Kondisi keluarga yang miskin tidak membuat semangat belajar Imam Syafi’i luntur. Banyak bukti yang menunjukkan betapa tingginya motivasi belajar Imam Syafi’i.
Oleh: Ubaidillah Khobir
Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Muthollib bin ‘Abdu Manaf, dilahirkan di Ashkelon, Gaza, Palestina pada bulan Rajab 150 H/767 M.
Nasabnya bertemu dengan Rasulullah SAW di ‘Abdu Manaf, al-Muthollib (kakek Imam asy-Syafi’i) adalah saudara kandung Hasyim bin ‘Abdi Manaf (kakek Rasulullah SAW).
Imam an-Nawawi berkata, “Ketahuilah, bahwa dia (Imam asy-Syafi’i) memiliki tempat yang tinggi berupa macam-macam kebaikan dan kedudukan yang mulia, karena Allah telah menghimpun padanya aneka macam kemuliaan. Di antaranya, kemuliaan nasab yang suci, unsur yang cemerlang, dan berhimpunnya dia dengan Rasulullah SAW.”
* * *
Saat Imam asy-Syafi’i berusia dua tahun, ayahnya meninggal dunia, dan sang ibu membawanya ke Makkah, tanah air nenek moyangnya. Saat Imam Syafi’i tumbuh besar, ibunya mengirimnya ke masjid-masjid untuk mengikuti halaqoh belajar.
Semangat Imam Syafi'i dalam Belajar
Dalam mengikuti halaqoh belajar, beliau tidak memiliki sedikitpun bekal, bahkan hanya untuk sekedar memberi hadiah (sowanan) guru-gurunya, dia tidak memilikinya. Sehingga ia berusaha sekuat tenaga untuk menghafalkan semua yang disampaikan guru-gurunya, dikarenakan tidak memiliki pena dan kertas untuk mencatatnya.
Namun, kondisi keluarga yang miskin tersebut tidak membuat semangat belajar Imam Syafi’i luntur. Bahkan, beliau pun dikenal sebagai anak yang mempunyai motivasi tinggi dalam mempelajari ilmu, ibundanya pun juga sangat mendukungnya.
Banyak bukti yang menunjukkan betapa tingginya motivasi belajar Imam Syafi’i. Di tengah kondisi ekonomi keluarga yang tidak menentu, beliau tidak patah arah.
Sebagai gantinya, beliau kerap kali mencari tulang-tulang hewan, potongan kulit, pecahan keramik, pelepah kurma, dan lain-lain sebagai media menulis.
Pada usia tujuh tahun, beliau pun sudah berhasil menghafal al-Quran. Selanjutnya, di umur sepuluh tahun –pendapat lain mengatakan dua belas tahun– beliau sudah menghafal kitab al-Muwaththo’ yang merupakan hasil karya Imam Malik.
Rihlah 'Ilmiyyah di Makkah
Di Makkah, Imam Syafi’i berguru Fiqh kepada Imam Muslim bin Khalid az-Zanji, guru yang memberikan izin kepada Imam Syafi’i untuk berfatwa ketika masih berumur lima belas tahun.
Kemudian beliau juga belajar kepada Imam Dawud bin Abdurrohman al-Atthar, Imam Muhammad bin Ali bin Syafi’, Sufyan bin Uyainah, Fudhail bin Iyadh, dan masih banyak lagi.
Dan suatu ketika, salah satu guru beliau berkata, “Wahai Muhammad, pergilah ke Madinah untuk berguru lagi, karena sesungguhnya ilmuku sudah habis, semuanya sudah ku ajarkan padamu.”
Setelah gurunya memberi pesan tersebut, Imam Syafi’i bergegas meminta izin kepada ibundanya. Dan seketika itu, beliau diberi izin.
Rihlah 'Ilmiyyah di Madinah
Kemudian beliau pergi ke Madinah. Dan di sini beliau bertemu dengan Imam Malik bin Anas. Beliau pun secara khusus merupakan pengagum dari Imam Malik, apalagi setelah menghafal kitab karangannya.
Imam Syafi’i pun menetap di Madinah guna berguru kepada Imam Malik hingga wafat pada tahun 179 H.
Selain berguru kepada Imam Malik ada beberapa ulama yang juga menjadi tempat belajar Imam Syafi’i di Madinah, yakni Imam Ibrahim bin Abu Yahya, Imam Abdul Aziz ad-Darawardi, Imam Athaf bin Khalid, dan lain sebagainya.
Rihlah 'Ilmiyyah di Yaman
Setelah dari Madinah, Imam Syafi’i melanjutkan perjalanannya dalam menuntut ilmu ke Yaman. Di sana, beliau bertemu dengan Imam Mutharrif bin Mazin, Imam Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, dan lain sebagainya.
Rihlah 'Ilmiyyah di Baghdad
Kemudian beliau melanjutkannya ke Baghdad, Irak. Dan di sinilah Imam Syafi’i menuliskan madzhabnya, yang disebut dengan qoul qadim.
Rihlah 'Ilmiyyah di Mesir
Dan pada tahun 200 H, beliau pindah ke Mesir, dan menuliskan madzhabnya yang disebut dengan qoul jadid.
Resep Agar Kuat dalam Hafalan dari Sang Guru
Salah satu guru beliau yang sangat masyhur yaitu Imam Abu Sofyan Waki’ bin aj-Jarrah ar-Ruwassi al-Kufi, sosok Imam yang sangat kuat hafalannya.
Suatu ketika, Imam Syafi’i mengadukan pada guru tersebut, “Wahai guruku, aku tidak dapat mengulangi hafalanku dengan cepat, apa sebabnya?” Gurunya lantas berkata, “Engkau pasti pernah melakukan suatu dosa, cobalah engkau merenungkan kembali!”
Imam Syafi’i pun merenung. Ia merenungkan keadaan dirinya, “Apa ya dosa yang telah kira-kira ku perbuat?”
Beliau pun teringat bahwa pernah suatu saat beliau melihat seorang wanita tanpa sengaja, yang sedang menaiki kendaraannya. Lantas tersingkap pahanya (ada pula yang mengatakan, yang terlihat adalah mata kakinya).
Lantas setelah itu beliau memalingkan wajahnya, lantas keluarlah syair yang masyhur, “Kuadukan pada waki’, hafalanku nan jahat, dia berpesan agar aku meninggalkan dan menjauhi maksiat. Katanya pula, ilmu itu terang bak kilat, cahaya Allah bukanlah untuk pelaku maksiat.
Inilah tanda wara’ dari Imam Syafi’i, yaitu kehati-hatian beliau dari maksiat. Beliau melihat kaki yang tidak halal baginya, lantas beliau menyebut dirinya bermaksiat. Sehingga ia lupa terhadap apa yang telah ia hafalkan.
Hafalan beliau bisa terganggu karena ketidaksengajaan, itupun sudah mempengaruhi hafalan beliau. Bagaimana lagi dengan orang yang senang melihat wajah wanita atau melihat aurat mereka atau bahkan melihat bagian dalam tubuh mereka?
Kuadukan pada waki’, hafalanku nan jahat, dia berpesan agar aku meninggalkan dan menjauhi maksiat. Katanya pula, ilmu itu terang bak kilat, cahaya Allah bukanlah untuk pelaku maksiat.
Akhir Hayat Imam Syafi'i
Pada suatu hari, Imam Syafi’i terkena wasir dan tetap begitu hingga terkadang jika ia naik kendaraan darahnya mengalir mengenai celananya, bahkan mengenai pelana dan kaos kakinya.
Wasir ini benar-benar menyiksanya selama hampir empat tahun, ia menanggung sakit demi ijtihadnya yang baru di Mesir, menghasilkan empat ribu lembar. Selain itu, ia terus mengajar, meneliti dialog serta mengaji, baik siang maupun malam.
Pada suatu hari, muridnya, al-Muzani masuk menghadap dan berkata, “Bagaimana kondisi anda wahai guru?” Imam Syafi’i menjawab, “Aku telah siap meninggalkan dunia, meninggalkan para saudara dan teman, mulai meneguk minuman kematian.”
Kepada Allah dzikir terucap selalu dari bibir beliau, “Sungguh, demi Allah, aku tak tahu apakah jiwaku akan berjalan menuju surga, sehingga perlu aku ucapkan selamat, atau sedang menuju neraka sehingga aku harus berkabung.”
Setelah itu, ia melihat di sekelilingnya seraya berkata kepada mereka, “Jika aku meninggal, pergilah kepada wali penguasa dan mintalah kepadanya, agar mau memandikanku.”
Lalu sepupunya berkata, “Kami akan tuntun sebentar untuk sholat.” Imam Syafi”i menjawab, “Pergilah dan setelah itu, duduklah di sini menunggu keluarnya ruhku.”
Setelah sepupu dan murid-muridnya sholat, Imam Syafi’i bertanya, “Apakah Engkau sudah sholat?” Lalu mereka menjawab, “Sudah.”
Kemudian beliau meminta segelas air, pada saat itu musim dingin, mereka berkata, “Biar kami campur dengan air hangat.” Beliau berkata, “Jangan! sebaiknya dengan air safarjal.”
Tidak lama setelah itu beliau wafat. Imam Syafi’i wafat pada malam Jum’at, menjelang Shubuh pada hari terakhir bulan Rojab tahun 204 H/809 M saat usia 52 tahun.
0 Komentar