Like Us Facebook

Artikel Islami: Memaknai Kembali Idul Kurban

Foto: Freepik.com

Perintah berkurban merupakan wujud akan rasa solidaritas sosial-ekonomi yang dapat memperkuat tali persaudaraan antar individu umat Islam.


Oleh: M. Ryan Romadhon

Idul adha -seperti yang telah kita ketahui bersama- adalah salah satu hari besar atau hari raya dalam tradisi kaum muslimin di seluruh antero dunia. Sebenarnya, ia dirayakan untuk kaum muslimin yang telah selesai menunaikan ibadah haji. Ia adalah puncak dari seluruh prosesi ibadah tersebut. 

    Namun, meskipun demikian, hari itu juga dirayakan oleh umat Islam dimanapun. Ia juga sering disebut sebagai hari raya Qurban, yang secara harfiah berarti dekat atau mendekatkan diri. Karena pada saat itu, para jamaah haji menyembelih hewan kurban untuk dibagikan kepada kaum fakir miskin, dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.

    Pensyariatan berkurban tersebut berasal dari perintah Allah dalam Firman-Nya Surah al-Kautsar ayat 2, yang berbunyi,

فَصَلِّ لِرَبِّك وَانْحرْ (الكوثر: ٢)


    Karena yang dimaksud dari lafadz "النَّحَر" pada ayat tersebut -menurut pendapat yang ashoh- adalah menyembelih hewan kurban. 

    Dalam madzhab Syafi'i, berkurban hukumnya sunah muakkad bagi orang muslim, baligh, berakal, merdeka dan mampu. Berbeda dengan madzhab Hanafi yang mewajibkan ibadah kurban tersebut.

    Namun, sedikit disayangkan, tidak sedikit diantara kalangan kita yang pada umumnya mengganggapnya hanya sebagai momen makan besar belaka, yang hampa makna. Ibadah kurban bukanlah peristiwa tanpa makna. Namun tentunya memiliki banyak rahasia, pesan-pesan dan isyarat-isyarat yang berharga yang akan akan membukakan kesadaran-kesadaran baru bagi yang menghayatinya.

    Syekh Ali Ahmad al-Jurjawiy, dalam kitabnya yang berjudul Hikmah at-Tasyri wa Falsafatuhu, mencoba menguak makna tersirat dari pensyariatan ibadah kurban tersebut. Menurut beliau, pesan tersirat dari menyembelih kurban adalah:

  1. Mengikuti Nabi Ibrahim karena Allah telah memerintahnya melalui mimpi agar beliau menyembelih putranya, Ismail, dan dia benar-benar melakukannya. Kemudian Allah menggantinya dengan domba yang besar.
  2. Menunjukkan ketaatan yang sempurna kepada Allah, bahkan jika Allah memerintahkan kita untuk menyembelih sang putra.
  3. Bersyukur pada Allah atas nikmat pengorbanan, di mana orang yang menyembelih hewan kurban termasuk orang-orang yang bersedekah atas nikmat Allah, dan bukan termasuk golongan orang fakir yang menerima sedekah. Hal ini tentu mengandung kenikmatan besar yang jelas. (Hikmah at-Tasyri’ wa Falsafatuhu, Hal. 190).

    Lebih jauh, dalam kitab Fiqh al-Manhaji dipaparkan bahwa perintah berkurban merupakan wujud akan rasa solidaritas sosial-ekonomi yang dapat memperkuat tali persaudaraan antar individu umat Islam, karena dengan berkurban, kaum fakir miskin sedikit merasa terhibur dan terlipur laranya saat tiba hari raya. 

    Pun juga dapat menanamkan esensi dari bermasyarakat dan kasih sayang di antara hati mereka. Karena menyembelih hewan adalah simbol dari menyembelih sifat-sifat kebinatangan yang menyesatkan dan yang sering kali tidak peka dan tidak peduli terhadap orang lain.

    Seorang penafsir kontemporer, Rasyid Ridha menyatakan bahwa ibadah kurban melambangkan perjuangan kebenaran yang menuntut tingkat kesabaran, ketabahan dan pengorbanan yang tinggi. 

    Akhir kata, mari berkorban, dengan kadar kemampuan, meskipun wujud dari pengorbanan itu adalah perasaan!. 


Wallahu a'lamu bishshowab

 

Referensi:

- Fath al-'Alam

- Fiqh al-Manhajiy

- Tafsir al-Qurthubiy

- Hikmah at-Tasyri wa Falsafatuhu

Posting Komentar

2 Komentar