Like Us Facebook

Biografi Lengkap Syekh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili

Oleh: Ubaidillah Khobir

     

Melihat pemikiran dan ajaran al-Sinkili, jelaslah bahwa dia secara sadar turut menyebarkan doktrin dan kecenderungan intelektual dalam jaringan ulama untuk memperkuat tradisi Islam di Kepulauan Melayu-Indonesia.


Kehidupan Awal Al-Sinkili

‘Abd al-Ra`uf bin ‘Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkili adalah seorang melayu dari Fansur, Sinkili, di wilayah pantai barat laut Aceh. Tahun kelahirannya tidak diketahui, tetapi Rinkes –salah satu sejarawan– melakukan kalkulasi ke belakang saat kembalinya dari Timur Tengah bahwa beliau dilahirkan sekitar 1024/1615. Menurut Hasjmi –sejarawan Indonesia– nenek moyang al-Sinkili berasal dari Persia yang datang ke Samudera Pasai pada abad ke-13. Lebih jauh, dia mengatakan, ayah al-Sinkili adalah kakak laki-laki dari Hamzah al-Fansuri. Sedangkan Daly –sejarawan dan arkeolog barat– berpendapat sebaliknya, mengatakan bahwa ayah al-Sinkili, Syekh ‘Ali adalah seorang Arab yang setelah mengawini seorang wanita setempat dari Fansur bertempat tinggal di Singkel.

Tampaknya al-Sinkili mendapatkan pendidikan awalnya di desa kelahirannya, Singkel, terutama dari ayahnya. Menurut Hasjmi, ayahnya adalah orang alim yang juga mendirikan madrasah yang menarik murid-murid dari berbagai tempat di Kesultanan Aceh. Kemudian al-Sinkili melakukan perjalanan ke Banda Aceh untuk belajar dengan, antara lain, Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syams al-Din al-Samatrani.

Jelas dalam periode sebelum al-Sinkili berangkat ke Arabia, Aceh ditandai kontroversi dan pertikaian antara penganut doktrin Wujudiyah dan pengikut al-Raniri. al-Sinkili pasti tahu tentang ajaran Hamzah al-Fansuri dan Syams al-Din al-Samatrani serta fatwa dan penganiayaan yang dijatuhkan al-Raniri atas para pengikut mereka. Dia juga memiliki sikap sama terhadap al-Raniri. Hanya saja tidak secara langsung dia mengkritik cara al-Raniri menjalankan pembaharuannya.

    

     Jaringan Arabia Al-Sinkili

Dalam salah satu karyanya, ‘Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufridin, dia memberi kita informasi mengenai tarekat yang dia berafiliasi dengannya, tempat-tempat belajar beliau, guru-gurunya, dan para ulama yang ia temui. Selain saling silang jaringan ulama, dia juga mengungkapkan proses pengetahuan Islam dan keilmuan di kalangan para ulama.

Al-Sinkili belajar di sejumlah tempat yang tersebar di rute haji, dari Dhuha, di wilayah Teluk Persia, Yaman, Jeddah, dan akhirnya Mekkah dan Madinah. Setelah meninggalkan Dhuha, al-Sinkili melanjutkan pelajarannya di Yaman, terutama di Bayt al-Faqih (bin ’Ujay) dan Zabid. Keduanya merupakan pusat pengetahuan Islam terpenting di wilayah ini. Di Bayt al-Faqih, dia belajar terutama dengan para ulama dari keluarga Ja’man. Di antara guru-guru al-Sinkili yang paling penting adalah Ibrahim bin ‘Abd Allah bin Ja’man, terkenal sebagai muhadits dan faqih. Dia adalah pemberi fatwa yang produktif dan, karenanya, merupakan ulama yang sering dicari untuk konsultasi. Al-Sinkili mengungkapkan bahwa dia melewatkan sebagian waktunya bersama beliau, mempelajari apa yang dinamakan ilm al-zahir, seperti fikih, hadis, dan subjek-subjek lain yang terkait. Ishaq bin Muhammad bin Ja’man adalah ulama utama lainya dari keluarga Ja’man. Dia juga memperoleh kemasyhuran sebagai faqih dan muhadits terkemuka di wilayah itu.
Suatu hari, sang guru memperintahkannya kembali ke Jawah, sebab dia beranggapan al-Sinkili telah mempunyai pengetahuan yang memadai. Mendengar hal itu al-Sinkili menangis, sebab dia merasakan keinginannya untuk belajar lebih banyak. Akibatnya, al-Qusyasyi berubah pikiran dan mengizinkannya menemaninya selama dia suka.
Jaringan guru al-Sinkili menjadi lebih kompleks ketika al-Sinkili melanjutkan di Zabid. Di antara guru al-Sinkili adalah ‘Abd al-Rahim bin al-Shidiq al-Khash. Al-Sinkili juga menjalin hubungan baik dengan para ulama terkemuka di wilayah Zabid dan Yaman. Disamping belajar dengan ulama yang dikatakan al-Sinkili sebagai gurunya, dia menjalin kontak dan hubungan dengan ulama terkemuka di Mekkah, baik yang menetap maupun singgah. Sebagian besar mereka adalah nama-nama yang telah dikenal didalam jaringan ulama, seperti ‘Isa al-Maghribi, ‘Abd al-‘Aziz al-Zamzami, Taj al-Din bin Ya’qub, ‘Ala` al-Din al-Babili, Zayn al-‘Abidin al-Thabari, Ali Jamal al-Makki, dan ‘Abd Allah bin Sa’id Ba Qasyir al-Makki (1003-1076/1596-1665).
Tahap terakhir dari perjalanan al-Sinkili menuntut ilmu adalah Madinah. Di Kota Nabi ini dia merasa puas, bahwa dia mampu menyelesaikan pelajarannya. Dia belajar dengan Ahmad al-Qusyasyi hingga beliau wafat. Suatu hari, sang guru memperintahkannya kembali ke Jawah, sebab dia beranggapan al-Sinkili telah mempunyai pengetahuan yang memadai. Mendengar hal itu al-Sinkili menangis, sebab dia merasakan keinginannya untuk belajar lebih banyak. Akibatnya, al-Qusyasyi berubah pikiran dan mengizinkannya menemaninya selama dia suka. Secara intelektual, hutang terbesar al-Sinkili adalah kepada Ibrahim al-Kurani. Karena dengan beliaulah dia menyelesaikan pendidikannya setelah kematian al-Qursyasyi.
Seperti banyak ulama lain didalam jaringan, al-Sinkili tampaknya telah memulai karier mengajar di Haramain. Hal ini tidak mengherankan, sebab menjelang ke Mekkah dan Madinah, dia telah memiliki ilmu yang memadai untuk disampaikan pada kaum Muslim Melayu-Indonesia.

     

     Pemikiran Dan Pembaharuan Al-

Sinkili

Al-Sinkili menulis sekitar 22 karya tulis, membahas tentang fiqih, tafsir, kalam, dan tasawuf. Dia menulis dalam Bahasa Melayu maupun Arab. Karya utama dalam fiqih adalah Mir’at al-Thullab fi Tasyil Ma’rifah al-Ahkam al-Syari’ah li al-Malik al-Wahhab. Karya ini menerangkan tentang aspek muamalat dari fiqih, termasuk kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan keagamaan kaum Muslim. Al-Sinkili merupakan ulama pertama di wilayah Melayu-Indonesia yang menulis mengenai fiqh mu’amalat. Melalui Mir’at al-Thullab, dia menunjukkan kepada kaum muslim Melayu bahwa doktrin-doktrin hukum Islam tidak terbatas pada ibadah, tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan sehari-hari mereka. Meskipun Mir’at al-Thullab tidak lagi digunakan di Nusantara dewasa ini, di masa lampau karya tersebut beredar luas.

Kedudukan al-Sinkili bagi perkembangan Islam di Nusantara tidak terbantah dalam bidang tafsir Al-Qur’an. Meski al-Sinkili tidak menyebutkan angka tahun penyelesaian tafsirnya yang berjudul Tarjuman al-Mustafid, tidak ada keraguan bahwa dia menulisnya semasa kariernya yang panjang di Aceh. Sebagai kitab tafsir paling awal, tidak mengherankan kalau karya ini beredar luas di wilayah Melayu-Indonesia. Bahkan, edisi tercetaknya dapat ditemukan di kalangan komunitas Melayu di tempat sejauh Afrika Selatan. Edisi terakhirnya diterbitkan di Jakarta pada 1981. Ini menunjukkan bahwa karya ini masih digunakan di kalangan kaum Muslim Melayu-Indonesia pada masa kini.

Al-Sinkili menulis bukan hanya untuk kaum Muslim awam mengenai ilmu-ilmu dzahir, tetapi juga untuk kalangan elite (al-khawwash) mengenai ilmu bathin seperti ilmu kalam dan tasawwuf.

Tafsir Jalalayn, ditulis oleh dua orang Jalal, yang kepadanya sebagian besar ulama terkemuka kita dalam jaringan ulama melacak silsilah intelektual dan spritual mereka. Pemilikan al-Sinkili atas tafsir ini sebagai sumber utama dari tafsirnya sendiri jelas karena dia mempunyai isnad-isnad yang menghubungkannya dengan Jalal al-Din al-Suyuthi, baik melalui al-Qursyasyi maupun al-Kurani. Dalam menerjemahkan Tafsir Jalalayn ke dalam bahasa melayu, dia menerjemahkannya kata perkata, dan menahan dirinya untuk tidak memberikan tambahan dari dirinya sendiri, serta menghapuskan penjelasan tata bahasa Arab dan penafsiran panjang yang mungkin dapat mengalihkan perhatian pembacanya. Jadi jelas, tujuannya adalah Tarjuman al-Mustafid dapat dipahami dengan mudah oleh para pembacanya dan karenanya menjadi petunjuk praktis dalam kehidupan mereka.

Al-Sinkili menulis dua karya dalam bidang Hadits. Yang pertama adalah penafsiran mengenai Hadits Arba’in al-Nawawi. Yang kedua adalah al-Mawa’izh al-Badi’ah, sebuah koleksi hadits qudsi. Al-Sinkili menulis bukan hanya untuk kaum Muslim awam mengenai ilmu-ilmu dzahir, tetapi juga untuk kalangan elite (al-khawwash) mengenai ilmu bathin seperti ilmu kalam dan tasawwuf. Tetapi karya ini masih belum ditelaah secara memadai, dan juga karena masa itu masih kecil minat kalangan sarjana untuk meneliti.

Ajaran mistisnya, al-Sinkili, dalam karyanya Kifayat al-Muhtajin ila Masyrab al-Muwahhidin al-Qailin bi Wahdat al-Wujud, mempertahankan transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya. Dia menolak pendapat Wujudiyah yang menekankan imanensi Tuhan dalam ciptaan-Nya. Al-Sinkili menyimpulkan, meski pola-pola dasar luar (al-a’yan al-kharijah) merupakan emanasi dari Wujud Mutlak, mereka berbeda dari Tuhan itu sendiri: hubungan keduanya adalah seperti tangan dan bayangan. Meski tangan hampir tidak dapat dipisahkan dari bayangan, yang terakhir itu tidak sama dengan yang pertama. Dengan ini, al-Sinkili menegaskan transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya. Argumen yang sama dikemukakan dalam risalah pendeknya yang berjudul Daqaiq al-Huruf. 

Seperti Ibrahim al-Kurani, al-Sinkili menyatakan, cara paling efektif untuk merasakan dan menangkap keesaan Tuhan adalah dengan cara beribadah, terutama dzikir. Al-Sinkili juga mengikuti ajaran al-Qusyasyi mengenai kewajiban murid terhadap guru mereka, seperti ditunjukkannya dalam dua risalahnya, masing-masing berjudul Risalah Adab Murid ma’a Syekh dan  Risalah Mukhtasharah fi Bayan Syurut al-Syekh wa al-Murid.

Melihat pemikiran dan ajaran al-Sinkili, jelaslah bahwa dia secara sadar turut menyebarkan doktrin dan kecenderungan intelektual dalam jaringan ulama untuk memperkuat tradisi Islam di Kepulauan Melayu-Indonesia. Mengingat kelembutan sikap dan toleransi al-Sinkili, Johns menyimpulkan, al-Sinkili merupakan cerminan citra dari gurunya, Ibrahim al-Kurani.


     Jaringan Melayu-Indonesia Al-Sinkili

Orang Aceh telah lama bangga akan negeri mereka. Mereka menyebut negeri mereka “Serambi Mekkah”, atau gerbang Tanah Suci, bukan hanya karena peranan penting Aceh dalam pengetahuan Islam, melainkan juga karena kedudukannya sebagai tempat transit para jemaah Melayu-Indonesia. Kedudukan Aceh yang istimewa itu merupakan salah satu alasan mengapa karya ulama, seperti Hamzah al-Fansuri, Syams al-Din al-Samatrani, al-Raniri, dan al-Sinkili dapat beredar luas di Nusantara.

Al-Sinkili, sebagaimana telah dikemukakan, tampaknya telah mulai mengajar ketika al-Sinkili masih berada di Haramain, tetapi tidak ada informasi mengenai murid beliau di sana. Baru setelah al-Sinkili kembali ke Aceh, jaringan murid al-Sinkili mulai bisa dilacak. Murid al-Sinkili juga bertanggung jawab atas tersebarnya ajaran dan tarekat al-Sinkili.

Tarekat Syathariyah yang dikembangkan al-Sinkili telah diperbarui oleh tokoh terkemuka dalam jaringan ulama, seperti Ahmad al-Syinawi dan Ahmad al-Qusyasyi. Tarekat Syathariyah juga dikenal sebagai Tarekat ‘Isyqiyah di Iran dan Tarekat Bistamiyah di Turki Utsmani, tetapi tidak umum dikenal sebagai Tarekat Qusyasyiyah. Karena itu, Tarekat Qusyasyiyah merupakan nama lain dari Tarekat Syathariyah yang telah diperbarui dan menjadi fenomena Melayu-Indonesia yang unik. Ini dapat dianggap sebagai indikasi dari usaha al-Sinkili melepaskan Tarekat-nya dari citra Tarekat Syathariyah awal.

Yang paling dikenal sebagai murid al-Sinkili di Sumatera adalah Burhan al-Din, yang lebih dikenal sebagai Tuanku Ulakan. Beliau, tentu saja, bukan ulama pertama yang memperkenalkan Islam di wilayah Minangkabau, tetapi dia memainkan peranan menentukan dalam menguatkan Islamisasi di kalangan penduduk setempat. Segera setelah beliau kembali dari Arab, beliau mendirikan Jama’ah Syathariyah, sebuah lembaga pendidikan di Ulakan, Minangkabau (kini Sumatera Barat). Lembaga Ulakan menarik banyak murid dari seluruh wilayah Minangkabau, mereka mengambil keahlian dalam berbagai disiplin ilmu Islam, dan ada gilirannya mendirikan lembaga-lembaga mereka sendiri ketika kembali ke desa kelahiran mereka. Menjelang abad ke-18, beberapa murid terkemuka beliau melancarkan pembaruan yang berjangkauan lebih jauh.

Murid terkemuka lain dari al-Sinkili adalah ‘Abd al-Muhyi, asal Jawa Barat. Melalui usaha murid inilah Tarekat Syathariyah mendapat banyak pengikut di Jawa. Sebab, banyak silsilah tarekat di Jawa dan Semenanjung Madura melalui dirinya yang diterima langsung dari gurunya, al-Sinkili.

Al-Sinkili juga memiliki murid terkemuka di Semenanjung Melayu. Dia adalah ‘Abd al-Malik bin ‘Abd Allah. Beliau adalah ulama dengan beberapa kelebihan. Dia menulis beberapa karya yang membahas tentang syariat dan fikih, dia juga sangat aktif mengajar.

Murid terdekat al-Sinkili pastilah Dawud al-Jawi al-Fansur bin Ismail bin Agha Mushthafa bin Agha ‘Ali al-Rumi. Meski asal-usulnya masih kabur, beliau adalah murid kesayangan al-Sinkili. Ada suatu indikasi kuat diperintahkan gurunya membuat beberapa penambahan pada tafsir al-Sinkili, Tarjuman al-Mstafid. Ada yang menyebutkan, bahwa beliau adalah khalifah pertama al-Sinkili. Bersama gurunya beliau membangun sebuah dayah, lembaga pendidikan tradisional di Aceh, di Banda Aceh.

Al-Sinkili wafat sekitar 1105/1693 dan dikuburkan dekat kuala atau mulut Sungai Aceh. Tempat itu juga menjadi kuburan untuk istri-istri beliau, Dawud al-Jawi al-Rumi, dan murid al-Sinkili lainnya. Karena tempat dia dikuburkan itulah kemudian dia dikenal sebagai syekh di Kuala. 


Posting Komentar

0 Komentar