Like Us Facebook

Artikel Pesantren: Dandani Niatmu!


 

al-Mukarrom al-Ustadz Hasan bin Agil Ba'abud dalam banyak kesempatan, terutama saat ada hal-hal yang kurang tepat dilakukan oleh seorang santri, beliau dawuh, "Dandani Niatmu!".



Oleh: M. Hanif Rahman

Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia ini dibuktikan dengan sejarah pesantren yang sangat panjang.

Memang belum ada penelitian yang menemukan data valid mulai kapan pesantren  itu ada.

Ada yang menyebutkan bahwa founding father-nya pesantren di Indonesia adalah Sunan Ampel dengan pesantren Ampel Denta-nya di Surabaya.

Melansir dari Rebulika.co.id Yang pasti, ketika zaman penjajahan Hindia-Belanda, lembaga pendidikan pondok pesantren mulai bermunculan di masyarakat Jawa.


* * *


Belakangan, muncul pendapat yang mengatakan, bahwa pesantren tertua di Indonesia adalah Pondok Pesantren Tegalsari di Ponorogo.

Konon, lembaga ini pertama kali berdiri pada tahun 1724. Hal ini didasarkan pada survei yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada akhir abad ke-19.

Martin Van Bruinessen berpendapat bahwa pesantren telah ada pada abad ke-18.

Namun, ungkap Bruinessen, sebelum abad ke-18 atau sebelum berdirinya Pesantren Karang (Tegalsari), belum ada lembaga yang layak disebut sebagai pesantren.

Yang ada, kata dia, hanyalah tempat pengajaran perseorangan atau biasa dan tidak terstruktur.

Eksistensi pesantren masih terjaga hingga saat ini. Kontribusi kaum santri dalam bidang sosial keagamaan pun tak terhitung jumlahnya untuk bangsa dan negara ini, baik pra kemerdekaan atau pasca kemerdekan.

Sebagai peruntukanya yang terbesar pesantren adalah tempat tafaqquh fiddin; yakni tempat mempelajari dan memperdalam ilmu agama.




Idealnya, dalam pesantren tidak ada hal-hal yang bertentangan dengan tujuan besar di atas dan melarang hal-hal yang berpotensi mengurangi atau bahkan menghilangkan tujuan utama pesantren.

Ini bukan berarti pesantren harus menutup diri dengan kemajuan teknologi dan pengetahuan.

Justru ini merupakan tantangan pesantren untuk tetap menunjukan eksistensinya di era modern, juga untuk membekali santri supaya siap terjun di masyarakat dan tidak ada lagi stigma bahwa santri itu kolot, katrok dan lain-lain. 

Faktanya, kaum santri kini ikut serta mewarnai dalam segala sektor kehidupan mulai dari petani, teknokrat, pengusaha, seniman, ilmuan, akademisi dan lain sebagainya.

Kenyataan ini secara jelas membuktikan bahwa stigma kaum santri adalah orang-orang kolot, katrok dan tidak punya masa depan kemungkinannya hanya menjadi kiai adalah salah besar. 

Harus kita akui dalam kehidupan bermasyarakat yang dibutuhkan tidak hanya orang yang pandai mengaji dan santri tidak harus jadi kiai, sedangkan kiai haruslah santri.

Dalam dunia pesantren memang tidak melulu soal mengaji, banyak aspek yang kompleks di dalamnya ada kepengurusan, keorganisasian, kesenian, pembangunan dan pelayanan-pelayanan lainnya.

Satu hal yang tidak boleh hilang dari santri adalah niat, tentunya niat tafaqquh fiddin bukan yang lainnya.

Mungkin karena sering terlalaikannya niat ini, beliau al-Mukarrom al-Ustadz Hasan bin Agil Ba'abud dalam banyak kesempatan, terutama saat ada hal-hal yang kurang tepat dilakukan oleh seorang santri, beliau dawuh, "Dandani Niatmu!".

Kalimat tersebut memang singkat, namun jika dirasakan, maknanya luas.

Kalimat ini seakan menghajar seluruh apa yang ada dalam pikiran dan perilaku kita yang sedang jauh atau lalai dengan niatan awal.

Bagi santri yang berpikir (kritis), pasti ia akan me-refresh pikirannya dan akan menemukan bahwa dirinya adalah santri yang kedatangannya ke pondok tidak lain dan tidak bukan hanya untuk mengaji dan mengabdi guna menggapai ridho illahi.




Ironis memang, jika di pesantren santri bebas sesuka hati untuk tidak mengaji dengan alasan ini itu, tugas dan lain-lain alasan dibuat.

Santri dalam konteks ini biasanya adalah anak yang belum menyelesaikan jenjang pendidikannya (Tsanawiyyah dan Aliah).

Sekalipun itu, memang benar-benar tugas seharusnya tidak dikerjakan di jam belajar.

Tidak seharusnya hal terpenting dan menjadi prioritas utama (dalam hal ini adalah belajar) dikorbankan untuk hal-hal lain yang bersifat tambahan sekalipun hal itu juga penting.


Sebagaimana dikatakan oleh ulama Ushul Fiqh,


إِنَّ عَلَى الْمُجْتَهِدِ أَنْ يَبْحَثَ عَنْ مُعَارِضِ الدَّلِيلِ الَّذِي لَاحَ لَهُ

"Mujtahid itu harus meneliti dalil yang tampaknya bertentangan"


Ungkapan di atas memerintahkan kita untuk bersikap menimbang-nimbang (muwazanah) di antara macam-macam kebaikan serta kewajiban untuk menelitinya, supaya sesuatu yang paling penting tidak luput untuk lebih diutamakan. 

Selain santri harus pandai-pandai menimbang apa yang seharusnya menjadi prioritas utama kemudian diejawantahkan dalam tindakan, pembimbingan dan pengontrolan dari pengurus kamar dan orang tua adalah sebuah keniscayaan tersendiri.

Jangan sampai santri terlena atau bahkan cenderung memanfaatkan kesempatan dengan mengkambing hitamkan tugas-tugas pesantren yang diberikan sebagai kedok untuk tidak mengikuti kegiatan.

Adapun yang mempunyai kendali dan kontrol hal tersebut adalah pengurus kamar sebab semua hal  tersebut ada di lingkungan pesantren.  

 Ada baiknya wali santri ikut serta mengontrol dan meneliti putra-putrinya di pesantren, jangan mudah bangga ketika anaknya di pesantren menjadi anak yang penting, menjadi ketua IPNU/IPPNU misalnya, atau organisasi lainnya.

Jangan sampai nantinya menyesal ternyata anaknya tidak bisa mengaji oleh sebab fokusnya ke hal yang lain, bukan ngajinya.

Prestasi-prestasi semacam itu, jika dianggap prestasi, hanyalah prestasi semu yang tidak akan lama, sedangkan kebodohan akan melekat selamanya.

Jika memang perlu, wali santri berhak untuk melarang putra-putrinya untuk terlibat dalam hal-hal yang kontra dengan tujuan utama mengirim putra-putrinya ke pesantren.

Tentu ini bukan bermaksud membunuh kreativitas anak, melainkan untuk mengarahkan kepada yang lebih baik dan substantif.  

Sering terdengar perkataan, "Alhamdulillah, dia yang di pondok dulu nakal, gak pernah ngaji, gak rajin, dll, sekarang menjadi kiai, banyak muridnya".

Hal demikian, menurut kami adalah tidak tepat dan bukan sesuatu yang perlu disyukuri, melainkan tepatnya dibacakan istirja' (inna lillahi wa inna ilaihi ro'jiun), karena sejatinya adalah musibah bukan nikmat, sebab ilmu itu hanya bisa didapat dengan belajar.

Sebagaimana hadits Nabi yang berbunyi,


إن أَحَدًا لَمْ يُولَدْ عَالِمًا وَإِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ

"Tidak ada satupun orang terlahirkan pandai, ilmu didapat hanya dengan belajar" 

Tidak bisa dibayangkan, jika mengajarkan agama tanpa ilmu, kemungkinan besar malah akan menyesatkan. Na’udzubillahi min dzalik!.


* * *


Tentu hal ini tidak berlaku bagi santri yang masih terus belajar dan tidak gegabah dalam memutuskan hukum yang tidak diketahui.

Waktu tidak lagi akan kembali, kesempatan dapat belajar di pesantren adalah nikmat yang luar biasa yang harus disyukuri dengan giat belajar selagi masih muda dan sempat, jangan sampai menyesal di akhirnya.

Hal ini sangat relevan dengan wasiat sahabat Umar ra. beliau berkata,


تَفَقَّهُوا قَبْلَ أَنْ تُسَوَّدُوا

Belajarlah ilmu sebelum kau menjadi pemimpin

    Tentunya jika sudah menjadi pemimpin, selain waktu dan kesempatannya terbatas, kemungkinan lainnya ia akan merasa malu untuk belajar menghadap para pengajar ilmu, sehingga ia akan tetap dalam kebodohannya. 


Wallahu a’lamu bishshowab 

Posting Komentar

1 Komentar