Kejadian tadi Shubuh membuat mentalku untuk bertahan di pondok menjadi luntur, namun seketika itu juga wejangan orang tuaku menepisnya.
Oleh: Abdul Khalim
Shubuhhh!!!! Duar! Duar! Duar!
Mendengar kegaduhan di luar, membuatku terbangun secara tiba-tiba.
Ku pandangi sekelilingku, baru satu atau dua anak beranjak dari tidur nyenyak mereka, ada juga anak yang hanya menggeliat, bahkan ada anak yang justru menarik kembali selimut yang sempat lepas ketika tidur.
* * *
Yups, ini hari pertamaku hidup jauh dari orang tua, dunia maya, termasuk jauh dari kebebasan bermain. Kucoba melihat jam di dinding kamar meski keadaan mata belum sepenuhnya jelas untuk melihat.
“Alamak! jam segini dah disuruh bangun”, ucapku dalam batin ketika melihat jam masih menunjukkan pukul 04.30 pagi.
“Hei kamu yang dipojok! Cepat wudhu!” teriak salah satu orang berbadan besar sembari mengacungkan jari ke arahku.
Terpaksa aku bangun, entah karena takut atau memang kemauan diri sendiri. Kulepas jaket dan kutaruh di gantungan baju yang terbuat dari kayu.
Sebab mataku masih belum sempurna untuk melihat, secara tidak sengaja aku menabrak pintu lemari temanku yang tidak ditutup waktu ditinggal.
Belum habis di situ, ketika aku ingin mengambil sandal di rak, alangkah terkejutnya diriku, sandalku hilang! sungguh apes nasibku di hari pertama mondok.
“Kau melihat sandalku Yog?” tanyaku pada Yoga. “Sandalmu hilang?” Ia justru balik bertanya. “Iya, padahal aku ingat betul kutaruh di sini!” ucapku sambil menunjukkan tempat terakhir sandalku berada.
“Hahahaha, paling digondol kucing Sam”, ujarnya terkekeh. “Aku serius Yog!” melotot mataku melihat Yoga yang mulai bercanda.
“Hehe maaf, aku bercanda”, tangannya menepuk bahuku, lalu menambahkan, “Sabar Sam, mungkin lagi dipinjem temen, nanti juga pasti balik, kok”.
“Ya wes nek ngono, pancen santri iku kudu sabar”. Kuhela nafas dalam-dalam dan mulai berangkat ke tempat wudhu dengan kaki telanjang.
Kejadian tadi Shubuh membuat mentalku untuk bertahan di pondok menjadi luntur, namun seketika itu juga wejangan orang tuaku menepisnya.
Karena orang tuaku pernah berucap kepadaku, ”Nak, kalau kamu di pondok jangan sampai menyalahkan keadaan!”
“Hei, kau anak baru di sini?” seseorang memanggilku dari arah belakang.
“Iya mas, ada apa?”
“Orang tuamu tak mengajarimu sopan santun?! Haaahhh?!!” Matanya melotot seakan hampir keluar.
“Enak saja mas kalo ngomong! Emang apa ada yang salah dariku?!” Aku pun ikut melotot ke arahnya.
“Kau tahu kan, kalo lewat depan orang yang lebih tua harus nunduk??!”
“I..iya mas, maaf, saya lupa”, Jawabku sambil menggaruk kepala, meski tak gatal.
* * *
Kulihat ia diam sejenak, lalu pergi begitu saja tanpa meninggalkan satu patah kata pun. Aaahhh!! Malang benar nasibku hari ini, belum genap satu hari sudah bertemu beragam cobaan.
Sungguh kehidupan di pondok pesantren tak seindah yang kubayangkan, mungkin karena diriku yang terlalu larut di dunia maya.
Memang keinginan masuk ke pondok bukan atas perintah orang tua, namun atas kemauanku sendiri, dan semua itu aku putuskan setelah aku melihat sebuah postingan akun resmi sebuah pondok pesantren yang menggambarkan indahnya kehidupan di dalamnya.
Di hari pertama ini kebetulan aku dapat tempat duduk di sebelah Yoga, sahabat pertamaku di penjara suci.
Di balik kebisingan kelas, aku berbisik kepada Yoga, “Yog, aku berubah pikiran”. Apa maksudmu?” tampik Yoga. “Aku mau out dari sini”, Jawabku dengan mengeluh.
“Haaaa??!! Serius?” seketika seisi kelas menatap ke arah kami berdua karena suara Yoga yang begitu lantang.
“Ssssttt... jangan keras-keras kalo ngomong.” Ku tepuk bahunya dengan keras.
“I... iya maaf Sam.” Kulihat Yoga tolah-toleh salah tingkah melihat seisi kelas menatapnya, lalu menambahkan perkataannya, “Kok bisa Sam? Setahuku keinginanmu mondok datang dari dirimu sendiri.”
“Iya, memang benar apa yang kamu katakan, tapi melihat kenyataan yang ada telah membuatku berubah pikiran.” Ku coba menjelaskan alasanku.
“Ah, kau ini, jangan ngaco!” Ucapnya sambil mengerutkan dahi.
Perbincanganku dengan Yoga terhenti ketika seseorang dengan jenggot tebal masuk ke kelas, tak salah lagi dia guru di sini.
Aku menimang-nimang kembali perkataanku tadi pagi, untuk saat ini perkataan orang tuaku seakan tak aku hiraukan. Sampai akhirnya aku memutuskan menemui Mas Edo, pembimbing kamarku.
Di depan kamar, aku melihat Yoga duduk bersandar tembok, mulutnya komat-kamit melafalkan nadzom. Sepertinya kegiatan Yoga terganggu ketika aku melintas di depannya, Yoga menatapku dengan tatapan terheran-heran.
“Mau kemana Sam?”
“Mau ke kamar Mas Edo”, Jawabku singkat.
“Oohh, kirain mau ke mana.” Yoga kembali melanjutkan hafalannya tanpa memperdulikan diriku.
* * *
Langkahku terhenti ketika sampai di depan sebuah kamar kecil sederhana terbuat dari bambu, memang sederhana namun terlihat bersahaja.
Ku tengok di dalam, Mas Edo sedang asyik membolak-balikkan lembar demi lembar sebuah kitab yang lumayan tebal. Ku lihat tangannya dengan lihai mengartikan lafal demi lafal.
Sempat singgah di batinku rasa canggung untuk memanggilnya, namun dengan segera aku menepisnya.
“Assalamualaikum...!” “Waalaikumsalam...! Eh Hisyam , monggo mlebet.” Maklum kalau Mas Edo tahu namaku, soalnya dialah yang dulu menerima kehadiranku untuk pertama kalinya.
“Mas Edo, ada hal yang ingin aku tanyakan.” Mas Edo menutup kitabnya, “Silahkan! Mau bertanya apa?” “Apakah saya boleh bertemu kedua orang tuaku?” memang sedikit berat aku mengucapkannya.
“Loh... mau ngapain?” Dia balik bertanya kepadaku. “Saya ingin keluar dari sini.” “Ealah, memangnya apa yang membuatmu ingin keluar dari sini?” Mas Edo kembali melontarkan pertanyaan kepadaku.
“Saya merasa tak kuat dengan keadaan di sini, banyak sekali musibah yang menimpaku, mulai dari barang hilang, dimarahi guru, disentak kakak kelas, dan masih banyak lagi.”
“Sini Dek Hisyam, Mas Edo mau cerita.” Ujarnya sembari membenarkan posisi duduknya.
Kemudian melanjutkan pembicaraannya, “Cobaan yang sekarang menimpamu mungkin masih seukuran kuku jari kelingking, itu belum seberapa dengan rintangan yang dulu menimpa saya, masih ada ratusan bahkan ribuan, mulai dari uang saku yang minim, tekanan hafalan yang mungkin dapat dikatakan mustahil, dan masih banyak lagi, namun semua itu Mas Edo lalui dengan hati yang ikhlas, kamu tahu tidak? Justru semua halangan itu yang menjadikan Mas Edo sekarang dapat menikmati hasilnya.”
“Tapi Mas, semua orang kan nggak mungkin sama”, ucapku menanggapi perkataan Mas Edo.
“Perkataan yang bagus.” Seketika Mas Edo mengacungkan jempolnya ke arahku, “Dek Hisyam akan tahu jawabannya ketika sudah belajar dengan giat, maka dari itu, cobalah bersabar untuk sementara ini.”
* * *
Entah kenapa, jawaban Masa Edo membangkitkan kembali semangatku. Ia menambahkan, “Ingat Dek Hisyam, pondok pesantren adalah tempat di mana rahasia-rahasia ilmu akan terbuka, dan cobaan yang sekarang menimpamu merupakan salah satu jalan untuk menemukannya.” Tegasnya.
“Baiklah Mas, akan saya coba, sebelumnya saya minta maaf telah mengganggu kegiatan Mas Edo.” “Iya, nggak masalah, lain kali kalau punya masalah jangan sungkan-sungkan main ke sini lagi.”
“Nggeh Mas, saya permisi dulu, Assalamualaikum!” “Waalaikumsalam!” Jawabnya sembari membuka kembali kitabnya.
Seiring langkahku menuju kamar, batinku berkata, “Lemah sekali diriku! hampir jatuh sebab hantaman kerikil kecil.”
3 Komentar
Salah satu tugas pengurus adalah membuat para santri betah di pondok. Jangan sampai terjadi, santri tidak betah gara² masalah kamar.
BalasHapusSilakan buat mereka bahagia, nyaman, dan betah di pondok.
Dan untuk membuat mereka bahagia dan nyaman itu sangat kompleks, bila dilihat dari latar belakang mereka masing-masing yang tentunya berbeda satu sama lain.
HapusSelamat belajar untuk semuanyaa, semoga lancar selalu.
Wahai para pejuang, kami titipkan buah hati kami, untuk mengikuti jejakmu yang hebat, agar kelak mampu menjadi pejuang andalan dalam agama, sebagaimana pejuang-pejuang mursyid yang terdahulu dan yang sekarang.
BalasHapus