Waktu memang selalu berjalan, umur memang selalu berkurang. Tapi di lain sisi, itu adalah paradok. Dengan adanya waktu, kita dapat membuat perencanaan. Karena waktu pula, kita tahu arti penyesalan.
Oleh: Abdul Khalim
Bulir-bulir embun di tepi gelas aku perhatikan perlahan mulai membesar lalu bergerak turun menggenang di bawah gelas seiring telingaku mendengar jeritan dan jeratan ide-ide yang selalu lahir berputar dari hulu otakku. Merekah, mekar, lalu mencuat. Namun mereka terlalu banyak.
Semua ide itu bersimpuh di hadapan Mas Gatot. Orang itu melempar tatapan tajam. Hembusan nafasnya berat, seberat beban yang ia berikan ke pundakku. Aku membuang tatapan menjauh darinya.
Nafas berat kembali ia tarik memenuhi paru-parunya. “Ayo besok adalah hari penting! Waktu kita
tak banyak!”
Aku tak peduli. Aku lebih tertarik dengan kuncup-kuncup yang akan mekar. Ia begitu lucu. Entah apa yang aku rasakan. Yang jelas aku dapat menebak apa yang ada di pikiran mereka.
Aku yakin mereka enggan sepertiku, memilih tak mekar, menyelimuti dirinya dengan kelopak hijau agar tak mendengar ucapan Mas Gatot. Aku memutar air dalam gelas dengan sendok. Aku menciptakan satu pusaran.
* * *
Mungkin tadi pikiranku sedikit liar. Bagi pemilik imajinasi, itu
wajar. Kita bisa memberi perumpamaan apa pun yang kita inginkan. Meskipun tak
nyata, tak berbentuk, dan hanya diri kita sendiri yang dapat menikmati.
Seperti magnet, Pak Gatot menarik perhatianku. Tangannya yang
begitu kuat menggenggam sebuah pena besar lalu melemparnya kepadaku.
Eits! Untung saja aku dapat menghindar. “Cepat tulis! Kita butuh konten untuk hari esok!” Sergahnya lalu duduk menumpuk lututnya. Meskipun tak begitu tua, Mas Gatot sudah memiliki jenggot. Jenggotnya panjang menjuntai di sela-sela sarung yang ia kenakan.
Aku memang tak tahu persis wajahnya karena
aku tak berani menatapnya. Aku dapat informasi kerena mendengar cerita dari
kawan-kewan yang senasib denganku. Sama-sama terkekang. Namun aku berbeda
dengan mereka. Aku lebih banyak diam.
Aku berhenti mengaduk. Pusaran secara konstan mulai berkurang
kecepatannya. Air dalam gelas kembali tenang.
* * *
Mas Gatot kali ini mulai tak sabar. Ia mendekat ke arahku. Kali ini aku benar-benar seperti tikus kecil yang siap diterkam kucing besar yang lapar.
“Cepat ambil satu bunga! Aku benar-benar muak denganmu! Kemarin
kamu bilang punya mimpi. Tapi apa yang kamu lakukan untuk mewujudkannya? Omong
kosong! Manusia tak punya tanggung jawab!”
Mendengar kata, “Tanggung jawab”, tubuhku bergetar hebat. Secara tak
sengaja Mas Gatot mengingatkanku pada seseorang yang membuatku masuk ke jurang
ini.
Ingatan itu berbisik kepadaku, “Kau harus tanggung jawab dengan apa yang kamu pilih. Kamu harus memperjuangkan masa depan sastra di sini.”
“Kenapa harus aku?” Tanyaku kebingungan. “Lalu siapa lagi?” “Bukankah masih ada orang lain?”
“Menggantungkan sesuatu pada orang lain hanya akan menimbulkan rasa kecewa. Mulailah dari diri sendiri.”
Sebenarnya ada beberapa alasan kenapa aku memilih jalan ini. Saking banyaknya sampai-sampai sebagian hilang tertumpuk di memori kepalaku.
Di lain sisi, Mas Gatot mendengus. Hembusan nafasnya yang kuat
membuat poniku terurai. Amarahnya terasa sangat kuat. Aku tahu karena jenggot
panas Mas Gatot sedikit mengenai wajahku.
Mas Gatot sebenarnya baik. Ia seringkali memberi semangat untukku.
Tak jarang ia memetik salah satu bunga ketika aku benar-benar kehabisan ide.
Manis terkadang hanya selimut. Kita tak tahu dalamnya seperti apa.
Aku menyeka peluh sebesar biji jagung di dahiku. Air es di depanku
tak dapat menangkalnya.
* * *
Waktu memang selalu berjalan, umur memang selalu berkurang. Itu adalah salah satu motivasi yang Mas Gatot utarakan kepadaku agar selalu menghargai waktu. Tapi di lain sisi, itu adalah paradok.
Dengan adanya waktu,
kita dapat membuat perencanaan. Karena waktu pula, kita tahu arti penyesalan.
Melihatku yang hanya melamun membuang 45 menit yang berharga
baginya, ia mulai tak sabar. Ia mengambil cambuknya. Ini bukan pertama kalinya
Ia marah, puluhan bahkan ratusan kali. Semua bisa kuredam karena aku akhirnya memilih
memetik salah satu bunga sebagai bahan menciptakan karya.
Mas gatot menggoyang-goyangkan cambuknya, bersiap menyiksaku. “Kenapa kamu hanya diam?! Baru kali ini aku mengangkat cambukku. Kamu tahu kenapa?!” Aku menggeleng.
“Bodoh! Besok adalah hari penting bagi negaramu! Hari kelahiran
bangsamu!” Teriak Mas Gatot. Masih dengan nafas yang tersengal berselimut
amarah.
“Lalu kenapa?! Hah?!” Mulutku yang tadinya diam kini mulai tak
sabar untuk membelaku.
“Dengar! Aku telah memberimu ruang. Bunga-bunga ide sudah aku
siapkan untuk hari ini. Kamu tak tahu rasa terimakasih!” Mas Gatot mengacungkan
telunjuknya ke segala arah. “Di luar sana orang-orang banyak kebingungan
mencari persembahan untuk hari ini. Kamu harusnya bersyukur!”
“Aku tahu hari ini istimewa.” Aku memelankan tempo bicara agar Mas Gatot memahami maksudku. “Oke. Aku tahu apa yang kamu inginkan. Kamu ingin aku menciptakan cerpen dengan tema yang sesuai hari ini kan? Aku tahu! Tapi aku memiliki sesuatu yang aku simpan untukmu.
Aku membuka telapak tangan, memperlihatkan bunga yang sudah berwarna gelap. “Bunga ini adalah sebuah ide yang lama terkubur. Bunga pertama yang aku pilih saat itu. Apa kamu ingat bunga ini simbol apa?” Mas Gatot terus saja diam.
“Ini adalah bunga ide yang dulu menjadi harapan. Dulunya aku berharap, di sini diriku akan menemukan kebebasan. Namun sayang. Tempat ini kini seperti penjara.
Aku tak dapat bergerak bebas. Dirimu selalu mengekangku,
memaksaku untuk selalu berkarya. Bukankah manusia memiliki batas. Berilah
mereka sedikit waktu.”
Mas Gatot kini mulai mundur. Terus saja mundur sampai ia kembali terduduk di
singgasananya.
Aku memasukkan kembali bunga layu itu ke saku. Ku hela nafas untuk
mengatur kembali nada bicaraku. “Ada satu hal yang ingin aku katakan padamu.
Ide dapat datang kapan saja. Namun ia harus diramu dengan baik agar tercipta hidangan
yang lezat untuk pelanggannya.”
Aku memutar tubuh berjalan ke pintu keluar. Tepat di bawah pintu, aku merasa iba dengan Mas Gatot.
Ku hentikan langkah sambil berkata membelakanginya, “Aku akan menemuimu kembali ketika aku benar-benar butuh bunga idemu. Namun untuk kali ini, aku ingin istirahat. Jangan lagi kamu paksa aku jika kamu benar-benar paham arti kemerdekaan.”
Sejenak aku melihat Mas Gatot. Ia terlihat tersenyum. “Aku minta
maaf karena telah menilaimu sebagai anak kecil yang butuh suapan. Sekarang kamu
berhak memilih apa yang kamu inginkan.”
Aku memejamkan mata sambil menghabiskan air dalam gelas. Kali ini
aku sungguh lega karena keringat mulai berhenti mengucur.
* * *
Aku melihat kalender. Mataku tertuju pada angka 17 berwarna merah. Tak
berselang lama, ku raih spidol lalu ku tulis tiga kata di tembok kamar dengan
huruf kapital, “KEMERDEKAAN ADALAH K E B E B A S A N”.
0 Komentar