampa. Namun, apa itu, Ayah?”


Baca Juga: Cerpen: Parto dan Lila Menggapai Tuhan


* * *


    Aku mulai menangis. Tak sengaja, mata ini terjatuh pada sebuah amplop merah.

    “Apa ini?”                                                   

    Surat untuk Ana kecilku. Dari siapa? Sejak kapan surat ini di sini?

    Kubuka perlahan lahan.


    Dear Ana kecilku yang kusayangi.

    Sayang,

    Tahukah Engkau bahwa Aku pernah menjadi pujaan orang-orang? Di setiap tempat, di setiap waktu, selalu ada yang menyebutkan namaku. 

    Namaku begitu populer, hingga jika ada orang yang tak mengenalku, maka dia akan dianggap bodoh, sangat bodoh. 

    Aku juga pernah menjadi idola, mengalahkan Cristiano Ronaldo yang baru saja menjadi perbincangan publik saat dirinya sukses mengantarkan timnya menjadi juara Liga Champions musim ini. Kau juga begitu kan? Pernah menjadi pengagum dan pemujaku.

    Masih ingatkah Engkau, saat kita berduaan di bawah pohon mangga? Saat kau sentuh diriku dengan lembutnya. Menciumiku saat hendak beranjak. 

    Masih ingatkah Engkau, saat kau marah melihatku yang tergolek lemah, terbujur lemas di lantai dan tak ada yang menolong, padahal di sana berkumpul banyak orang?

    Kau yang dulu dengan tegas bilang “Aku tak akan melupakanmu, kan kujaga Engkau dengan jiwa dan ragaku saat kelak kau jadi milikku”. 

    Namun, di manakah sekarang janji manismu itu, Ana?

    Aku bangga saat melihatmu kini menjadi perbincangan banyak orang, namamu diagung agungkan. Kau yang selalu sibuk dengan tumpukan pekerjaan pekerjaan. 

    Namun, saat itu pula aku bersedih. Kau mulai melupakanku.

    Keberadaanku di sisimu mulai dianggap tak ada. Bahkan menyapa pun tak mau. Apakah karena keadaanku yang tak seindah dulu lagi ataukah Aku yang tak seharum dulu? 

    Atau mungkin, kau telah menemukan yang lain, An? Entahlah, Aku enggan menerka-nerka. 

    Aku ingin dibelai-belai seperti dulu, menemanimu saat kau gundah gulana, saat kau butuh sandaran, saat kau ingin menumpahkan segala penat pekerjaan. 


Baca Juga: Cerpen: Number One

 

   Aku ingin seperti dulu lagi, tersenyum riang saat kau berjumpa denganku. 

    Masih ingatkah Engkau, saat kita pertama kali berjumpa? Saat kau dengan terbata-bata dalam berucap. Masih ingatkah engkau, saat kau habiskan malam panjang bersamaku, An?

    Aku sadar, kau beranjak dewasa. Aku paham, kesibukanmu bertambah banyak. Klien-klienmu makin memburu di setiap tempat dimanapun kau berada. 

    Namun, bisakah kau sempatkan waktu lagi untuk bermesraan denganku, Ana?

    Aku rindu kau kecil. Saat kau tak malu-malu menyebut namaku dalam keramaian. Engkau yang tak malu-malu mengajakku dimanapun kau berada. Engkau yang akan marah jika ada yang menghinaku. Aku rindu itu.

    Kini, kau yang sudah tenggelam dalam kesibukan mulai ogah-ogahan bersua. Merasa jengah dan tak betah berlama-lama bersama. 

    Kau yang sudah banyak diperebutkan banyak orang dan yang letih saat malam menghampiri, mulai melupakanku yang siap membantumu. Siap menjadi penyejuk hari-hari penatmu.

    Aku ingin menangis, saat melihatmu banyak mendapat fitnah, cobaan, dan omongan menyakitkan dari orang-orang yang tak suka denganmu. 

    Aku ingin membantumu. Sungguh. Namun, mengapa kau tak mau berjumpa, tak mau berduaan denganku kembali?

    Aku merindukanmu, Ana. Datanglah, Aku tak akan marah.


Baca Juga: Cerpen: Kerja Keras

 

* * *

    

    Air mataku mulai tak terbendung. Aku pegang al-Qur’an yang berada tepat di depanku yang mulai usam, tak terawat. Aku menangis sejadi-jadinya.

“Ya Allah, ternyata ini yang selalu menghantuiku tiap malam, yang membuat hidupku hampa, hambar tak berasa. Aku melupakannya” Gumamku.

    Entah siapa yang menulis surat ini. Namun yang pasti, surat ini menyadarkanku. Aku khilaf.

 Pikiranku terbang, mengingat betapa dahulu daku berjuang mati-matian untuk menghafalkan al-Qur’an. Selalu membawanya setiap saat. Teringat saat-saat Aku kritis, tergolek lemah di rumah sakit.

“Ayah, tolong ambilkan al-Qur’an kesayanganku. Aku ingin bersamanya di saat-saat seperti ini”

     Aku malu pada diriku. Aku malu pada Allah. Mengapa Aku seolah-olah melupakannya? Seolah menganggapnya tiada?

    Kembali Aku menangis.


Baca Juga: Cerpen: Ambyar dan sajian cerpen lainnya untuk menjadi teman ngopi, guna mencari inspirasi di rubrik CERPEN.

Posting Komentar

0 Komentar