Like Us Facebook

Cerpen: Kerja Keras

 


Ini nikmat dari Tuhan, di luar sana, banyak orang yang hanya demi sesuap makanan rela menahannya berminggu-minggu bahkan menjual diri.



Oleh: Irwan Asnawi

“Ayo Nak, lebih cepat lagi!” Suara emak sudah mulai tinggi. Dengan postur tubuhku yang mungil, membawa kayu bakar seberat lima puluh kilo, melewati jalan naik turun sepanjang sepuluh kilometer.

    Dapat kau bayangkan sendiri bagaimana keringatku saat ini. Namun, lihatlah emak, di usianya yang semakin tua, beliau masih begitu semangat. “Emakku memang hebat”, gumamku dalam hati.


* * *


Aku sejak kecil memang terlahir dari keluarga yang sederhana. Walau perkebunan dan peternakan melimpah ruah.

“Mengapa kehidupan ini seperti tak adil ya, Mak?” tanyaku suatu hari. “Aku tak terlahir dengan sempurna seperti teman-temanku, aku juga seperti tak punya bakat seperti Andi yang jago berenang, atau seperti Riski yang pandai berhitung, atau mungkin seperti Mikail yang jago menyanyi, atau mungkin macam Jarwo yang jago usil bikin keributan di kelas?”

“Kau harus ingat Le, hidup ini sendiri adalah anugerah, jangan kau sia-siakan. Kau harus bekerja keras. Terkadang dalam ketidaksempurnaan terdapat keindahan.

Kau tahu, kerja keras dapat mengalahkan bakat ketika yang berbakat tak bekerja keras”, jawab emak tempo hari.

Entah faham atau tidak, aku malah terus memakan ubi yang baru emak masak. “Aw!! Panas Mak”, sambil memuntahkan ubi, Aku berteriak.

Emak hanya tersenyum, lalu memungut ubi yang kumuntahkan. “Kenapa diambil Mak? Bukankah itu menjijikkan?” tanyaku tanpa dosa.

“Ini nikmat dari Tuhan, di luar sana, banyak orang yang hanya demi sesuap makanan rela menahannya berminggu-minggu bahkan menjual diri.” Tanpa memperdulikan emak yang masih menasihatiku, kulanjutkan menyantap ubi yang sudah mulai dingin.


* * *


Begitulah, dengan di rumah hanya berteman dengan emak, aku bertahan hidup. Bapak dan kakak-kakakku semuanya sudah meninggal. Kecelakaan sewaktu bekerja. Alhasil, hanya kami berdua yang menghuni rumah ini.

Di desaku yang notabene jauh dari hiruk-pikuk perkotaan, masih terdapat banyak anak-anak. Walau jika ingin sekolah, harus ke luar kecamatan.

Pernah aku bertanya pada emak, “Mengapa harus susah-susah sekolah Mak? Bukankah enak bekerja, hasilnya nyata. Bisa makan ubi tiap hari, makan ikan tiap hari, bekerja sambil bermain.

Daripada sekolah, bergelut dengan buku, perjalanannya jauh, di sana hanya diajarkan menulis, bercerita. Tidak ada asyik-asyiknya Mak.”

Emak yang tadinya masih membersihkan ubi untuk makan malam kita, memilih untuk menghentikannya, berbalik arah, “Kau tahu Nak? Mengapa sampai sekarang kita hanya makan ubi-ubi saja?

Mau ke kota harus mengumpulkan uang yang banyak terlebih dulu, mau beli baju baru harus menunggu satu tahun sekali. Padahal, lihatlah, kita punya perkebunan yang luas, kita punya peternakan yang banyak?”

“Mungkin karena Emak tak jual tu kebun untuk beli baju baru”, jawabku polos.

“Itu mungkin salah satunya, Nak. Namun, ada satu alasan yang lebih kuat dan mendasar.” Kini raut muka emak mulai berubah, seperti ada sesuatu yang hebat yang ingin beliau sampaikan.

“Apa itu Mak?” Aku mulai mendekat, seolah tak ingin satu kata pun terlewatkan begitu saja.

“Karena kita kurang berilmu, kita kurang pengetahuan. Kita boleh punya segalanya, namun jika tak dibumbui dengan ilmu, segala yang kita punya perlahan-lahan akan meninggalkan kita.

Di kehidupan nanti, akan banyak orang yang hanya ingin mementingkan diri sendiri, menipu sana-sini hanya untuk memuaskan nafsu belaka. Emak tak ingin kamu besok jadi korban kebiadaban mereka, cukuplah emak. Kamu tidak.”

Kini aku terdiam. Seolah faham dan mengerti. “Sudah sana, ambil ubi yang di bawah rumah, bawa ke sini biar emak yang bersihkan.”

Aku masih terdiam, mencoba memahami kata-kata emak barusan. “Hey, Nak…!” Emak mencoba menegurku. “Eh, iya Mak, apa?” Emak hanya tersenyum.


* * *


Sejak itu, aku selalu bekerja keras, walau satu buah tanganku tak ada, aku selalu bekerja keras. Bahkan setelah bersekolah di kota kabupaten, semakin banyak yang mengolok-olok ketidaksempurnaan tanganku ini.

“Hey Dekil, bisa apa kau di sini. Dengan satu tanganmu itu, tak mungkin kau dapat bertahan lama di sini. Tak malukah kau, hah!”

Awalnya aku ingin marah. Namun, salah satu temanku mengingatkan, “Tak usahlah kau marah begitu, tak usah balas dendam.

Jika kau benar-benar ingin balas dendam, balaslah mereka dengan prestasi yang gemilang, karena itu benar-benar dapat membungkam mereka.”

Aku mulai faham. Namun, itu tak mudah. Berkali-kali aku gagal dan berkali-kali pula mereka mengolok-olokku.

Aku ingin menangis, “Emak, aku ingin pulang”, gumamku lirih dalam sebuah do’aku.


* * *


“Hey, ngelamunin apa Loe, lagi galau nih ceritanya? Ada banyak klien tuh nunggu di luar, temuin gih, sebelum mereka bosan menunggu.” Sardi, temanku sejenak membuyarkan kenangan masa laluku.

Aku mulai beranjak, menepis segala rasa bersalahku pada emak. Aku mulai faham dengan nasihat-nasihat emak tempo dulu yang amat kerap aku abaikan.

“Eyalah, tadi ngelamun, sekarang di depan klien masih aja ngelamun. Loe sakit?” Sardi kembali mengingatkanku.

Aku tersenyum. Beralih pandang ke klien pertamaku hari ini, “Jadi, apa masalah yang tengah bapak hadapi? Kami siap membantu. Permasalahan tuntas, Anda dijamin puas.”

Sardi menghela nafas. Beranjak meninggalkanku yang mulai tenggelam dalam percakapan panjang.


Posting Komentar

0 Komentar