Pengaitan praktik tawassul dengan kemusyrikan adalah sesuatu yang tidak berdasar dan terkesan berlebihan. Pasalnya, dengan empat poin tersebut praktik tawassul tidaklah mengandung syirik sama sekali.
Banyak kalangan yang keliru dalam memahami esensi tawassul. Padahal apabila seseorang memahami esensi tawassul, ia tidak akan mudah menuduh syirik ataupun kafir pada orang lain, karena orang yang melakukan tawassul juga memiliki dasar yang kuat dan kokoh, baik dari al-Qur'an maupun Hadits, jauh dari perbuatan syirik, bid’ah dan sesat seperti yang mereka tuduhkan selama ini.
* * *
Dalam rubrik kajian Fiqh kali ini, kami mencoba memaparkan kajian mengenai tawassul, mulai dari esensi, pro-kontra ulama’ mengenainya, sampai hukumnya. Paparan tersebut kami nukilkan dari kitab Mafahim Yajibu An Tushohhaha, karya ulama’ Ahlussunnah wa al-Jama’ah kontemporer, Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki.
Esensi Tawassul
Dalam memulai pembahasan mengenai tawassul, Sayyid Muhammad bin
‘Alwi al-Maliki mengawalinya dengan memaparkan beberapa poin mengenai esensi
dari tawassul, sebagaimana paparan berikut:
- Tawassul adalah salah satu metode berdo'a dan salah satu pintu dari beberapa pintu untuk menghadap Allah Swt. Adapun maksud (yang dituju) sesungguhnya adalah Allah, sehingga objek yang dijadikan tawassul hanya berperan sebagai mediator untuk mendekatkan diri kepada Allah. Artinya, tawassul masih berada dalam lingkaran ibadah kepada Allah yang disebut do'a. Siapapun yang meyakini di luar batasan ini berarti ia telah musyrik.
- Orang yang melakukan tawassul tidak bertawassul dengan mediator tersebut kecuali karena ia memang mencintainya dan meyakini bahwa Allah juga mencintainya. Jika ternyata penilaiannya keliru, niscaya ia akan menjadi orang yang paling menjauhi dan membencinya.
- Jika orang yang bertawassul meyakini bahwa media yang dijadikan untuk bertawassul kepada Allah itu bisa memberi manfaat dan derita dengan sendirinya sebagaimana Allah atau tanpa izin-Nya, maka ia telah jatuh dalam kemusyrikan.
- Tawassul bukanlah sesuatu yang harus dilakukan dan terkabulnya do’a tidaklah ditentukan dengannya. Artinya, ijabah sebuah do'a tidak bergantung sama sekali pada tawassul atau tidaknya seseorang. Ijabah do’a merupakan hak mutlak Allah Swt, sebagaimana firman Allah:
وَإِذَا سَأَلَكَ
عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang
Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan
orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu
memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar
mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. al-Baqoroh: 186)
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ
أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ
سَبِيلًا
Artinya: “Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah ar-Rahman
dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-Asma’ al-Husna
(nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu
dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua
itu.” (QS. al-Isro': 110)
* * *
Dengan demikian, pengaitan praktik tawassul dengan kemusyrikan
adalah sesuatu yang tidak berdasar dan terkesan berlebihan. Pasalnya, dengan
empat poin tersebut praktik tawassul tidaklah mengandung syirik sama
sekali.
0 Komentar