Syekh Nawawi Banten dan para muridnya selalu menyebarkan faham moderat di Indonesia, terutama KH Hasyim Asy’ari, founder Nahdhatul Ulama.
Oleh: Amin Ma’ruf
Terbentuknya suatu budaya tentu melalui proses yang panjang. Di negara tercinta kita ini, sangat kaya akan budayanya. Adanya ormas seperti Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah juga lahir dari rahim asli Indonesia.
Artinya, kedua ormas ini, meskipun memiliki kekhasan
masing-masing yang berbeda, namun keduanya
sama-sama merupakan
produk budaya Indonesia.
* * *
NU memiliki khoshoish (ciri-ciri) fikroh (pemikiran) yang sangat luhur, sebagaimana tertuang di dalam keputusan Muktamar NU ke-27 tahun 1984, yakni tawassuth, i’tidal, tawazzun, dan tasamuh.
Tawassuth dan i’tidal artinya sikap menjunjung tinggi berlaku adil di tengah-tengah kehidupan bersama yang plural, dan menghindari segala bentuk sikap ekstrim.
Tawazzun artinya sikap seimbang dalam berkhidmah. Seimbang dalam dua dimensi hablum minalloh dan hablum minannas. Artinya, antara urusan ibadah kepada Allah SWT. dan sikap sosial kepada sesama manusia harus sama-sama dijalankan dengan baik dan seimbang.
Terakhir yaitu sikap tasamuh, yakni toleran terhadap perbedaan, baik dalam masalah keagamaan, kemasyarakatan, maupun kebudayaan.
Khoshoish ini merupakan ciri khas NU yang sungguh luar biasa dan sangat bermanfaat dalam kehidupan bernegara terutama di Negara tercinta ini.
KH Zulfa Mustofa, Waketum
PBNU saat ini menggubah sya’ir yang
khusus menguraikan khoshoish ini di
dalam al-Mandzumah an-Nawawiyyah:
وحبذا الطريقة النهضية * تهدي الى فكرتها السامية
تـوسـط تـوازن اعتـدال * تسـامــح فادر كـما يقــال
“Sungguh luar biasa ajaran NU
* yang menunjukkan kepada pemikiran yang mulia
Yaitu tawassuth, tawazzun, i’tidal * tasamuh, maka ketahuilah,
seperti halnya disampaikan.”
(KH Zulfa Mustofa, Tuhfah al-Qoshi wa ad-Daniy, [Jakarta Selatan: Mayang Publishing, 2021] hlm. 9).
Yang jadi pertanyaan, dari mana dan dari siapa fikroh (pemikiran) semacam ini diwariskan, yang kemudian menjadi khoshoish NU dan diresmikan dalam Muktamar ke-27 tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kita ketahui dulu bahwa pemikiran semacam itu tidak mungkin hasil dari ruang kosong, pasti hasil dari pemahaman yang mendalam atas ajaran agama, sebagaimana disampaikan oleh KH Zulfa di dalam masterpiece-nya, Tuhfah al-Qoshi wa ad-Daniy:
فالوسطية في
شخص وفي مذهب من المذاهب لا تنال عند الشيخ نووي إلا بالعلم والعمل. فكثرة العلم
يوجب التسامح والإعتدال والتوازن, فهذه الثلاثة هي نفس التوسط أو الوسطية
“Sikap moderat pada pribadi
seseorang atau suatu madzhab menurut Syekh Nawawi al-Bantaniy, tidak dapat diperoleh tanpa ilmu
dan amal. Luasnya ilmu akan memberi konsekuensi sikap tasamuh, i’tidal,
dan tawazzun. Ketiga ini lah
yang dimaksud sikap tawasuth sebenarnya, atau sikap moderat.” (KH Zulfa Mustofa, Tuhfah
al-Qoshi wa ad-Daniy, [Jakarta Selatan: Mayang
Publishing, 2021] hlm. 191 ).
Lantas, siapakah yang mewariskan fikroh ini? Jawabannya adalah Syekh Nawawi al-Bantaniy dan para muridnya, terutama KH Hasyim Asy’ari.
Beliau-beliau lah yang tanpa lelah menyebarkan fikroh ini sampai menjadi mapan dan
terbentuk sebuah organisasi keagamaan bernama Nahdhatul Ulama, yang hasil dan ajarannya dapat
kita rasakan saat ini.
والنووي مع
تلامذته ما زالوا في نشر هذا المنهاج الوسطي في إندونيسيا حيث أن تلامذته أسسوا
المنظمات الإسلامية وجعلوا الوسطية من أهم مبدء منظماتهم لا سيما تلميذه الشيخ
هاشم أشعري مؤسس نهضة العلماء
“Syekh Nawawi Banten dan para muridnya selalu menyebarkan faham moderat di Indonesia, hingga para muridnya mendirikan organisasi Islam yang menjadikan prinsip moderat sebagai prinsip organisasi, terutama KH Hasyim Asy’ari, founder Nahdhatul Ulama.” (KH Zulfa Mustofa, Tuhfah al-Qoshi wa ad-Daniy, [Jakarta Selatan: Mayang Publishing, 2021] hlm. 191 ).
Wallohu a’lamu bishshowab
0 Komentar