Like Us Facebook

Artikel Pesantren: Seberapa Berkah Makananmu?

 

Menyedikitkan makan justru menjadi kunci sehatnya badan dan mencegah datangnya berbagai macam penyakit. Sebab pada dasarnya penyebab adanya penyakit adalah banyaknya makan dan minum. 



Oleh: Taufik Kurakhman

Semua makhluk hidup pasti membutuhkan makan. Termasuk santri yang setiap harinya juga butuh makan. 

    Namun bagi santri, makan bukan sekedar mengenyangkan perut, apalagi meluangkan waktu khusus untuk membeli atau memilih makanan-makanan tertentu yang difavoritkan ala-ala food travellers. 


* * *


Mengatur Pola Makan Ala Kitab Kuning

Santri memiliki etika dan cara tersendiri mengatur pola makan dan mencari keberkahan di dalam makanan, dalam rangka menirakati proses ta'allum yang sedang ia jalani dan memaksimalkan proses transfer ilmu.

  Mengamalkan etika dan mengatur pola makan ala santri based on kitab kuning memang tidak mudah. Sebab santri harus membiasakan diri menahan rasa lapar memperhatikan aspek-aspek tertentu seperti kesehatan, sosial, dan aspek ketaatan. 

    Pengaturan cara makan dan kode etik makan di pesantren sebenarnya (tanpa sadar) terwujud lewat bentuk tirakatan. 

    Tirakat di pondok seperti yang sudah populer wajar biasanya direalisasikan lewat ritual puasa sunah seperti puasa senen-kemis, puasa ndawud, ngrowot, atau mutih. Atau dengan memperhatikan etika-etika yang secara tekstual jelas direkomendasikan oleh  para ulama. 


Baca Juga: Tips & Trik: Tips Cepat Mahir Baca Kitab Kuning


Berikut penulis tulis beberapa diantaranya:

  Hadrotussyaikh, KH. Hasyim Asy'ari, dalam kitabnya, Adabul 'Alim wal Muta'alim, menjelaskan etika makan bagi santri. Spesifiknya pada bab kedua yang menjelaskan etika seorang santri pada dirinya sendiri, yakni seorang santri hendaknya menyedikitkan makan dan minum. 

    Menurut beliau, kenyang adalah faktor penyebab beratnya tubuh untuk melakukan ibadah. Sedangkan menyedikitkan makan justru menjadi kunci sehatnya badan dan mencegah datangnya berbagai macam penyakit. Sebab pada dasarnya penyebab adanya penyakit adalah banyaknya makan dan minum. 

  Selanjutnya, tak kalah elaboratif, etika makan bagi seorang santri juga dijelaskan lewat kitab Syarh Ta'lim Muta'alim. Sebuah kitab yang dikarang oleh ulama Madzhab Hanafiyah, Syekh Burhanudin az-Zarnujiy, namun banyak dikaji di pesantren-pesantren Indonesia yang mayoritas bermadzhab Syafi'iah. 


Baca Juga: Artikel Pesantren: Nderek Kyai, dari Kepribadian Santri hingga Proses Berguru ala Orang Awam


    Dalam bab wara' dijelaskan yang termasuk sikap wara' bagi santri (selain menyedikitkan porsi makan atau taqliil at-tha'aam) ialah tidak memakan jajanan yang dibeli di pasar. 

Sebab menurut Syekh Burhanudin az-Zarnujiy jajanan pasar cenderung tidak higienis, dapat menjauhkan diri dari mengingat Allah Swt. dan membuat seseorang jadi mudah lupa. Mengapa demikian?

   Menurut Syekh az-Zarnujiy, itu terjadi karena hilangnya keberkahan pada makanan yang dibeli dari pasar. 

    Makanan yang dibeli dari pasar dipastikan hilang berkahnya karena saat membeli, akan ada  orang yang melihatnya sekaligus menginginkannya, termasuk orang-orang miskin yang tidak mampu membelinya. 


Baca Juga: Artikel Pesantren: Santri Sehat, Indonesia Kuat

 

   Di sinilah digambarkan seolah-olah sang pembeli jajan atau makanan tidak menjaga perasaan orang-orang kurang mampu yang untuk makan sesuap nasi saja mereka mengalami kesulitan. 

    Bayangkan saja saat teman kita beli jajan enak lewat atau makan di depan kita, tapi kita sedang tidak punya uang. Apalagi kemudian dia ora towo-towo (tidak menawarkan makanannya). Piye perasaanmu? 

    Demikianlah salah satu bagaimana dengan begitu sensitif, Islam mengatur sektor hablum minan an-naas. 


* * *


Seberapa Berkah Makananmu?

   Dari penjelasan ini, semoga menjadi lebih mudah dipahami alasan mengapa larangan belanja di luar selalu diingatkan oleh pengurus. Bukan hanya karena hal tersebut adalah dawuh dari ndalem. 

    Lebih jauh, secara finansial, jika kita belanja di BUMP maka keuntungan yang ada adalah untuk kesejahteraan dan kemajuan pondok. 

    Sedangkan apabila kita makan di ndalem maka kita menyantap makanan yang dimasak dari satu dapur yang sama dengan apa yang di dhahar oleh al Ustadz atau dzuriah beliau. 

    Jadi, keberkahan tidak melulu rebutan bekas makanan atau minuman guru-guru kita. Ada letak keberkahan di sekitar kita yang justru sering disepelekan. 

    Maka, silahkan kalian atur kembali mindset dan kebiasaan kalian. Lalu tentukan sendiri mana yang lebih berkah, belanja dan makan di pondok atau di luar sana?.

Posting Komentar

1 Komentar