Tidak ada ulama’ yang mengingkari akan kebolehan tawassul dengan menggunakan amal sholeh. Malah, tawassul model ini lebih besar peluangnya untuk diterima dan terkabulnya harapan.
Oleh: M. Ryan Romadhon
Banyak kalangan yang keliru dalam memahami esensi tawassul. Padahal apabila seseorang memahami esensi tawassul, ia tidak akan mudah menuduh syirik ataupun kafir pada orang lain, karena orang yang melakukan tawassul juga memiliki dasar yang kuat dan kokoh, baik dari al-Qur'an maupun Hadits, jauh dari perbuatan syirik, bid’ah dan sesat seperti yang mereka tuduhkan selama ini.
* * *
Pada rubrik kajian Fiqh "Tawassul: Esensi, Pro-Kontra dan Hukumnya (Part 1)", sudah dipaparkan bagaimanakah sebenarnya esensi dari tawassul.
Pada kesempatan kali ini, kami akan mencoba memaparkan bentuk-bentuk tawassul yang mana ada sebagian ulama' yang menyepakatinya, ada juga yang tidak. Untuk lebih detailnya, simak paparan berikut ini.
Bentuk-bentuk Tawassul
1. Bentuk yang disepakati ulama'
Adapun bentuk tawassul yang telah disepakati oleh para ulama’ adalah tawassul dengan menggunakan amal sholeh.
Tidak ada ulama’ yang mengingkari akan kebolehan tawassul dengan menggunakan model ini. Malah tawassul model ini lebih besar peluangnya untuk diterima dan terkabulnya harapan.
Model tawassul dengan menggunakan amal sholeh ini dapat
digambarkan dengan semisal ketika ada seseorang yang berpuasa, sholat, membaca
al-Qur’an atau bersedekah berarti ia secara tidak langsung telah bertawassul
dengan menggunakan ibadah puasa, sholat, bacaan al-Qur’an, dan sedekah yang
telah dilakukannya tersebut.
Sedangkan dalil diperbolehkannya tawassul dengan menggunakan amal sholeh adalah sebuah hadits yang mengisahkan tiga lelaki yang terperangkap dalam goa.
Lelaki yang pertama bertawassul dengan pengabdiannya kepada kedua orangtua, lelaki yang kedua dengan tindakannya menjauhi perbuatan zina setelah kesempatan itu terbuka lebar, sedangkan lelaki yang ketiga dengan sikap amanah serta menjaga harta orang lain dan menyerahkan seluruhnya kepada orang lain tersebut.
Lalu, setelah mereka bertawassul menggunakan amal sholeh mereka
masing-masing, Allah pun menyingkirkan persoalan yang mendera mereka.
2. Bentuk yang tidak disepakati ulama'
Adapun bentuk tawassul yang menjadi perbedaan antar ulama' (ada yang memperbolehkan ada juga yang melarang bahkan menganggapnya sebagai sebuah praktik syirik) adalah tawassul dengan menggunakan selain amal orang yang bertawassul, seperti bertawassul dengan menggunakan dzat ataupun seseorang, dengan -semisal- berkata:
اللّهُمّ إنّيْ أتَوَسّلُ
إلَيْك بِنَبِيِّكَ مُحَمّد
Artinya: "Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu, dengan
Nabi-Mu, Nabi Muhammad saw."
Tawassul dengan menggunakan model seperti ini adalah tawassul yang
dilarang oleh sebagian ulama' (ada yang membolehkan, adapula yang melarang).
0 Komentar