Masakan tersebut merupakan makanan yang pertama kali dimasak setelah melandanya banjir bandang (thufan) di era Nabi Nuh as.
Oleh: Bagus Akhmad Mustafid
Bulan Muharrom merupakan bulan pertama dalam kalender Hijriyyah, yang telah ditetapkan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khothob ra. dengan berpatokan pada hijrahnya Rosululloh saw. ke Madinah.
Muharrom merupakan salah satu dari empat bulan yang dimuliakan oleh Allah SWT. Bulan tersebut telah melahirkan banyak amalan-amalan yang dianjurkan untuk dilakukan, terutama di hari istimewa bulan Muharrom, yakni hari 'Asyuro (hari tanggal 10).
* * *
Di antara amalan-amalan tersebut adalah puasa 'Asyuro, menyantuni anak yatim, berkumpul dengan keluarga, silaturrahmi, dan sebagainya.
Di negara kita sendiri, bulan Muharrom melahirkan berbagai macam tradisi yang sudah melekat pada masyarakat.
Sebagai contoh, festival Tabuik di Aceh, Kirab Kebo Bule di Surakarta, festival Tabot di Bengkulu dan masih banyak lagi tradisi adat masyarakat Nusantara dalam rangka merayakan tahun baru Hijriyyah tersebut.
Dari berbagai tradisi yang ada, salah satu tradisi yang tak pernah ketinggalan di hari Asyuro adalah hidangan bubur suro, yakni bubur yang terbuat dari biji-bijian seperti beras, kacang, gandum, dll yang kemudian dimasak menjadi bubur.
Hampir di seluruh pelosok daerah di negara kita merayakan bulan Asyuro dengan menghidangkan bubur suro tersebut. Boleh dikatakan, tidak afdhol rasanya jika di hari Asyuro tersebut tidak menghidangkan bubur suro.
Lalu, sebenarnya kapankah sejarah pertama kali dimasaknya bubur suro, dan siapakah yang pertama kali memasaknya?
Berikut kami kutipkan keterangan dari kitab Nihayah az-Zain karya Syekh Nawawi al-Bantaniy al-Makkiy:
Bubur suro tersebut bisa dikatakan merupakan salah satu warisan dari Nabi Nuh as.
Diceritakan bahwa ketika kapal Nabi Nuh as. yang mengangkut kaum Nabi Nuh as. yang muslim berjumlah 80 orang dan semua binatang yang telah berpasang-pasangan berlabuh di daratan gunung Judi, lalu beliau memerintahkan kaumnya untuk mengumpulkan bekal makanan yang masih tersisa.
Kejadian tersebut terjadi bertepatan dengan hari 'Asyuro, setelah mereka berbulan-bulan berada di lautan melawan banjir dan badai yang melanda.
Setelah itu, terkumpullah beberapa biji-bijian (kacang, kedelai, beras, gandum putih, gandum merah).
Kemudian beliau mengutip sebuah sya'ir dari al-Hafidz Ibnu Hajar yang memberikan keterangan mengenai biji-bijian yang dimasak menjadi bubur oleh Nabi Nuh dan kaumnya tersebut:
في يوم عاشوراء سبع تهترس * بر شعير ثم مــاش وعدس
وحمص ولــــوبيا والـــــــفول * هذا هو الصحيح والمنقول
Dari paparan sya'ir tersebut, dapat kita ketahui bahwasannya terdapat tujuh macam jenis biji-bijian yang digunakan beliau dan kaumnya dalam memyajikan bubur tersebut.
Ketujuh macam jenis tersebut adalah gandum, sya'ir (jenis gandum), masyi (nama biji-bijian), 'adas (jenis biji-bijian), kacang putih, kacang polong, dan kacang brul.
Kemudian setelah semuanya terkumpul, Nabi Nuh memerintahkan kaum beliau agar biji-bijian tersebut dimasak menjadi satu dan setelah matang dihidangkan lalu dimakan bersama-sama.
Masakan tersebut merupakan makanan yang pertama kali dimasak setelah melandanya banjir bandang (thufan) di era Nabi Nuh as.
Dari peristiwa tersebut, kaum muslimin menjadikan bubur suro menjadi tradisi yang dihidangkan di setiap hari Asyuro bulan Muharrom. Biasanya, bubur tersebut nantinya dimakan bersama dan dibagikan kepada orang fakir dan miskin.
Dengan demikian, tradisi tersebut memberikan pemahaman terhadap kita mengenai pentingnya bersyukur atas pemberian nikmat dari Allah SWT dan rasa manusiawi, saling merasakan bahagia terutama kepada kaum yang tidak mampu.
Wallahu a'lamu bishshowab
0 Komentar