Like Us Facebook

Artikel Pesantren: Ngaji Sembahyang dan Kitab Fasholatan


Keunikan metodenya ada pada porsi praktik atau aspek psikomotoriknya yang lebih dominan dari pada teori atau aspek kognitifnya. 



Oleh: Taufik Kurakhman

Anak-anak kecil di pelosok desa pada awal ngaji, sembari belajar baca al-Qur’an biasanya diajarkan pula belajar tata cara shalat oleh guru ngaji mereka. 

    Di beberapa wilayah, belajar tata cara shalat ini kerap disebut dengan ngaji sembahyang. Ngaji sembahyang biasa diadakan seminggu sekali, pada malam jum’at, di langgar-langgar atau mushalla pedesaan. Peserta yang turut ikut biasanya adalah anak-anak usia dini. 


* * *


Lantas dari manakah Asal-usul Kata Sembahyang? 

Almaghfurlah KH. Agus Sunyoto, mantan ketua LESBUMI PBNU, pada kesempatan gelaran “Ngaji Budaya” di halaman Pondok Pesantren Al-Hamdaniyah Siwalanpanji, Buduran, memaparkan bahwa istilah sembayang sudah ada sejak masa Wali Songo menyebarkan Islam di Nusantara. 

    Istilah tersebut berasal dari dua kata yaitu “sembah” dan “hyang”. Istilah ini digunakan sebagai sebutan untuk suatu ritual iadah yang dilakukan pada masa itu.

    “Awal mulanya Wali Songo mengajarkan ibadah dan sebutannya bukan shalat, melainkan sembahyang. Modal awal yang dibawa oleh Wali Songo untuk mensyiarkan Islam yakni melalui budaya, ibadah melalui budaya,” papar Kiai Agus Sunyoto. 


Baca Juga: Review Kitab: Lebih Mengenal Kitab Fasholatan


Keunikan & Kelebihan Ngaji Sembahyang

Ngaji yang satu ini juga punya metode yang cukup unik, tidak seperti ngaji-ngaji lain, seperti bandongan atau sorogan. 

    Keunikannya ada pada porsi praktik atau aspek psikomotoriknya yang lebih dominan dari pada teori atau aspek kognitifnya. 

    Anak-anak atau santri yang belajar sholat melalui metode ngaji sembahyang akan langsung disuruh menghafal aneka bacaan sholat serta mempraktikkan gerakan & tempat bacaan yang sudah dihafal, dari mulai takbirotul ihrom sampai salam. 

    Kemudian, sebagai buku panduannya, para guru ngaji biasa menggunakan kitab Fasholatan. Kitab yang satu ini cukup popular digunakan sebagai panduan belajar tata cara sholat atau ngaji sembahyang. 


Baca Juga:  Kegiatan Ngaji Al-Qur’an Ponpes Al-Iman Bulus

   

    Dari sekian banyak kitab Fashalatan, karya dari KHR. Asnawi Kudus-lah yang popular, sering dijumpai dan diguakan saat ini. 

    Isi kitab ini menggunakan dua model penulisan, yakni penulisan bahasa Arab dan Jawa Pegon (bahasa Jawa yang ditulis Arab). 

    Penulisan Arab digunakan untuk penulisan lafaz adzan, bacaan niat wudlu, shalat, doa, ayat-ayat al-Quran, dan lain-lain. 

    Sedangkan penulisan Jawa Pegon digunakan untuk menuliskan penjelasan dan terjemahan dari teks-teks yang berbahasa Arab.


* * *


    Demikianlah bagaimana kitab Fasholatan menjadi kitab yang sangat penting untuk dikaji dan dipelajari. Apalagi dipadu dengan metode ngaji sembahyang yang mengedepankan praktik. 

    Belajar sholat menjadi lebih efektif dan cepat. Tak heran, di banyak daerah, bahkan di pondok pesantren, Ngaji Sembahyang & Fasholatan masih terus ada & dikaji. 

    Termasuk di Pondok Pesantren Al-Iman Bulus. Kitab Fasholatan juga dikaji oleh santri-santri junior kelas 1-2 Tsanawiyyah & Isti’dad pada malam Sabtu. 

Posting Komentar

0 Komentar