Like Us Facebook

Pendidikan Ala Pondok Bulus



Selain menjadikan kitab kuning sebagai kurikulum, Ponpes Al-Iman juga memberikan penekanan pada para santri dalam hal kitab-kitab yang mereka kaji.



Oleh: Sa'ad Lufthi 

Pondok Pesantren, lembaga pendidikan yang menjadi tempat fokus memperdalam ilmu agama, dengan segala keunikannya terkenal dalam melakukan pemeliharaan literatur klasik. 


* * *


Istilah klasik merujuk pada periode sejarah Islam abad pertengahan, terutama pada sekitar abad ke-13 sampai abad ke-19 Masehi. 

    Literatur klasik ini oleh kalangan masyarakat pesantren dikenal dengan istilah kitab kuning. 

    Dalam praktiknya, pesantren memiliki otoritas tersendiri dalam memegang komitmen memelihara litertur klasik tersebut. Mulai dari menerapkan sistem kajian, diskusi, hafalan, dll, yang semuanya mengarah ke tujuan tersebut.

    Muhafadzoh atau hafalan yang menjadi salah satu bentuk aplikasi komitmen memelihara kitab kuning, telah lama menjadi salah satu metode belajar yang berlaku di Al-Iman. 

    Terbukti bahwa setiap harinya para santri tidak terlepas dari istilah hafalan mulai dari menghafal Matan Jurumiyah, Nadzom Maqsud, ‘Imrithi, Alfiyah, Qoidah I’lal dll. Ngaji Ndalem yang menjadi ciri khas Al-Iman pun tak lepas dari hafalan. 

    Bahkan beliau, Murobbi Ruhiinaa, dalam memimpin semua jenjang ngaji ndalem tak pernah sekalipun menggunakan kitab. Semua kitab dari semua jenjang beliau hafal. 

    Hal ini tentunya mempunyai makna tersendiri yang memberi penjelasan bahwa hafalan memiliki nilai tersendiri.

    Di beberapa negara Islam, seperti Mesir, Arab Saudi, India, dan negara-negara lain, metode ini digunakan bahkan hingga sekarang. Hafalan sering dikaitkan dengan adagium:


 الحَافِظُ حُجَّةٌ عَلَى مَنْ لَمْ يَحْفَظْ 

"Orang yang hafal menjadi hujjah bagi orang yang tidak menghafal"


    Tradisi ini boleh jadi mengikuti cara-cara yang digunakan ulama Hadits, dimana kuatnya hafalan  seorang perawi sangat mempengaruhi status sebuah hadits. 

    Kita ketahui bahwa Imam Bukhari yang masyhur berhasil menyusun kitab terbaik setelah Al-Qur’anul Karim, beliau menghafal 100 ribu hadits shahih dan menghafal 200 ribu hadits ghoiru shohih. Artinya hafalan sudah menjadi tradisi keilmuan yang bukan baru kemarin muncul.

    Tidak berhenti sampai disitu, selain menjadikan kitab kuning sebagai kurikulum, Ponpes Al-Iman juga memberikan penekanan pada para santri dalam hal kitab-kitab yang mereka kaji, dimana kelengkapan makna pun menjadi salah satu syarat wajib demi melanjutkan jenjang pendidikan ke depan. 

    Metode ini muncul pada awal ditetapkannya Madrasah Diniyah, dimana kelengkapan kitab tidak bisa ditawar keberadaannya. 

    Tujuan dibalik ditetapkannya metode ini memiliki tujuan agar para santri memiliki rasa disiplin ilmu. “Yang sering dingendikakken Ustadz, agar anak-anak disiplin”, ujar Mas Irwan salah satu pengurus di Ponpes Al-Iman ketika dimintai keterangan. 

    Selain itu, kedepannya kelengkapan kitab juga akan diterapkan pada Madrasah Diniyah Malam, meskipun masih sebatas kitab-kitab Nahwu dan Shorof.

    Lebih jauh, kelengkapan makna kitab ternyata juga menjadi tradisi yang melekat di berbagai pondok pesantren salaf. 

    Semisal Ponpes Al-Falah Ploso yang menjadikan kelengkapan makna kitab sebagai satu hal yang sangat penting, di mana setiap kalimat dipastikan kelengkapan maknanya. 

    Dalam beberapa kesempatan, Al-Ustadz bahkan menyampaikan secara langsung agar anak-anak diberi pengertian tentang pentingnya menulis. 

    Hal Ini senada dengan dawuh masyhur yang mengatakan bahwa, “Ilmu adalah hewan buruan, dan tulisan adalah tali kekangnya”. 

    Dari pepatah tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa menulis merupakan satu syarat penting dalam mencapai tujuan mencari ilmu yang benar. 


Posting Komentar

3 Komentar