Jika seseorang terlanjur sudah di dalam sholat sunah, sedangkan iqamah telah dikumandangkan, maka orang tersebut disunahkan untuk meneruskan sholatnya (tidak memutusnya) ketika meniatkan bilangan tertentu.
Oleh: M. Akhyudin
Ada sebuah hadits yang menyatakan bahwa ketika shalat didirikan maka tidak ada shalat yang sempurna kecuali shalat maktubah. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.
إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ صَلاَةَ إِلاَّ الْمَكْتُوبَةُ
“Ketika shalat didirikan maka tidak ada shalat yang sempurna kecuali shalat maktubah”
Lalu, sebenarnya apa yang dimaksud dengan redaksi ‘ketika shalat didirikan’ dalam hadits tersebut? yang dimaksud adalah ketika iqamah dikumandangkan oleh muadzzin. Dengan kata lain, ketika muadzzin mengumandangkan iqamah, maka tidak ada shalat yang sempurna kecuali shalat maktubah. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Syekh al-Mubarakfuri dalam kitab Tuhfah al-Ahwadzi:
قُلْتُ اَلْمُرَادُ بِإِقَامَةِ الصَّلَاةِ فِي قَوْلِهِ إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ اَلْاِقَامَةُ الَّتِي يَقُولُهَا الْمُؤَذِّنُ عِنْدَ إِرَادَةِ الصَّلَاةِ
“Saya berpendapat bahwa yang dimaksudkan mendirikan shalat dalam sabda Rasulullah saw., ‘ketika shalat didirikan’ adalah iqamah yang dikumandangkan muadzin ketika hendak menjalankan shalat.” (Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarhi Jami’ at-Tirmidzi, Bairut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Juz 2, hlm. 402).
Dengan hadits ini, maka kalangan madzhab Syafi’i berpendapat bahwa dimakruhkan bagi orang yang hendak menjalankan shalat sunah, baik shalat sunah rawatib, tahiyat masjid atau shalat sunah yang lainnya ketika iqamah mulai dikumandangkan.
قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْاَصْحَابُ إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ كُرِهَ لِكُلِّ مَنْ اَرَادَ الْفَرِيضَةَ اِفْتِتَاحُ نَافِلَةٍ سَوَاءٌ كَانَتْ سُنَّةً رَاتِبَةً لِتِلْكَ الصَّلَاةِ أَوْ تَحِيَّةَ مَسْجِدٍ أَوْ غَيْرَهَا لِعُمُومِ هَذَا الْحَدِيثِ
“Imam Syafi’i dan sahabat-sahabatnya berpendapat bahwa ketika shalat didirikan (iqamah dikumandangkan) maka dimakruhkan bagi setiap orang yang hendak shalat fardlu memulai shalat sunah, baik shalat sunah rawatib, shalat tahiyat masjid atau selainnya karena keumuman makna yang dikandung hadits ini.” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz 4, hlm. 222).
Keterangan tadi hanyalah mengenai perihal ketika kita belum memulai melakukan sholat sunah, lantas bagaimana jika kita sudah terlanjur masuk di dalam shalat sunah tersebut?
Di dalam kitab Syarh Muqoddimah al-Hadhromiyyah oleh Syekh Sa'id Ba'isan diterangkan bahwa jika seseorang terlanjur sudah di dalam shalat sunah sedangkan iqamah telah dikumandangkan, maka orang tersebut disunahkan untuk meneruskan shalatnya (tidak memutusnya) ketika meniatkan bilangan tertentu. Namun jika tidak niat shalat dengan bilangan tertentu, maka cukupkanlah dengan melakukan dua rakaat saja ketika tidak sampai kehilangan jama'ah (sekiranya dapat menemui salamnya imam walaupun berada persis di sebelumnya). Atau mempunyai prasangka akan ada jama'ah yang lain setelahnya maka lanjutkan shalat sunah tersebut (jangan memutusnya).
Namun, apabila yang dimaksud adalah shalat Jum'at, maka wajib memutusnya agar mendapatkan satu rakaat shalat Jum'at tersebut.
وإن كانت نفلا .. أتمها ندبا إن نوى عددا، وإلا .. اقتصر على ركعتين إن أمن فوت الجماعة بأن يدركها ولو قبيل سلام الإمام، أو رجا جماعة أخرى، وإلا .. ندب قطعه. نعم؛ الجمعة يجب القطع لإدراك ركعة منها مطلقا.
"Apabila shalat sunah, maka sunah menyempurnakannya ketika meniatkan bilangan tertentu. Ketika tidak, maka cukup melakukan dua raka'at jika tidak sampai kehilangan jama'ah, sekira masih mendapati jama'ah walaupun persis sebelum salamnya imam. Ataupun masih ada harapan akan ada jama'ah baru, jika tidak ada harapan maka sunah memutusnya. Benar demikian, namun jika itu shalat Jum'at maka wajib memutusnya (shalat sunah) supaya mendapatkan satu rakaat dari shalat Jum'at tersebut." (Syarh Muqoddimah Hadhromiyyah, Halaman 362)
0 Komentar