Like Us Facebook

Artikel Islami: Benarkah Kita Diwajibkan untuk Menceritakan Nikmat yang Telah Diterima?

 



Dengan penjelasan tersebut, apakah bisa ditarik kesimpulan bahwa kita wajib menceritakan nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita sebagai bentuk syukur atas nikmatnya? Tentu saja tidak serta merta demikian.

 


Oleh: M. Hanif Rahman

Saat ini, dimana segalanya serba online diantara sisi positifnya adalah memungkinkannya saling sapa dan berbagi kebahagiaan dengan sanak, kerabat, dan relasi yang berada nan jauh di sana dengan sangat mudah, bahkan bisa setiap waktu mengetahui kabar mereka. 


* * *


Sering kita jumpai sebagian dari mereka selalu menebar kebahagiaan dengan dalih mengabarkan kebahagiaan adalah bentuk mensyukuri nikmat, dengan menyebutkan ayat 11 dalam surat ad-Dhuha yang berbunyi,


وَاَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

 

Artinya: “Terhadap nikmat Tuhanmu, nyatakanlah (dengan bersyukur).” (aḍ-Ḍhua [93]:11)


Baca Juga: Artikel Islami: Benarkah Semua Hasil dari Usaha itu Rezeki?


Benarkah kita diwajibkan menceritakan semua nikmat yang telah diterima?

Sebenarnya, bagaimanakah penjelasan ayat tersebut? Benarkah kita diwajibkan untuk menceritakan nikmat yang telah kita terima dari-Nya?

 Memang secara sekilas ayat tersebut mengindikasikan perintah untuk menyatakan nikmat sebagai bentuk syukur atas nikmat-Nya. 

 Syekh Nawawi al-Bantani dalam tafsirnya Maroh al-Labid (2/642) mengutip perkataan dari Imam Mujahid, bahwa yang dimaksud dari frasa “nikmat” dalam ayat tersebut adalah al-Qur'an. 

 Sedangkan makna dari “mengabarkanya” ialah dengan cara membacanya. Diriwayatkannya juga bahwa nikmat yang dimaksud ialah kenabian, yang berarti, “Sampaikan (wahai Muhammad) apa yang telah Tuhanmu turunkan kepadamu.”


Baca Juga: Artikel Islami: Mengapa Islam Diseru dari Makkah?


Syekh Ibnu ‘Asyur menjelaskan bahwa nikmat yang dimaksud pada ayat tersebut tidaklah terkhusus pada nikmat tertentu, melainkan yang dikehendaki adalah semua jenis nikmat, dan memberikan faidah umum. 

Sehingga maksud dari ayat tersebut adalah,


 حَدِّثْ مَا أَنْعَمَ اللَّهُ بِهِ عَلَيْكَ مِنَ النِّعَمِ

Artinya: "Ceritakanlah (wahai Muhammad) apa saja dari nikmat yang telah Allah berikan kepadamu".


   Dalam ayat tersebut terdapat sighot amar (bentuk perintah) dimana pada teori dasarnya, shigot amar adalah bentuk ungkapan yang menunjukkan kewajiban. 

   Dengan demikian, Nabi yang menjadi khitob dalam ayat ini wajib menjalankan apa yang menjadi perintah-Nya. 

  Adapun untuk umatnya juga berlaku sama, dalam hal-hal yang bersifat wajib, selama tidak ada petunjuk yang menunjukkan bahwa perintah tersebut khusus untuk Nabi Saw saja.

Syekh al-Qurthubi dalam tafsirnya (Juz. 20, Hal. 102) menjelaskan terkait khitob dalam ayat tersebut sebagai berikut,

وَالْخِطَابُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَالْحُكْمُ عَامٌّ لَهُ وَلِغَيْرِهِ

Artinya: “Khitobnya adalah Nabi, adapun hukumnya berlaku umum untuk Nabi juga selainnya (umatnya)”.


Baca Juga: Bahtsul Masa’il sebagai Aktualisasi Ijtihad Ulama


Dengan penjelasan tersebut, apakah bisa ditarik kesimpulan bahwa kita wajib menceritakan nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita sebagai bentuk syukur atas nikmatnya? Tentu saja tidak serta merta demikian.

    Terkait dengan hal itu, Syekh Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya at-Tahrir wa at-Tanwir (Juz. 30, Hal. 403-405) menjelaskan bahwa kewajiban menceritakan nikmat sebagai bentuk syukur atas nikmat yang diberikan merupakan kewajiban bagi Nabi. 

   Hal tersebut karena Nabi adalah sosok yang maksum/terjaga dari sifat riya' dan tidak akan ada orang yang menduga sifat demikian kepada Nabi. Dengan demikian kewajiban menceritakan nikmat bagi Nabi adalah pasti.

   Adapun bagi umatnya, terkadang dengan menceritakan nikmat dikhawatirkan justru merupakan bentuk riya' dan sombong. 

    Selain itu, terkadang juga, sikapnya itu mencabik-cabik perasaan orang lain yang tidak mendapati nikmat sepertinya. 

    Nah, disini lah ruang untuk meninjau kembali antara melakukan tahadduts bi an-ni’mah atau mencegah untuk tidak melakukannya.

  Jalan penyelesainya ialah dengan mengkompromikan (jam'u) hal tersebut, jika memungkinkan atau mengunggulkan salah satunya. 

    Semisal hanya menceritakan kepada orang-orang yang dapat dipercaya atau orang terdekat kita (saudara). Sebagaimana riwayat dari Imam Hasan bin Imam Ali ra. beliau berkata,


إِذَا أَصَبْتَ خَيْرًا أَوْ عَمِلْتَ خَيْرًا فَحَدِّثْ بِهِ الثِّقَةَ مِنْ إِخْوَانِكَ

Artinya: “Jika engkau memperoleh atau melakukan kebaikan, maka ceritakanlah itu kepada orang yang dapat dipercaya dari sebagian saudaramu”.


   Hampir senada dengan Imam Hasan bin Ali ra. Imam Fakhruddin ar-Razi juga berkata,

 

 إِلَّا أَنَّ هَذَا إِنَّمَا يَحْسُنُ إِذَا لَمْ يَتَضَمَّنْ رِيَاءً وَظَنَّ أَنَّ غَيْرَهُ يَقْتَدِي بِهِ

Artinya: “Hal ini hanya bagus jika tidak mengandung unsur riya' dan adanya praduga bahwa orang lain akan mengikutinya”.


* * *


Walhasil, dapat ditarik kesimpulan bahwa ayat tersebut tidak serta merta mewajibkan kita untuk selalu menceritakan kebahagiaan atau nikmat lainnya kepada orang lain. 

   Bisa jadi yang dianggap bentuk syukur nikmat, justru adalah dosa yang diperbuat sebab riya', berbangga diri, sombong, atau bahkan bisa menjadikan perasaan orang lain menderita sebab tidak mendapatkan nikmat yang sama. 

   Ada baiknya dipertimbangkan terlebih dahulu, sebab kita bukan Nabi yang maksum.

 

Wallahu a’lamu bishshowab

Posting Komentar

0 Komentar