Mudik santri ke kampung halaman sebagai momen merehatkan diri dan meleburkan rindu kepada orang tua, kerabat, mungkin juga tetangga dekat, juga memiliki makna tersirat dan tersurat.
Oleh: Bagus Akhmad Mustafid
Menjelang hari raya, jalan-jalan dipenuhi kendaraan, begitu juga orang-orang berjual beli di pasar, toko, dan mall tempat perbekalan lebaran.
* * *
Apalagi ditambah dengan nuansa tawar-menawar antar pembeli dengan penjual yang berlangsung dramatis.
Sesaat sebelum hari raya, di Indonesia biasanya ada dua perkara yang unik dan menjadi tradisi & budaya yang sama-sama mengandung nilai positif, namun tidak juga menjadi sebuah keharusan, yakni mudik dan baju baru.
Mudik bagi seorang perantau bertujuan untuk meleburkan kerinduan atau sekedar bersua cerita dengan keluarga, teman, tetangga atau mungkin calon kerabat.
Begitu juga baju baru bagi masyarakat umum seakan sudah menjadi sesuatu yang tak boleh ditinggalkan.
Tidak mau ketinggalan dari para perantau, mudik santri ke kampung halaman sebagai momen merehatkan diri dan meleburkan rindu kepada orang tua, kerabat, mungkin juga tetangga dekat, juga memiliki makna tersirat dan tersurat.
Makna Tersurat dan Tersirat dari Mudik dan Baju Baru Santri
Makna tersirat mudik santri adalah pulang dengan niat ziarah (mengunjungi) dan silaturrahmi kepada orang tua.
Seperti layaknya ziarah dan silaturrahmi pada umumnya, meminta doa dan restu orang tua menjadi tujuan utama mengawali langkah kaki dari gerbang pesantren menuju kampung halaman dan di kemudian hari kembali ke pesantren.
Namun, hal itu kadang terlupakan bukan? Bahkan banyak dari santri ketika pulang kampung di hari libur, dia sudah mempunyai planning dengan teman sebayanya, yang lebih parah belum sampai rumah sudah temangsang di tempat orang.
Eh, besok mau liburan kemana, berapa pangkat game kamu? liburan mabar yuk! dsb.
Mungkinkah hal tersebut bisa dikatakan tujuan? Silahkan renungkan kembali!
Sedangkan makna tersurat mudik santri ke kampung halaman ialah membawa oleh-oleh, baik untuk dirinya maupun orang lain, yang telah didapatkan selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun di pesantren.
Oleh-oleh tersebut menjadi tolak ukur santri dalam mereprentasikan dirinya sebagai santri.
Mulai dari “Apakah dia bisa membawa amanat sang kyai? Apakah dia bisa menjaga almamater pesantren? Bagaimana dia bergaul? Bisakah dia mengajak orang dalam kebaikan, dsb”.
Hal-hal tersebut merupakan tolak ukur santri di kampung halaman masing-masing.
Sehingga dalam hal ini, tutur kata, perilaku dan akhlak santri menjadi cermin yang akan menilai dia telah menjadi santri seutuhnya atau hanya nama yang melekat dalam kartu tanda santri (KTAS).
Perlu dipahami, liburnya pesantren bagi santri akan menjadi manifestasi santri di daerahnya masing-masing.
Ambil contoh, di hari ied santri pulang, namun ketika di rumah dia kadang tidak mendengarkan nasehat orang tua, yang mana seharusnya hal tersebut akan menjadi do'a.
Sebab dia tidak mendengarkan, maka do'a tersebut akan lebur bahkan menjadi laknat, na’udzubillah!.
Atau ketika di luar rumah dia berperilaku layaknya anak (semisal anak punk, mabuk, nggembel dsb) yang tidak mendapatkan didikan rohani.
Maka, hal tersebut bukanlah contoh manifestasi santri. Pada akhirnya, contoh tersebut hanya mencoreng citra orang tua dan almamater pesantren.
Singkatnya, makna mudik bagi santri adalah waktu singkat pengejawentahan santri menjadi santri yang seutuhnya dan siap dihadapkan di khalayak masyarakat umum.
Kemudian tradisi unik memiliki baju baru di momen hari 'Ied seakan sudah menjadi tradisi, juga tidak bisa dikatakan hal yang negatif.
Kecuali memang ada tujuan semisal, menyombongkan diri atau pamer kekayaan. Memiliki baju baru adalah bentuk kebahagiaan dan rasa syukur kepada Allah atas kenikmatan yang diberikan setelah melewati satu bulan penuh berpuasa.
Bagaimana tidak, di hari kemenangan dan kebesaran ini, umat Islam berbondong-bondong rapi mengagungkan kebesaran Allah, salah satunya keluar menuju masjid dengan fashion yang rapi dan menawan.
Hal tersebut akan menjadikan rasa bangga dan senang atas apa yang telah dikaruniakan.
Sebagaimana wajarnya orang tua bersedih sebab tidak dapat membelikan baju baru bagi anak-anaknya.
Bagi santri, baju baru bukan hanya sekedar membeli baju di pasar, toko atau mall dengan diwarnai dramatisnya tawar-menawar, namun keadaan baju baru santri secara dzohir dan batin.
Sehingga, jika saat santri mudik tidak membawa kedua baju tersebut, seharusnya dia akan bersedih hati dan merasa tidak pantas mendapat panggilan santri.
Dimana keadaaan dzohir dan batin santri selayaknya pakaian, akan menjadi ikon yang mewarnai kehidupan dengan Sang Pencipta atau sesamanya.
Disebutkan di atas bahwa santri pulang membawa oleh-oleh dari pesantren.
Oleh-oleh (baik itu ilmu pengetahuan, akhlak, adab dan tutur kata) inilah yang dikatakan baju baru yang dia beli semasa di pesantren dengan mahar ta’lim wa ta’allum (ngaji dan mengajar).
Sebagaimana kebanyakan orang ketika akan membeli hp, pasti akan memilih hp dengan sparepart dan casing yang bagus dan keren.
Begitu juga santri, dari oleh-oleh tersebut akan menjadi baju yang menghiasi dirinya nanti secara dzohir dan batin.
Sebelum mengakhiri, mengutip afirmasi yang sering terdengar ketika menjelang lebaran hari ied, berbunyi:
ليس العيد لمن لبس الجديد، إنما العيد لمن طاعاته تزيد، ليس العيد لمن تجمل باللباس والركوب، إنما العيد لمن غُفرت له الذنوب، في ليلة العيد تفرق خلع العتق والمغفرة على العبيد، فمن ناله منها شيء فله عيد، وإلا فهو مطرود بعيد
0 Komentar