Membaca tidak cukup satu kali, melainkan berkali-kali supaya benar-benar tertancap di dalam hati dengan kokoh.
Oleh: M. Hanif Rahman
Ia (SAW) menceritakan kejadian itu, Malaikat Jibril berkata: “Bacalah!” Muhammad SAW berkata “Aku tidak dapat membaca.”
Beliau berkata, “Lalu Jibril memegangku seraya mendekapku sampai aku merasa kepayahan. Lalu Jibril mendekapku untuk kedua kalinya sampai aku benar-benar kepayahan.
Selanjutnya dia melepaskanku lagi dan berkata: ‘Bacalah!’ Aku tetap menjawab: ‘Aku tidak bisa membaca.’
Lalu dia mendekapku untuk ketiga kalinya sampai aku benar-benar kepayahan. Setelah itu dia melepaskan aku lagi dan membimbingku untuk membaca:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmu-lah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qolam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Qs. Al ‘Alaq: 1-5).
Maka pulanglah beliau dalam keadaan menggigil sehingga ketika sampai di rumah, beliau menemui Khadijah dan berkata, “Selimuti aku! Selimuti aku!” Istrinya yang tercinta, Khadijah pun segera menyelimutinya sampai rasa takutnya hilang.
Kemudian beliau berkata, “Apa yang terjadi padaku? Aku melihat bayang-bayang seperti hantu, dan kini masih mengikutiku.”
Maka Khadijah pun berkata, “Bukan hantu, bergembiralah! Yang engkau lihat adalah malaikat. Demi Allah, Allah tidak akan pernah menghinakanmu.
Sesungguhnya engkau adalah orang yang paling suka melakukan silaturahim, berkata jujur, sabar menanggung beban musibah, menghormati tamu, dan membantu menegakkan sendi-sendi kebenaran.”(2)
Sungguh begitulah manis dan indah ungkapan wanita penghulu surga dalam menenangkan suaminya yang sedang dalam ketakutan.
* * *
Wahyu pertama kali yang dibawa oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad adalah kata "اقرأ". Kenapa pilihan kalimatnya iqra’, bukan kalimat lainnya? Ada hikmah apa dibalik kata iqra’ sehingga menjadi permulaan wahyu? Dan kenapa kalimat iqra' diulang dua kali dalam surat tersebut? Setidaknya itulah deretan pertanyaan yang perlu untuk dikaji.
Mengenai Perintah Membaca
Ibnu Katsir menjelaskan maksud ayat di atas sebagai berikut:
”Dan sesungguhnya, di antara kemurahan Allah adalah mengajarkan kepada umat manusia sesuatu yang tadinya tidak diketahui.
Maka Allah mengangkat dan memuliakannya dengan ilmu. Inilah jabatan yang hanya diberikan Allah kepada nenek moyang manusia, Adam as., yang membedakannya dari malaikat.”
Perintah membaca dalam ayat iqra’ tidak disebutkan obyek (maf’ul bih) nya. Dalam kaidah bahasa, hal ini menunjukkan bahwa perintah membaca tidak terbatas pada obyek tertentu.
Akan tetapi membaca segala sesuatu dari ayat-ayat Allah, baik yang bersifat qauly maupun yang kauny, ayat-ayat yang berbentuk ciptaan-Nya (alladzi khuliqa) ataupun ayat-ayat yang diajarkannya melalui lisan para Nabi-Nya (alladzi ’allama) dalam wujud Kitab al-Qur’an.(3)
Syekh Aly Ash-Shobuni mengatakan, "Ayat ini merupakan khitob pertama Allah kepada Nabi, ayat tersebut juga merupakan ajakan untuk membaca, menulis, dan ilmu di mana ketiga-tiganya merupakan syi’ar Islam."(4)
Kata iqra’ dalam ayat tersebut diulang dua kali berfungsi untuk menguatkan (ta'kid), karena bacaan tidak dapat melekat pada diri seseorang kecuali dengan mengulang-ulang dan membiasakannya, maka seakan-akan perintah mengulangi bacaan itu berarti mengulang-ulangi bacaan yang dibaca.
Ada yang menjelaskan bahwa maksud dari pengulangan kalimat iqra' tersebut menunjukkan bahwa Allah memerintahkan membaca untuk diri sendiri terlebih dahulu, baru kemudian membacakan untuk menyampaikan kepada orang lain.(5)
* * *
Pentingnya Membaca
Dengan demikian, maka tidak diragukan lagi bahwa membaca adalah sangat penting karena membaca merupakan sebab untuk memperoleh ilmu, sedangkan ilmu merupakan modal pokok untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi diri sendiri atau orang lain.
Apalagi kalau sifatnya ubudiyah, pengetahuan merupakan syarat mutlak untuk keabsahan ubudiyah.
Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Ruslan dalam matan Zubad:
وكل من بغير علم يعمل * اعماله مردودة لا تقبل
“Setiap orang yang beramal tanpa ilmu, tertolak tidak diterima amalannya.”
Bahkan semua hal baik urusan dunia maupun akhirat untuk bisa maksimal harus dilandasi dengan ilmu. Nabi bersabda:
مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِاْلعِلْمِ وَ مَنْ أَرَادَ ْالآخِرَة فَعَلَيْهِ بِاْلعِلْمِ وَ مَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِاْلعِلْمِ (رواه الطبراني)
"Barang siapa yang menginginkan kehidupan dunia, maka ia harus memiliki ilmu, dan barang siapa yang menginginkan kehidupan akhirat maka itupun harus dengan ilmu, dan barang siapa yang menginginkan keduanya maka itupun harus dengan ilmu.” (HR. Thabrani).
* * *
Bahan Bacaan
Kemudian membaca tidak hanya terkhusus ilmu agama saja, tapi semuanya boleh dibaca asalkan bermanfaat dan bukan membaca kejelekan atau kekurangan orang lain.
Membaca tidak cukup satu kali, melainkan berkali-kali supaya benar-benar tertancap di dalam hati dengan kokoh.
Terakhir, semestinya sebelum mengatakan sesuatu kepada orang lain, baik persoalan umum (non-agama) terlebih-lebih persoalan agama harus sudah terlebih dahulu mengetahui (dengan membaca).
Jangan sampai berkata yang tidak berdasarkan ilmu yang kemudian justru menjerumuskan kepada kesesatan dan masuk dalam ancaman Nabi Muhammad Saw, beliau bersabda:
من افتى بغير علم لعنته ملائكة السماء والارض (رواه ابن عساكر)
Artinya: “Siapa yang memberikan fatwa tidak berdasarkan ilmu akan dilaknat oleh semua malaikat di langit dan malaikat di bumi.” (HR. Ibnu 'Asyakir)
Wallahu a'lamu bishshowab
Referensi:
(1) An-Nawawi, Syarh Nawawi ala Muslim, Juz 2, hlm. 197-198; Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, juz 1, hlm. 19.
(2) Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 8, hlm. 320-422.
(3) Ibid.
(4) Muhamad Aly ash-Shobuny, Sofwah at-Tafasir, juz 3, hlm. 554.
(5) Muhamad Amin al-Harori, Tafsir Hadaiq ar-Ruh wa ar Roihan, juz 32, hlm. 154.
0 Komentar