Like Us Facebook

Artikel Kemerdekaan: Perdebatan Sengit Dibalik Gemerlangnya Revolusi Bangsa Indonesia

 




Dalam reformasi, revolusi, perbaikan sistem, perubahan tatanan, baik dalam kalangan komunitas maupun lembaga, harus diwarnai dengan kepedulian dan kepekaan yang diekspresikan lewat ide dan pendapat.




Oleh: Ubaidillah Khobir

Perubahan besar pada bulan Agustus 1945 merupakan tonggak sejarah yang maha penting dalam perjalanan sejarah Indonesia modern.

    Pada saat itu, Perang Pasifik memasuki fase terakhir, seiring dengan kemenangan kekuatan Sekutu di satu pihak dan kekalahan Jepang di lain pihak.

    Di tengah kondisi ketidakpastian dan kekosongan kekuasaan dalam masa transisi kekuasaan dari pihak yang kalah (Jepang) kepada pemenang (sekutu), para pemimpin bangsa Indonesia beserta para pemuda dengan sigap mengisi saat yang genting itu untuk mempersiapkan kemerdekaan bangsanya.

    Pada saat yang genting itulah, tepatnya jam 10.00 pagi hari Jum’at di bulan Ramadhan, Sukarno-Hatta akhirnya berhasil menyatakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.


* * *


Polarisasi Menjelang Kemerdekaan

Selama Juli-Agustus 1945, perbedaan sikap antara pemimpin yang lebih tua dan golongan muda terus berkembang. Perdebatan ini berkisar pada persoalan kemerdekaan seharusnya diperoleh ‘tanpa’ atau ‘dengan’ pemberian Jepang. Hal ini semakin menajam mendekati minggu-minggu pertama Agustus 1945.

Golongan tua -mungkin lebih tepatnya disebut paruh baya- di sekeliling dua tokoh utamanya Sukarno dan Hatta seperti Ahmad Subarjo, Haji Agus Salim, dan tokoh-tokoh senior dalam PPKI mengetahui bahwa pada akhirnya penyerahan kekuasaan secara teratur dari tangan Jepang kepada orang Indonesia hanya tinggal menunggu waktu. Diperkirakan perang akan berakhir selama beberapa minggu lagi.

Paling tidak inilah yang menjadi dasar pendirian para pemimpin yang lebih tua sekaligus sumber perbedaan pandangan mereka dengan kelompok muda radikal yang menghendaki kemerdekaan diproklamasikan secepatnya tanpa kompromi dengan pihak manapun, termasuk penguasa Jepang.

Sedangkan perbedaan ideologis dalam kalangan pemuda diakibatkan gelombang pasang sikap militansi anti-Jepang.

Bertepatan dengan suasana ketidakpastian ini, prestie Sjahrir sebagai tokoh yang menanjak dengan cepat di mata kalangan pemuda yang berbeda aliran itu.

Sebagai seorang politikus berpengalaman, yang menggalang pergerakan bawah tanah selama pendudukan Jepang, perhitungannya lebih bersifat taktis dan menjadi arus utama dalam gerakan pemuda menentang kekuasaan Jepang. 

Perdebatan segera mencuat ke permukaan ketika di Jakarta berkembang desas-desus tentang pengeboman atas dua kota di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki, oleh Amerika Serikat pada 7 dan 8 Agustus 1945, disusul dengan kapitulasi Jepang beberapa hari kemudian, tepatnya 14 Agustus 1945.

Peristiwa-peristiwa dramatis ini menjadi pukulan hebat bagi kelompok pemimpin yang lebih tua, karena semua itu mengacaukan rencana persiapan kemerdekaan yang telah dipersiapkan. Kemudian, mereka, para pemimpin, mengambil tindakan untuk mempercepat rencana persiapan kemerdekaan serta mendiskusikannya dengan pihak Jepang.

Bagi mereka, tindakan provokatif terhadap Jepang dapat berarti malapetaka, bukan hanya ancaman terhadap konsep dan struktur yang telah dirancang sejauh ini, tetapi juga keselamatan jiwa Sukarno dan Hatta. Kedua tokoh ini tentunya akan menjadi korban pertama.

Dalam kalangan pemuda, baik pemuda mahasiswa Asrama Angkatan Baru Indonesia maupun pemuda aktivis di bawah kendali Sjahrir, sepakat bahwa 'kemerdekaan harus bebas dari campur tangan Jepang' sekecil apapun.

Sikap inilah yang kemudian menjadi perhatian di kalangan para pemimpin yang lebih tua, karena sikap dan ideologi ini bertolak belakang dengan golongan tua yang di bawah bayangan tokoh Sukarno-Hatta yang berpendapat bahwa Proklamasi Kemerdekaan harus dibicarakan melalui badan resmi.

Bagi golongan muda khususnya, badan tersebut merupakan bukti ‘keterlibatan’ Jepang atas rencana 'pemberian kemerdekaan'. Karenanya, berbagai pertemuan dirancang dan diadakan oleh para aktivis dari asrama-asrama mahasiswa dengan topik pembicaraan mengenai proklamasi.

Kemudian dilanjutkan pawai melewati daerah menteng guna menyampaikan aspirasi dan hasil rapat kepada Sukarno, Hatta, dan tokoh-tokoh tua lainnya.

Tindakan-tindakan lain pun menyusul, terutama setelah 9 Agustus 1945, seperti rapat-rapat yang sengit diwarnai dengan perdebatan dan argumentasi yang dilontarkan oleh dua pihak, yakni kalangan tua dan kalangan pemuda, dan lain sebagainya. 

Klimaks dari perdebatan ini, salah satunya adalah diculiknya Bung Karno dan Bung Hatta yang kemudian dibawa ke Rengasdengklok.

Penculikan terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945 pagi, sewaktu Bung Hatta hendak makan sahur, Bung Hatta didatangi tokoh pemuda, Sukarni, Dr. Sucipto dkk. “Bung Karno dan Bung Hatta kami bawa ke Rengasdengklok untuk meneruskan pimpinan pemerintah RI dari sana”, dengan tegas Sukarni mengatakannya kepada Bung Hatta.

Proses penculikan secara halus itu berjalan lancar. Hampir sehari penuh Sukarno dan Hatta di tempat itu, para pemuda mendesak dan memaksa Sukarno dan Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Namun, usaha yang dilakukan oleh tokoh pemuda gagal. Sekali lagi, mereka tidak berhasil mendesak dan memaksa agar Sukarno dan Hatta bersedia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia di sana.

Sementara itu, di Jakarta terjadi kesepakatan antara Ahmad Subarjo, wakil dari golongan tua dan Wikana, wakil dari golongan muda, agar proklamasi dilaksanakan di Jakarta. Hal itu didukung pula oleh kesediaan Laksamana Tadashi Maeda untuk menyediakan rumah tinggalnya  sebagai tempat pertemuan dan bersedia menjamin keselamatan mereka. 

Berdasarkan kesepakatan itu, Ahmad Subarjo ditemani oleh Jusuf Kunto, salah seorang tokoh pemuda, pada hari itu juga berangkat menuju Rengasdengklok menjemput Sukarno dan Hatta.

Sewaktu rombongan tiba di Rengasdengklok, hari sudah mulai gelap, sekitar pukul 18.00, di tempat itu pula Ahmad Subarjo berhasil meyakinkan para pemuda bahwa proklamasi akan diumumkan pada 17 Agustus 1945.

Dengan adanya jaminan dari Ahmad Subarjo, akhirnya Sukarno dan Hatta dilepaskan oleh para pemuda dan kembali ke Jakarta. 


* * *


Teks Proklamasi: Kemerdekaan Indonesia

Kesempatan yang amat genting dalam beberapa hari setelah kekalahan Jepang dapat dimanfaatkan oleh pemimpin Indonesia untuk mengambil langkah-langkah dramatis yang maha penting, yakni Kemerdekaan Indonesia.

    Meskipun dalam suasana tegang dan emosional, Hatta masih berusaha meyakinkan para pemuda bahwa ia dan Sukarno masih tetap peka dan rasional. Ketika dituduh oleh kalangan muda bahwa ia tidak lagi seorang revolusioner, Hatta membalas dengan agak marah, bahwa Bung Karno ingin menanggung sebuah revolusi.

    Namun, pertama-tama ia ingin mengaturnya dengan baik. Ia menyatakan bahwa tindakan yang diusulkan pemuda agar mengabaikan PPKI “buatan Jepang” dan mendesak pemimpin segera memproklamasikan kemerdekaan RI tanpa Jepang, bukanlah suatu Revolusi, melainkan merupakan putsch gaya Adolf Hitler di Munich yang gagal pada tahun 1923. 

Pada akhirnya, kepekaan dan tindakan cerdas serta rasional lah yang akan menang. Dengan memanfaatkan hubungan-hubungan baiknya dengan Jepang, Ahmad Subarjo pada malam 16 Agustus 1945 telah meminta jasa baik Laksamana Maeda untuk meminjam rumahnya guna dijadikan sebagai tempat rapat para pemimpin Indonesia yang berhimpun dalam PPKI.

    Dalam memoarnya, Bung Hatta mengenangnya, “Di sana telah berkumpul semua anggota PPKI, ditambah sejumlah tokoh pemuda dan anggota Chuo Sangi-in. Jumlah seluruhnya sekitar 40-50 orang. Di pekarangan dan di jalan sudah banyak pemuda menyaksikan atau menunggu hasil pembicaraan”.

    Sedangkan yang duduk di ruang tamu dengan maksud untuk membuat teks Proklamasi ada lima orang, Bung Karno, Bung Hatta, Ahmad Subarjo, Sukarni dan Sayuti Melik. Tidak seorangpun di antara mereka yang membawa dalam sakunya teks Proklamasi yang telah dibuat pada 22 Juni 1945, yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta. 

Waktu itu, sudah lewat tengah malam, Sukarno mulai dengan usulan untuk mempersilahkan Bung Hatta menyusun teks ringkas Proklamasi, sebab bahasanya dianggap terbaik oleh Sukarno.

Kemudian usulan pertama yaitu kalimat pertama dalam Proklamasi diambil dari akhir alinea ketiga rencana Pembukaan UUD 1945, dan semuanya menyetujuinya.

Oleh karena itu, kalimat pertama berbunyi, “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.”  Kalimat selanjutnya harus dipikirkan Hatta, sebab kalimat itu barulah hanya menyatakan kemauan bangsa Indonesia untuk menentukan nasib sendiri.

Kemudian Sukarno menuliskan kalimat yang didiktekan oleh Hatta dan disetujui oleh Panitia Kecil yang terdiri dari lima orang tersebut. Kalimatnya berisi, “Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.” 

Setelah bertukar pikiran sebentar mengenai teks Proklamasi itu, mereka berlima yang bertindak selaku ‘Panitia Kecil’ dapat menyetujuinya. Tugas mereka selanjutnya ialah membawa teks itu ke ruang tengah, tempat anggota sidang menunggu.

Sukarno yang bertindak sebagai juru bicara konseptor Proklamasi membacakan rumusan teks yang mereka buat perlahan-lahan dan berulang-ulang.

Selanjutnya, mulailah perdebatan tentang teks, bahasa dan isinya serta segala resikonya yang akan timbul sebagai konsekuensinya. Perdebatan terakhir seputar teks Proklamasi berlangsung sampai pukul 03.00 pagi, menjelang fajar pada 17 Agustus 1945.


* * *


Begitulah ringkasnya perdebatan yang terjadi selama persiapan Kemerdekaan Indonesia. Meskipun banyak perdebatan diwarnai permusuhan argumentasi, tapi semuanya satu misi dan motivasi, yakni Menuju Revolusi Indonesia.

    Jadi, dalam revolusi maupun reformasi haruslah terdapat banyak perdebatan dan usulan ide yang harus dimusyawarahkan. Karena, musyawarah itu syarat dengan perdebatan dan perbedaan pendapat.

    Seperti yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi dalam memperjuangkan revolusi India, meskipun berhasil untuk melepaskan bangsanya dari penjajahan Inggris, tapi perdebatan yang terjadi itu berlanjut sampai akhirnya dia terbunuh.

    Nelson Mandela, tokoh revolusioner yang berani dalam mengemukakan pendapatnya dan berdebat setiap ada rapat dengan pemerintah, berujung keberhasilan revolusi yang didapatkan oleh bangsa Afrika Selatan.

    Dibalik kemerdekaan Kuba, ada perdebatan sengit antara Fidel Castro dan temannya, Che Guevara, bahkan dua tokoh tersebut selalu berbeda pendapat, namun tetap dalam satu misi.

    Serta revolusi-revolusi yang selalu diwarnai perdebatan dan perbedaan pendapat, namun justru hal itulah yang membawa pada perubahan nasib dan perbaikan sistem.


* * *


    Bisa kita simpulkan bersama bahwa dalam reformasi, revolusi, perbaikan sistem, perubahan tatanan baik dalam kalangan komunitas maupun lembaga harus diwarnai dengan kepedulian dan kepekaan yang diekspresikan lewat ide dan pendapat.

    Jangan takut untuk mengemukakan pendapat, kritik yang membangun, serta saran kepada pihak manapun yang memiliki kekuasaan namun tidak memiliki kepedulian, atau memiliki hak dan wewenang memutuskan kebijakan, namun tidak memiliki kebijaksanaan.


Posting Komentar

0 Komentar